Prioritas negara-negara menengah ialah memastikan pembangunan berjalan mulus dan kesejahteraan rakyat meningkat. Pihak yang memberikan bantuan sesuai kebutuhan akan menjadi mitra.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Di tengah persaingan antara China dan Amerika Serikat, tak sedikit kalangan yang melihat bahwa persaingan itu bisa berujung pada berakhirnya dominasi Barat.
China memiliki pandangan tersendiri mengenai kompetisinya ”melawan” Amerika Serikat. Hal ini terungkap dalam pernyataan Menteri Luar Negeri China Qin Gang pada ajang internasional, Lanting Forum, di Shanghai, pekan lalu.
Saat itu, Qin menolak opini bahwa negaranya sedang berupaya menantang tatanan dunia lama melalui kekerasan, paksaan, serta konflik. Tudingan itu dinilainya absurd dan tak berdasar. China justru terbukti memiliki rekam jejak bersih: selalu mematuhi prinsip-prinsip Piagam PBB serta norma dan hukum internasional (Kompas, 24 April 2023).
Dengan kata lain, di tengah unjuk kekuatan militer negara itu di Selat Taiwan, Qin menolak anggapan bahwa China sedang menggunakan kekerasan untuk memperluas pengaruh, tetapi hanya berusaha untuk mempertahankan keutuhan wilayahnya. Justru pihak lain yang sedang mengerahkan kekuatan bersenjata guna melakukan tekanan.
Alih-alih memaksakan jalur modernisasi yang dilakukannya, China merasa mendukung pembangunan sesuai kekhasan setiap negara. Beijing hanya membantu negara-negara lain lewat mekanisme pendanaan Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI). Dalam Lanting Forum muncul tudingan, pemaksaan model modernisasi dan pembangunan dilakukan oleh Barat, dalam hal ini AS.
Apa yang muncul dalam Lanting Forum—perhelatan yang dihadiri sekitar 300 peserta dari 80 negara—mempertegas kembali bahwa persaingan AS-China sedang terjadi di berbagai bidang, mulai dari militer, ekonomi, hingga teknologi. Saling tuding di antara mereka pun terus terjadi.
Persaingan dua kekuatan raksasa itu menjadi laporan utama The Economist edisi 15-21 April 2023. Laporan menghujam pada pokok persoalan yang dirasakan banyak negara lain di dunia: bagaimana bertahan di tengah keterbelahan dua negara adidaya. Hal yang mengemuka dalam laporan The Economist, ternyata ada banyak negara enggan memihak dalam persaingan China-AS. Mereka bersikap pragmatis. Mana yang menguntungkan, itulah yang diambil. Maka, isu krusial ialah bagaimana China dan AS mengambil hati sebanyak mungkin negara untuk memberikan dukungan.
Bagi negara menengah seperti Indonesia, prioritas mereka ialah memastikan pembangunan berjalan mulus dan kesejahteraan rakyat meningkat. Pihak yang memberikan bantuan sesuai kebutuhan akan menjadi mitra. Ideologi tidak lagi menjadi alasan pokok dalam menentukan keberpihakan di tengah persaingan dua kekuatan raksasa.
Keadilan juga menjadi perhatian banyak negara menengah. Sudah bukan eranya lagi tatanan dunia dibangun lewat dominasi suatu negara atas negara lain, atau lewat praktik penghisapan oleh sebuah negara atas negara lain. Semua pihak harus sama-sama diuntungkan dan menjadi sejahtera.
Editor:
PAULUS TRI AGUNG KRISTANTO, ANTONIUS TOMY TRINUGROHO