Bertemu Aneka Buddha di Yungang
Situs Gua Yungang punya 45 gua dengan 254 relung yang menyimpan 59.000 patung.
Jika Jordania memiliki Petra, kota kuno terpahat di batu cadas, dan Mesir memiliki kuil batu Abu Simbel dengan patung Firaun Ramses II raksasa di pintu masuknya, Kota Datong di Provinsi Shanxi, China, punya Yungang Grottoes dengan patung Buddha Sakyamuni duduk setinggi 17 meter.
Ketiganya sama-sama terpahat di bebatuan dan sama-sama terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Bedanya, di dalam kompleks Yungang Grottoes atau Gua Yungang yang berusia sekitar 1.500 tahun dan seluas 18.000 meter persegi itu terdapat 45 gua yang mencakup sekitar 254 relung dengan sekitar 59.000 patung.
Situs bersejarah yang dicatat UNESCO sebagai situs warisan dunia pada tahun 2001 itu, terletak di lembah Sungai Shi Li di kaki pegunungan Wuzhou Shan bagian selatan, sekitar 23 kilometer dari pusat kota Datong dan dibangun membentang sekitar 1 kilometer dari timur ke barat. Selain Yungang, di China ada dua lagi situs gua besar serupa, yakni Gua Mogao di Dunhuang-Provinsi Gansu dan Gua Longmen di Luoyang-Provinsi Henan.
Baca juga: Prajurit Terakota Penjaga Mimpi China
Sore itu, Sabtu (21/10/2023), Gua Yungang padat pengunjung. Situs ini relatif mudah dicapai pengunjung karena hanya butuh waktu sekitar sejam naik mobil atau bis dari pusat kota Datong. Cuaca sore itu nyaman, belum terlalu dingin seperti saat malam tiba yang suhunya bisa anjlok sampai 2 derajat celcius. Bulan Mei sampai Oktober disebut sebagai waktu terbaik untuk jalan-jalan ke Gua Yungang.
Dengan tiket seharga 150 yuan atau sekitar Rp 327 ribu, cukuplah mengeksplorasi atau mengintip koleksi gua di Yungang setengah hari saja. Dari pintu gerbang situs, kira-kira masih harus jalan sekitar 2 kilometer dengan kondisi jalan agak menanjak. Sampai di lokasi juga tak bisa langsung masuk gua karena harus sabar antri menunggu giliran karena guanya sempit. Ada 2 gua yang antriannya panjang. Bisa jadi, itu artinya ada yang menarik di dalamnya dan ini semakin membuat penasaran.
Baca juga: Memasuki Lorong Waktu Hutong
Sambil menunggu, pemandu wisata Gua Yungang menjelaskan Gua Yungang mewakili perpaduan seni simbolik agama Buddha dari Seni Buddha Gandhara dengan tradisi budaya China pada Dinasti Qin dan Han pada abad ke-5 dan ke-6. Mahakarya seni gua Buddha China awal ini menggabungkan bentuk seni tradisional China dengan pengaruh asing, khususnya dari Asia Selatan dan Tengah seperti India. Dilihat dari luar, relung-relung gua ini tampak seperti sarang lebah.
Menurut waktu penggaliannya, Gua Yungang dibagi menjadi tiga tahapan, yakni Gua Periode Awal, Periode Tengah, dan Periode Akhir. Bentuk gua dan corak pahatan gua memiliki ciri khas tersendiri pada periode yang berbeda-beda. Lima gua kreasi biksu terkemuka Tan Yao dibangun pada periode awal dengan sangat megah. Gua-gua periode pertengahan terkenal dengan ukiran dan dekorasi hiasan indah yang menunjukkan gaya artistik Dinasti Wei Utara yang kompleks, beragam, dan indah.
Skala ruang gua pada periode akhir lebih kecil dengan sosok Buddha yang kurus dan tampan. Patung musik, tarian, dan akrobat yang terpahat di dinding gua juga merupakan cerminan pemikiran Buddha yang populer dan menjadi bagian dari kehidupan sosial pada saat Dinasti Wei Utara. Pada zaman kuno, menjadi tradisi bagi umat Buddha untuk menggali gua di gunung sebagai tempat suci untuk menjalankan ibadah mereka.
Kuil-kuil ini selalu dipenuhi dengan patung Buddha, ukiran indah, dan karya seni. Gua Yungang awalnya dibangun pada Dinasti Wei Utara (368-534 M). Penggalian Gua Yungang berlangsung selama lebih dari 60 tahun sejak awal masa pemerintahan Kaisar Wencheng (460 M) hingga tahun kelima masa pemerintahan Kaisar Xiaoming (524 M). Pada tahun 460 M, Tan Yao diminta Kaisar Wencheng untuk menggali lima gua dan membangun patung Buddha di sana.
Baca juga: Imaji Karakter Masyarakat China di Gunung Huang
“Di dalam gua, boleh motret dan rekam video tapi tidak boleh pakai lampu kilat, ya,” kata si pemandu wisata begitu rombongan bisa masuk ke gua sambil melanjutkan ceritanya di dalam gua. “Lihat pahatan dan ukiran di atas, sangat detail di bagian wajah,” kata si pemandu wisata sambil menunjuk ke atas terus. Karena agak gelap, mata sering harus dipicingkan untuk bisa melihat jelas apa yang ditunjuk oleh si pemandu wisata. Lama-lama leher pegal juga karena harus terus menengadah di semua gua yang dimasuki.
Pegang jangan
Di dalam gua, cukup terang karena dibantu lampu-lampu sorot sehingga memudahkan memotret dan merekam video. Hanya saja harus dilakukan sambil berjalan pelan-pelan jika tak mau terdorong atau diomeli orang di belakang kita kalau kita berhenti. Sebaiknya memang datang ke sini bukan pada akhir pekan tetapi hari kerja karena, kata si pemandu wisata, suasananya relatif agak sepi. Bagi yang memiliki fobia ruangan sempit atau suasana agak gelap, sebaiknya jangan masuk daripada malah sesak napas atau pingsan.
Begitu masuk ke gua-gua dari periode tengah, rasanya seperti berada di dalam lokasi syuting film petualangan arkeolog Indiana Jones. Hanya saja, pengunjung tidak boleh menyentuh dinding-dinding gua yang dibatasi kaca tebal. Semua bagian di dalam gua aturannya jelas, “lihat boleh, pegang jangan”.
Di dalam salah satu gua, Gua nomor 6, ada pilar pagoda dua lantai setinggi 15 meter di tengah-tengah relung gua yang menceritakan 33 plot ukiran kisah kehidupan Sakyamuni mulai dari kelahiran Sakyamuni hingga bagaimana dia menjadi biksu lalu menjadi Buddha. Guanya didekorasi mewah dan dianggap sebagai gua paling spektakuler. Kontennya kaya dan dari ukiran-ukiran yang detail terlihat ketrampilan memahat yang luar biasa dari pembuatnya.
Baca juga: Keluar sebagai ”Pahlawan” di Tembok Besar
Wajah-wajah patungnya pun berbeda-beda, tidak ada yang sama. Ada juga patung Siwa yang jarang terlihat di Yungang dengan delapan tangan dan empat kepala yang menunggangi seekor banteng. Karena waktu jalan-jalan kami terbatas, hanya 2 jam, jadi hanya bisa melihat gua nomor 5, 6, 9, 13, dan 16-20. Gua-gua ini yang paling klasik di situs Gua Yungang.
Gua 16-20 masing-masing berisi patung Buddha berukuran masif. Di Gua 20, gua yang terakhir kita lihat dan seakan menjadi penutup perjalanan, ada patung Buddha setinggi 13,7 meter sedang dalam posisi meditasi dengan Buddha pengiring yang berdiri di sampingnya. Diduga di sebelahnya ada patung Buddha lagi tetapi konon hilang bersama dengan langit-langit dan dinding luar gua yang sudah lama runtuh. Patung Buddha ini berpipi montok, leher tebal, mata memanjang, hidung mancung, bibir sedikit tersenyum, dan berbahu lebar.
Baca juga: Merawat Kenangan Masa Lalu di Kota Air Beijing
Dikisahkan, gua ini dibuat untuk memperingati lima kaisar pendiri Dinasti Wei Utara dan menjadi perwujudan kekuasaan kekaisaran keluarga kerajaan dinasti itu. Patung Buddha raksasa yang di Gua 20 inilah yang menjadi tempat dan latar belakang sejuta umat untuk foto bersama atau berswafoto. Tak sedikit juga pengunjung yang sibuk membuat konten, berdiri di depan ponsel yang terpasang di tripod lengkap dengan sorot lampu khusus untuk siaran langsung (live-streaming).
Arsitektur kuil gua
Di dalam kompleks Gua Yungang, terdapat Museum Gua Yungang yang menceritakan seluruh proses pemugaran, rekonstruksi, renovasi, dan konservasi kuil gua batu. Kuil gua yang terbuat dari batu, seperti di Gua Yungang, pertama kali muncul di India bagian barat pada abad ke-1 Sebelum Masehi. Ada dua tipe dasar, yakni chaitya (tempat suci, kuil, atau ruang ibadah dalam agama India) berbentuk setengah lingkaran dan gua vihara tempat tinggal para biksu. Bentuk kedua ruangan ini dibawa ke Asia Tengah hingga abad ke-5 dengan sedikit modifikasi pada strukturnya.
Di Gua Yungang, tipe tempat suci diadaptasi menjadi bentuk persegi yang memiliki pilar di tengah gua seperti di Gua 6. Dalam buku sejarah Yungang dari pemerintah daerah setempat disebutkan Yungang adalah pusat tempat berbagai tradisi seni Asia Selatan, Asia Tengah, dan China pra-Budha disintesis menjadi sesuatu yang baru.
Hal ini dimungkinkan karena ada Jalur Sutra, jaringan jalur perdagangan kuno yang menghubungkan Asia Timur dengan wilayah Eurasia lainnya. Barang dan gagasan dipertukarkan di sepanjang Jalur Sutra setidaknya sejak abad kedua SM. Penting bagi interaksi ekonomi, budaya, dan agama antarberbagai wilayah di Eurasia, Jalur Sutra menghubungkan wilayah Wei Utara dengan pusat ajaran agama Buddha di Asia Selatan dan dengan kerajaan-kerajaan Asia Tengah yang menyebarkan ajaran Budha.
Baca juga: Jatuh Bangun Kota Terlarang
Faktor utama yang memfasilitasi pertemuan beragam tradisi ini adalah berkumpulnya manusia dan material dari berbagai daerah. Pada tahun 430-an dan 440-an, Istana Wei Utara mengeluarkan dekrit yang merelokasi pengrajin dan biksu dari tanah taklukannya ke ibukota Pingcheng. Konsentrasi orang dan keahlian di ibukota memicu berkembangnya seni biara-biara Buddha, kuil gua, patung, dan mural. Para biksu terkemuka yang aktif di Pingcheng juga aktif dalam kegiatan keagamaan di kota lain seperti Chang’an dan Wuwei serta menjalin hubungan dekat dengan komunitas Buddha di Asia Tengah.
Sama seperti bentuk candi gua yang terbuat dari batu yang diadaptasi dari tradisi sebelumnya di Asia Selatan, patung dan relief di Gua Yungang menunjukkan kesamaan gaya dan ikonografi yang kuat dengan tradisi seni Buddha sebelumnya dari India barat laut dan Asia Tengah. Misalnya, patung Buddha raksasa di Gua 16-20 yang menampilkan wajah bulat Buddha dengan ekspresi lembut dan tenang yang menciptakan kesan kesucian, serta model jubah yang menempel erat di tubuhnya.
Semua ciri khas ini mencerminkan estetika yang ditemukan di patung-patung Buddha di Gandhara, pusat ajaran Budha di wilayah yang kini India dan Pakistan. Gua Yungang menjadi bukti terjadinya pertukaran dinamis diantara pusat-pusat kebudayaan utama di wilayah-wilayah sepanjang Jalur Sutra.
Baca juga: Menemukan "Nusantara" di Yunnan
Kepala Akademi Yungang Grottoes, Hang Kan, di harian People’s Daily, 11 Juli 2023, menjelaskan percampuran budaya ini terlihat dari berbagai pola dekoratif ciri khas China dan asing di gua-gua Yungang. Tiang-tiang yang ada di gua juga bercirikan budaya asing seperti yang terlihat di Yunani kuno, Persia, dan India. China kini bekerja sama dengan enam negara peserta Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiatif/BRF) dalam proyek konservasi 11 situs bersejarah. China juga memulai 33 proyek arkeologi bersama 17 negara peserta BRI.
Melindungi warisan budaya dan mendorong pembelajaran antarperadaban sudah menjadi kesepakatan bersama. “Orang China meyakini seseorang tidak hanya harus menghargai budayanya sendiri tetapi juga budaya orang lain karena akan berkontribusi pada berkembangnya semua budaya,” kata Hang.