Dalam posisi seperti pelanduk di tengah dua gajah yang memperebutkan hegemoni dunia, AS dan China, ASEAN harus memiliki cetak biru strategi dalam menghadapi persaingan dua raksasa. Tanpa itu, kemakmuran bisa buyar.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·4 menit baca
AFP/ADEK BERRY
Dari kiri ke kanan: Direktur Komisi Pusat Kebijakan Luar Negeri (CFAC) Partai Komunis China Wang Yi, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dan Menlu Rusia Sergey Lavrov bersiap memulai pembicaraan trilateral di Jakarta, Rabu (12/7/2023).
Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN sedang berada di tengah pertarungan geopolitik yang penuh risiko. Isunya tetap sama, yakni keinginan China menjadi hegemonik di kawasannya dan dihadapkan pada ketidakrelaan Amerika Serikat melepas Asia. Namun, kalkulus perang tidak pada tempatnya bagi ASEAN yang sangat dinamis secara ekonomi.
Dari sudut mana pun, ASEAN dipandang sebagai bagian dari mesin ekonomi dunia, bersama China dan India. Akan tetapi, setelah sekian lama menikmati bonus stabilitas, ASEAN perlahan berada di persimpangan. Tidak bisa disamakan seperti Ukraina, tetapi akar masalahnya sama saja. Ada pertarungan perebutan pengaruh di kawasan.
Tentu, banyak yang meminta AS secara tidak langsung agar merelakan China memiliki panggung di kawasan. Hal seperti ini turut disuarakan oleh pemimpin Singapura, Lee Hsien Loong. Suara serupa dinyatakan Kamar Dagang dan Industri AS, yang menikmati bisnis di China dan Asia.
Di AS sendiri secara konstan muncul suara agar AS tidak perlu bersikap terlalu bermusuhan dengan China. Penasihat ekonomi Presiden Donald Trump, Gary Cohn, menyerukan hal tersebut dan termasuk menjadi alasannya untuk mengundurkan diri saat AS menyatakan perang dagang dengan China.
Hal serupa dinyatakan Profesor Stephen Roach dari Universitas Yale. Ia menyebut China tak pantas dijadikan kawasan dengan permusuhan sengit.
Hal yang sama diutarakan Menteri Keuangan AS Janet Yellen. Ia menegaskan, tidak mungkin AS dan China terpisah secara ekonomi. China adalah negara tempat korporasi AS mencetak keuntungan tinggi.
AFP/PEDRO PARDO
Menteri Keuangan AS Janet Yellen (atas, ketiga dari kanan) menghadiri pertemuan dengan para pebisnis anggota Kamar Dagang dan Industri AS di China di Beijing, China, Jumat (7/7/2023).
Akan tetapi, warga AS semakin sengit menuntut pemerintahan AS untuk terus menguntit perkembangan China. Hal itu juga mengkristal di kalangan Republikan dan Demokrat. Lepas dari mampu tidaknya AS menghadapi China, suara warga AS merefleksikan alam dari pertarungan geopolitik dan ketidakrelaan akan hadirnya tandingan baru. Alamiah pertarungan geopolitik negara-negara terkuat secara empiris terbukti berujung menjadi perang yang merugikan dan menyengsarakan.
Nasib pelanduk
Hal inilah yang membuat ASEAN mirip pelanduk di tengah dua gajah yang sedang bertarung. Status pelanduk terbukti telah mempersulit iklim geopolitik di Eropa karena pertarungan antara Rusia dan Eropa dipandu AS. Invasi Ukraina telah menghambat kelancaran bisnis dan ekonomi antara Rusia dan Eropa.
Persoalan semakin sulit bagi Eropa akibat Eropa yang tidak biasa mandiri dan selalu ada dalam naungan AS. Mantan Kanselir Jerman Angela Merkel yang menentang perluasan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) ke Eropa Timur telah turut jadi cercaan Barat.
Hal serupa dialami Presiden Perancis Emmanuel Macron yang menyatakan negosiasi adalah hal penting antara Eropa dan Rusia. Macron juga menyatakan dukungan serupa dalam hubungan AS-China.
Maka tidak heran jika dalam pertemuan G20 di Jepang, ada suara tengah yang menolak decoupling antara AS dan China. Akan tetapi, sama seperti Merkel, Macron juga menjadi figur yang tidak disukai Gedung Putih.
AFP/LUDOVIC MARIN
Presiden Perancis Emmanuel Macron (kiri) dan Presiden China Xi Jinping mencicipi minuman anggur saat keduanya mengunjungi paviliun Perancis pada ajang China International Import Expo di Shanghai, China, 5 November 2019.
Di kawasan Asia, Jepang dan Korea Selatan memiliki posisi serupa. Dua negara itu tidak berani mandiri dan tidak berani lepas dari pengaruh atau tekanan AS. ”Kita harus memahami situasi ini karena kisah Perang Dunia II,” kata John Mearsheimer, pakar geopolitik dari Universitas Chicago, dalam berbagai seminar.
Hal inilah yang juga menjadi tantangan bagi ASEAN sekarang ini, yakni bagaimana ASEAN bersikap menghadapi pertarungan AS-China. Belum jelas bagaimana ASEAN menyikapi posisi pelanduk itu. Belum ada strategi jitu dalam kebijakan luar negeri yang bisa diandalkan.
Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Labuhan Bajo memang sudah menyatakan bahwa ASEAN memilih untuk bersikap netral di tengah sengitnya perseteruan AS-China. Hanya saja, hal yang perlu didalami adalah bagaimana memunculkan cetak biru strategi dalam menghadapi persaingan dua raksasa, AS-China, di kawasan.
Pertaruhan kemakmuran
Cetak biru strategi kebijakan luar negeri ASEAN kini menjadi momentum penting untuk dilahirkan. Hal ini mutlak dipikirkan agar ASEAN tidak membuat dirinya terseret dari jalur pertumbuhan menuju kemakmuran menjadi zona konflik atau perang.
Ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB) Albert Park selalu menyuarakan optimismenya akan dinamika perekonomian Asia dan ASEAN. Hal serupa juga dinyatakan dalam laporan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Tidak ada kawasan di dunia dengan perekonomian yang melaju pesat selain ASEAN dan Asia secara keseluruhan sekarang ini.
REUTERS/PICHI CHUANG/FILES
Orang mengendarai sepeda motor di area pelabuhan tempat kapal pengangkut kontainer melintas di Pelabuhan Keelung, Taiwan utara, 20 Juli 2010.
Integrasi perekonomian kawasan juga semakin mendalam dan saling melengkapi. ASEAN kini menjadi mitra dagang terbesar bagi China. Integrasi itu kini semakin didalami lewat kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan.
Kebetulan ASEAN masih menjadi kawasan yang belum makmur jika dilihat dari standar ekonomi AS atau Eropa. Oleh karena itu, jalan menuju kemakmuran harus dipastikan agar ASEAN tidak gagal menuju kemakmuran akibat konflik.
Itulah yang menjadi tantangan terkini bagi ASEAN. Bagaimana ASEAN menerjemahkan sikap netral ke dalam strategi kebijakan luar negerinya. (AP/AFP/REUTERS)