Sentralitas ASEAN jangan hanya berat di penerapan prosedur, tetapi juga dikuatkan di pencarian solusi persoalan kawasan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertemuan ke-56 Menteri Luar Negeri Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN telah usai. Sejumlah refleksi diutarakan oleh para pemerhati isu kawasan mengenai pentingnya ASEAN memperkuat sentralitas dan memanfaatkan Forum Regional ASEAN atau ARF untuk menegaskan hanya ada satu pandangan mengenai Indo-Pasifik di kawasan, yakni pandangan ASEAN itu sendiri atau AOIP.
Hal itu dibahas di dalam diskusi mengenai ASEAN yang diadakan oleh The Habibie Centre di Jakarta, Kamis (20/7/2023). Secara keseluruhan, Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN (AMM) mencakup 24 pertemuan. Hasil yang dikeluarkan adalah 28 dokumen program kerja yang mencakup komunike bersama.
”Secara umum, ASEAN sangat relevan karena mengedepankan budaya diplomasi. Ini tidak bisa diremehkan karena budaya diplomasi elite ASEAN ini menunjukkan kepada dunia bahwa penyelesaian setiap permasalahan adalah melalui dialog pada tataran multilatreal,” kata pakar Hubungan Internasional Universitas Binus, Faisal Karim.
Budaya ini tecermin dari sikap ASEAN yang tidak berpihak pada kubu tertentu sekaligus dekat dengan setiap kubu. Misalnya, ASEAN tetap dekat dengan China untuk berbagai kerja sama ekonomi dan pembangunan. Pada saat yang sama, ASEAN dekat dengan Amerika Serikat untuk kerja sama pertahanan dan keamanan.
Namun, ASEAN harus memperjelas dan menegaskan Pandangan ASEAN terhadap Indo-Pasifik (AOIP). Faisal menuturkan, peta kerja sama ASEAN dengan organisasi-organisasi kawasan lain untuk memperkuat AOIP belum jelas. Demikian pula berbagai kerja sama ekonomi dan pembangunan dengan negara-negara asing yang harus diterangkan hubungannya dengan penerapan AOIP dan sentralitas ASEAN. Kejelasan peta dan tujuan ini akan membantu menyejajarkan agenda ASEAN dengan agenda global.
Salah satu wujudnya ialah adanya pandangan kelautan ASEAN yang berusaha mengatasi persoalan perbatasan antara negara-negara anggota dan negara lain serta permasalahan penangkapan ikan secara ilegal. Hal positif ialah wacana pembentukan satuan polisi air ASEAN. Menurut Faisal, ini langkah yang baik untuk menurunkan ketegangan dan melakukan demiliterisasi di Laut China Selatan.
”Persoalan Laut China Selatan ini masalah kedaulatan negara pengklaim atau masalah keamanan? Setidaknya, adanya patroli bersama ASEAN bisa mengatasi isu keamanan,” tuturnya.
Peneliti isu ASEAN dari Sekolah Kajian Internasional S Rajaratnam (RSIS) di Singapura, Muhammad Faizal, menjelaskan bahwa berbagai persoalan di ASEAN tumpang tindih dengan persoalan global, terutama yang berkaitan dengan negara-negara adidaya. Isu krisis politik dan keamanan di Myanmar, misalnya, bersinggungan langsung dengan persoalan bilateral dengan China dan India.
Terdapat pula invasi Rusia ke Ukraina yang membuat Rusia dikucilkan di Eropa. Sebagai gantinya, Moskwa mendekati Beijing dan ASEAN. Di sini, ASEAN harus bijak melangkah dan tegas bersikap supaya benar-benar tidak menjadi perpanjangan tangan kepentingan pihak-pihak adidaya ini.
Ia menyitir Dialog Pertahanan dan Keamanan Shangri-la di Singapura bulan lalu. Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin membicarakan mengenai aliansi AS di Indo-Pasifik. Di dalam pidatonya, ia nyaris tidak menyebut ASEAN. Austin fokus membicarakan aliansi Quadrilateral dan Aliansi Australia-Inggris-AS (AUKUS). Ini seolah ASEAN tidak dipandang secara serius oleh AS.
Sebaliknya, Menteri Pertahanan China Li Shangfu banyak menyebut ASEAN dan pentingnya pendekatan multilateralisme. Walaupun hal ini positif, ada risiko ASEAN bisa berat sebelah apabila tidak memperhatikan langkah dengan saksama.
”ASEAN melalui ARF sudah terbuka dan inklusif. Tetapi patut diperkuat lagi agar mampu mencari solusi. Landasan dari pembahasan di ARF harus menegaskan kerja sama dengan semua pihak diperbolehkan di kawasan selama sesuai dengan sentralitas ASEAN, Piagam ASEAN, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,” ujar Faizal.
Melihat itu, kata Faizal, ASEAN harus secara jernih merancang kerja sama dengan adidaya. Misalnya, kerja sama pengembangan perekonomian digital dengan China di tengah berbagai kekhawatiran global mengenai risiko koersi dan minimnya perlindungan data. ASEAN harus bisa menjawab kecemasan publik tersebut.
Direktur Kerja Sama Politik dan Keamanan ASEAN Kementerian Luar Negeri Rolliansyah Soemirat menjelaskan, di dalam Bab VIII Piagam ASEAN dipaparkan mengenai pencegahan dan penanganan sengketa. Negara-negara yang menandatangani Traktat Persahabatan dan Kerja Sama (TAC) dengan ASEAN wajib mengikuti AOIP.
”Setiap negara memiliki definisi Indo-Pasifik masing-masing, tetapi yang berlaku di kawasan adalah AOIP yang jelas inklusif dan mengedepankan multilateralisme tanpa pengecualian. Negara-negara mitra diminta menyesuaikan diri,” ujarnya.
ASEAN tengah merumuskan ASEAN Concord, yaitu visi ASEAN pascatahun 2025. Di dalamnya mencakup penguatan ARF untuk menjadi wadah mencari solusi berbagai persoalan di kawasan, bukan sekadar dialog.
Terkait isu Myanmar, Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2023 telah mengadakan 110 pertemuan dengan berbagai pemangku kepentingan di sana. Namun, Rolliansyah mengatakan, isi pertemuan-pertemuan itu belum bisa dijabarkan kepada publik mengingat masalahnya sangat sensitif.
”Terlepas dari kerumitan berbagai pihak yang terlibat, ASEAN meminta semua kubu di Myanmar menghentikan kekerasan. Soal perundingan akan butuh waktu, tetapi penghentian kekerasan tidak bisa ditunda,” katanya.