Menemukan "Nusantara" di Yunnan
Berada di Wenshan Zhuang dan Miao, Yunnan, serasa berada di tanah air. Hamparan bukit karst, suasana pedesaan, dan karakter warga etnis minoritas Wenshan yang hangat dan banyak senyum mirip seperti orang Indonesia.
"Perjalanan dari Kunming ke Wenshan 4 jam dengan bis. Nanti bisa tidur di bis," kata Shen Xiaochang, pendamping perjalanan kami selama di Provinsi Yunnan, China, sesampainya di Bandar Udara Internasional Kunming Changshui, Selasa (15/11/2022).
Keinginan untuk tidur segera batal begitu melihat pemandangan hamparan bukit dan gunung karst gagah dan indah bak lukisan di sepanjang jalan mulai dari Kunming sampai ke kota Wenshan di Prefektur Otonomi Wenshan Zhuang dan Miao, Provinsi Yunnan.
Tak bosan-bosannya kamera ponsel diarahkan ke bukit-bukit karst berbentuk seperti nasi tumpeng kerucut itu. Perjalanan sejauh 310 kilometer (km) selama sekitar 4 jam pun tak terasa membosankan.
Baca juga: Keluar sebagai ”Pahlawan” di Tembok Besar
Pemandangan karst ini terasa tidak asing karena Indonesia juga memiliki kekayaan kawasan karst, seperti di Rammang-Rammang, Desa Salenrang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Desa wisata Rammang-Rammang yang merupakan bagian dari kawasan Geopark Maros Pangkep itu bahkan telah menjadi bagian dari UNESCO Global Park. Karst di kawasan itu dikenal karena memiliki tipe menara karst yang terbesar dan terindah kedua di dunia setelah kawasan karst di wilayah Cina Selatan.
"Ngarai, jurang, dan tebing di sini berlimpah, aku tidak melihatnya di tempat lain di Nusantara. Permukaan miring hampir tidak dapat ditemukan di mana saja, dinding besar dan massa kasar batu mengakhiri semua gunung dan melingkungi lembah. Di banyak bagian ada tebing vertikal atau bahkan menjorok lima atau enam ratus meter tingginya, namun dibungkus rapat-rapat dengan permadani vegetasi”. Begitu komentar Alfred Russel Wallace tentang bentang karst Maros pada 1857 dalam bukunya “The Malay Archipelago” tahun 1869.
Kawasan karst di China Selatan merupakan salah satu contoh lanskap karst tropis hingga subtropis paling menakjubkan di dunia. Kawasan karstnya tersebar di Provinsi Guizhou, Guangxi, Yunnan, dan Chongqing hingga seluas 97.125 hektar. Karakter karstnya variatif, mulai dari karst menara, karst puncak, formasi karst kerucut, sampai karakteristik spektakuler lain seperti jembatan alami, ngarai, dan gua-gua besar.
Weshan merupakan salah satu kawasan karst yang dikenal karena 97 persen dari 31,4 km persegi luas lahannya merupakan pegunungan atau semi-pegunungan dan 53,4 persen merupakan bentuk lahan karst.
Kata karst berasal dari bahasa Slovenia kras yang artinya lahan berbatu. Pada awalnya istilah ini digunakan untuk merujuk ke suatu kawasan di perbatasan Yugoslavia/Slovenia dan Italia Utara yang terdiri dari batuan. Kini, karst lebih dikenal sebagai kawasan bentang alam dengan bentuk hamparan atau bukit batuan gamping.
Pulang kampung
Setelah lebih dari lima bulan hanya berkutat di kota-kota besar di China yang relatif maju, modern, dan semua bergerak serba cepat, akhirnya datang juga kesempatan mengintip kota lain yang jauh dari kebisingan ibukota Beijing. Selain pemandangan alam yang tak asing, suasana desa-desa di Prefektur Otonomi Wenshan Zhuang dan Miao pun serasa di kampung halaman sendiri.
Warganya hangat dan murah senyum. Ini misalnya dijumpai pada warga Desa Laozhai dan Huanggualu di Tianbao Township serta Desa Jianglong di Xingjie Township. Barangkali ini karena iklimnya yang subtropis ringan tanpa panas dan dingin yang ekstrem.
Kehangatan dan karakter yang berbeda ini juga barangkali karena Wenshan berbatasan langsung dengan Provinsi Hà Giang, Vietnam, dan jaraknya hanya 100 kilometer. Karena bertetangga dekat, banyak warga Wenshan yang bisa juga berbahasa Vietnam. Bahkan petunjuk-petunjuk di hotel tempat kami menginap saja menggunakan tiga bahasa, Mandarin, Inggris, dan Vietnam. "Dari desa Laozhai ini ke Hanoi hanya 3 jam naik mobil. Dekat sekali," kata Tranh Quoc Anh, wartawan dari Vietnam.
Dengan kedekatannya dengan Vietnam dan 11 kelompok etnis berbeda yang tinggal di dalam perbatasannya, Wenshan menjadi wilayah dinamis secara budaya. Di Wenshan ada etnis Han, Zhuang, Miao, Yi, Yao, Hui, Dai, Buyi, Mongol, Bai, dan Gelao yang hidup berdampingan.
Setiap kelompok etnis di Wenshan memiliki bahasa dan tradisi yang berbeda-beda. Dari jumlah penduduk sekitar 3,5 juta, 58,1 persen datang dari kelompok etnis minoritas. Warna kulit sawo matang membuat mereka lebih mirip dengan rata-rata orang Indonesia.
"Untung bahasa yang dipakai Mandarin jadi kami bisa saling berkomunikasi. Sulit membedakan masing-masing etnis karena dari fisik mirip. Kita baru bisa tahu asal etnisnya ketika sudah bicara. Dialek Mandarinnya berbeda. Di setiap desa ada beragam etis," kata Shen.
Baca juga: Serba Masa Depan di Negeri Masa Lalu
Ketika berkunjung ke salah satu desa di Kabupaten Malipo dan di Laozhai, kami disuguhi tarian tradisional yang salah satunya mirip tarian kuda lumping atau jaran kepang di Jawa. Ada juga tarian payung mirip seperti di Sumatra. Itu dari sisi seni budaya.
Dari sisi budaya pertanian dan perkebunan, cara masyarakat pegunungan menanam memakai sistem terasering. Di mana-mana terlihat terasering atau sawah berundak. Tradisi agraris ini sudah berlangsung sejak ribuan tahun silam.
Terasiring Yuanyang di Gunung Ailaoshan, Kabupaten Yuanyang, Yunnan, hasil karya etnis Hani adalah terasiring yang paling terkenal indah. "Saya dulu pernah liburan ke Bali dan lihat lahan pertanian seperti ini juga," kata Shen.
Nenek moyang
Banyaknya kemiripan antara Yunnan dengan tanah air membuat ingatan melayang kembali ke mata pelajaran Sejarah saat masih sekolah. Dulu guru mengajarkan salah satu teori asal usul nenek moyang Indonesia yang datang dari Yunnan sekitar 4.300 tahun yang lalu.
Teori ini didasari pada hasil temuan teknologi dan persamaan bahasa. Masyarakat Yunan dipercaya datang ke Nusantara secara bergelombang melalui berbagai sungai besar seperti Chao Phraya dan Mekhong.
Baca juga: Menanti ”Wajah Baru” China
Kedatangan masyarakat Yunan ini dibagi menjadi dua bagian yaitu Proto Melayu dan juga Deutro Melayu. Gelombang pertama, Proto Melayu, datang ke Nusantara sekitar 3.000 hingga 1.500 SM. Bangsa ini yang membawa kebudayaan neolitikum ke Indonesia. Lalu gelombang kedua, Deutro Melayu, tiba pada 1.500-500 SM. Mereka membawa kebudayaan yang lebih modern.
Bangsa Proto Melayu memiliki ciri fisik seperti ras Austronesia dan Negroid. Adapun bangsa Deutro Melayu memiliki ciri fisik Melanesia dan Mongoloid. Migrasi mereka ke selatan diduga karena adanya tekanan dari berbagai bangsa yang lebih kuat di wilayah utara.
Bukti adanya migrasi itu antara lain ditunjukkan dengan adanya temuan atau bukti arkeologis seperti kapak lonjong dan kapak persegi di nusantara yang mirip dengan temuan kapak di Asia Tengah. Berbagai temuan kapak persegi juga menyebar dari daerah Asia yang juga banyak ditemukan di bagian barat Indonesia. Kapak lonjong paling banyak ditemukan di bagian timur Indonesia.
Meski ada bukti kemiripan kondisi geografis, bahasa, kondisi fisik, dan bukti teknologi, ada sebagian orang yang menilai teori Yunnan ini tak terlalu kuat membuktikan nenek moyang masyarakat Nusantara datang dari Yunnan. Terlepas dari teori asal usul nenek moyang itu, yang jelas minat masyarakat Yunnan untuk belajar tradisi budaya dan Bahasa Indonesia tinggi.
Baca juga: Titik Temu di Gemerlap Malam "The Bund"
Di Yunnan Minzu University (YMU), ada 60 mahasiswa di Jurusan Bahasa Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni Asia Selatan dan Asia Tenggara. "Di sini banyak yang ingin belajar Bahasa Indonesia karena tertarik dengan Indonesianya. Memang tata bahasa agak susah tetapi tidak apa-apa. Mereka tetap semangat," kata Zhao Ninghan, salah satu dosen Bahasa Indonesia yang berbicara dalam Bahasa Indonesia baku.
"Kapan-kapan ketemu di Indonesia ya. Saya rindu Indonesia," kata Zhao saat kami berpamitan setelah sejenak bertemu di kampus YMU di kota Kunming, Jumat (18/11/2022) sore.