Blinken: Era Baru AS-ASEAN dalam Wadah Indo-Pasifik yang Bebas-Terbuka
AS menginginkan kawasan yang aman dan damai. Bagi Washington, kuncinya adalah kebebasan bernavigasi di Indo-Pasifik.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rangkaian kegiatan Pertemuan Ke-56 Para Menteri Luar Negeri Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) atau AMM hampir selesai. Indonesia menekankan untuk membuka komunikasi seluas-luasnya tanpa pengecualian guna mewadahi dialog penurunan ketegangan di kawasan.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken seusai Forum Regional ASEAN (ARF) di Jakarta, Jumat (14/7/2023), mengatakan bahwa ini adalah era baru bagi hubungan AS-ASEAN. ”Kita menetapkan ambisi baru untuk berkolaborasi pada hal-hal strategis universal yang berkaitan langsung dengan kelangsungan masyarakat AS dan ASEAN,” ujarnya.
Hal-hal strategis itu adalah kerja sama menangani krisis iklim, melakukan transisi energi, dan pemberdayaan masyarakat. Ini adalah kunci dari perwujudan kesejahteraan bersama.
Menurut Blinken, mekanisme pencapaian hal-hal strategis itu ialah melalui Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka. ”AS memercayai Indo-Pasifik harus menjamin kebebasan bagi siapa pun untuk terbang, berlayar, dan bertukar ide. Kebebasan ini berlandaskan hukum internasional, termasuk Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Laut (UNCLOS) yang dihormati dan dipatuhi AS,” ujarnya.
Blinken menyinggung mengenai ketegangan di Selat Taiwan, padahal perairan itu adalah tempat 50 persen komoditas global diangkut. Ada pula masalah rudal balistik dan nuklir Korea Utara yang meningkatkan ketegangan di Asia Timur.
Blinken mengatakan, AS menyayangkan Rusia yang hendak menghentikan jalur ekspor gandum. Padahal, negara-negara berkembang bergantung dari komoditas itu.
”Di ARF, isu ini dibahas dengan terbuka. Semua negara yang menandatangani Traktat Persahabatan dan Kerja Sama (TAC) wajib menghormati prinsip Piagam ASEAN yang menyatakan kolaborasi demi kesejahteraan bersama,” ujar Blinken.
Blinken menuturkan, Piagam ASEAN yang berlandaskan Piagam PBB sudah sepatutnya dipatuhi oleh negara-negara mitra wicara di dalam ARF. Tindakan unilateral dari satu negara adalah penyebab keseimbangan di kawasan terganggu.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Binus, Tangguh Chairil, memandang pesimistis terkait perkembangan ASEAN dari sudut realis. Hal itu karena mekanisme yang dipakai ialah musyawarah dan mufakat. Ini berarti, setiap keputusan harus diambil dengan kesepakatan semua anggota. Akibatnya, satu isu bisa berlarut-larut, bahkan memakan waktu belasan tahun untuk diselesaikan.
”Pendekatan konsensus ini cocoknya dengan ancaman keamanan nontradisional, misalnya kejahatan lintas negara. Akan tetapi, tidak cocok untuk mengatasi masalah keamanan tradisional, yaitu perkembangan militer dan persaingan geopolitik,” ujar Tangguh.
Ia mengatakan, sempat ada wacana untuk menerapkan sistem ASEAN Minus. Ini adalah pendekatan berbasis pengambilan suara sehingga suatu keputusan tetap berjalan meskipun ada segelintir anggota yang tidak setuju. Wacana ini kemudian tenggelam mengingat marwah di dalam Piagam ASEAN adalah kebulatan suara karena, dengan hal itu, setiap aspirasi anggota diperhitungkan.
”Pada intinya, ASEAN dibentuk untuk kerja sama ekonomi dan sosial. Berbagai keberatan yang diajukan ASEAN, contohnya pembentukan aliansi Quadrilateral dan Aliansi Keamanan Australia-Inggris-Amerika Serikat (AUKUS), tidak digubris,” ujar Tangguh.
Menurut Tangguh, keberadaan ARF memang demi mengembangkan rasa saling percaya. Akan tetapi, sulit mencapai kestabilan jika perilaku negara mitra berbeda dengan pernyataan. Misalnya, China terus mengatakan mendukung kestabilan kawasan, tetapi terus melakukan intrusi di Laut China Selatan.
Sekretaris Eksekutif Pusat Studi ASEAN Universitas Indonesia Shofwan Al Banna Choiruzzad memberikan pandangan lain. Takaran keefektifan ini bisa dilihat bahwa ARF mampu menjadi wadah dialog terbesar dan inklusif di Indo-Pasifik.
”Fakta bahwa negara-negara adidaya yang terlibat persaingan geopolitik datang dan menegaskan kembali komitmen mereka kepada sentralitas ASEAN dan Pandangan ASEAN untuk Indo-Pasifik (AOIP) adalah bukti bahwa ARF penting dan berpengaruh,” ujarnya.
ARF dan sentralitas ASEAN itu bukan untuk membuat terobosan, tetapi memastikan konflik tidak pecah ataupun merambah ke kawasan.
ARF, lanjut Shofwan, tidak bisa menyelesaikan persoalan keamanan struktural antarnegara karena bukan kewenangan ASEAN untuk ikut campur. Akan tetapi, ARF bisa memberi panduan mengenai hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan di kawasan. Misalnya, memastikan semua negara mitra tidak menjadikan investasi di ASEAN sebagai alat politik.
”ARF dan sentralitas ASEAN itu bukan untuk membuat terobosan, melainkan memastikan konflik tidak pecah ataupun merambah ke kawasan,” ujar Shofwan.
Forum ARF menjadi wadah komunikasi yang netral dan sebagai tempat para pemain kunci di kawasan saling menilai perilaku. Konflik memang tidak bisa diselesaikan, tetapi menjadi bisa dikelola. Contohnya ialah sengketa di Laut China Selatan selama dua dekade ini berhasil menghindari konflik terbuka.
Shofwan mengatakan, di ARF, negara-negara kecil sekali pun memiliki tempat dan suara yang didengar. Keterbukaan komunikasi itu menjadikan kecurigaan dan prasangka buruk bisa dihindari. Ini pula kesempatan ASEAN menentukan aturan main di kawasan.
”ASEAN adalah mercu suar yang menunjukkan arah. Persoalan kapal atau negara lain mengikuti suar itu urusan lain,” ucapnya.
ASEAN mendorong pelucutan persenjataan nuklir di kawasan, tetapi tidak berhak memaksa mitra wicara menandatanganinya. Mekanisme ini didukung dengan komunikasi bilateral karena di dalam diplomasi, berbicara itu penting untuk mencegah konflik.