Bagi ASEAN, isu pertumbuhan ekonomi dan kerja sama konkret menjadi sarana mempertemukan beragam kepentingan. AOIP perlu dielaborasi.
Oleh
LUKI AULIA, LARASWATI ARIADNE ANWAR, KRIS MADA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Rangkaian Pertemuan Pasca-Konferensi Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau PMC ASEAN telah selesai. Kerja sama perdagangan, ketahanan pangan, dan energi menjadi topik yang paling banyak dibahas.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Kamis (13/7/2023) malam, menyampaikan, hampir semua PMC ASEAN telah selesai. PMC merupakan bagian dari Pertemuan Ke-56 Para Menlu ASEAN (AMM). Pada Rabu, total digelar 11 pertemuan PMC dan 4 pertemuan bilateral. ”Ini semua sesuai dengan Pandangan ASEAN untuk Indo-Pasifik (AOIP) dengan menjadikan ASEAN sebagai pusat pertumbuhan,” kata Retno.
Ada penandatanganan perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN dengan Selandia Baru dan Kanada; pembahasan pengembangan perekonomian digital secara lebih luas dengan Korea Selatan; dan dengan Uni Eropa membahas peraturan deforestasi. Isu mengenai penanganan tindak pidana perdagangan orang juga dibicarakan dengan negara-negara mitra.
Sekretaris Jenderal ASEAN Kao Kim Hourn dalam wawancara pada April lalu mengatakan, AOIP merupakan lintas persoalan universal yang saling terkait. Perekonomian, energi, dan keamanan wilayah sekarang tidak bisa dipisahkan. ”Semua mitra wicara dan negara yang ingin berinvestasi di ASEAN harus menghormati AOIP. Keajaiban ASEAN ialah menyediakan iklim yang baik untuk investasi itu,” tuturnya.
Kao mengatakan, ASEAN memercayai bahwa, melalui proyek-proyek pembangunan, persaingan geopolitik bisa diredam.
Kesejahteraan bersama
Peneliti isu ASEAN di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional, Khanisa Krisman, mengatakan, unsur kesejahteraan memang sangat kental di dalam kepemimpinan Indonesia selama tahun 2023. Tujuan menjadikan ASEAN sebagai pusat pertumbuhan ialah agar bisa melecut perekonomian sehingga cepat bangkit dari dampak pandemi Covid-19.
”Namun, penggalian dan penghubungan AOIP dalam berbagai kerja sama itu minim. Peta strategisnya belum terlihat, apalagi penurunan teknisnya,” tutur Khanisa.
Ia menerangkan, ASEAN memang memastikan semua negara mitra wicara mematuhi Traktat Persahabatan dan Kerja Sama (TAC). Melihat dari persoalan persaingan geopolitik, ASEAN tidak bisa memaksa pihak-pihak yang terkait untuk rukun. Umumnya, ASEAN menegaskan agar jangan sampai ketegangan itu merembet ke kawasan. Perkara pihak terkait mau duduk bersama untuk berdialog dan mengupayakan perdamaian, ASEAN hanya bisa sebatas mengimbau.
Sementara itu, pengamat isu China di Departemen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Nur Rachmat Yuliantoro, mengatakan, membicarakan isu keamanan sebagai agenda utama ASEAN Plus Three tepat seiring wacana penempatan ”kantor lokal” Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Jepang yang diprotes keras oleh China.
Efektivitas keberadaan dan fungsi ASEAN Plus Three tergantung pada banyak faktor, termasuk kepentingan China dan AS serta kesatuan pandangan ASEAN.
”Jika ukurannya adalah tidak adanya konflik terbuka di kawasan, sementara ada peningkatan kerja sama di sektor ekonomi, boleh dikatakan, sejauh ini ASEAN Plus Three cukup menunjukkan manfaatnya,” kata Rachmat. (DNE/LUK)