Uni Eropa dan ASEAN ingin meningkatkan lerja sama transisi energi. Bisakah ASEAN lepas dari batubara?
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Uni Eropa menghibahkan dana sebesar 10 miliar euro kepada Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN untuk mitigasi krisis iklim dari sektor peralihan ke energi terbarukan. Persoalannya, Eropa memiliki skeptisisme besar terhadap kemampuan ASEAN mewujudkannya dalam tujuh tahun mendatang.
Dana itu disebut kembali oleh Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan Josep Borrell Fontelles di dalam Pertemuan Pasca-Konferensi (PMC) ASEAN di Jakarta, Kamis (13/7/2023). Ini adalah bagian dari rangkaian acara Pertemuan Ke-56 Para Menteri Luar Negeri ASEAN (AMM). ”Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN-Eropa di Belgia pada Desember 2022 telah menyetujui dan meneguhkan janji kita bekerja sama di aspek perdagangan dan pembangunan,” kata Borrell.
Ia menyebut ASEAN dan UE sebagai organisasi kawasan yang paling maju. Keduanya sangat menjunjung hukum-hukum internasional, antara lain ialah Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Konvensi PBB untuk Laut (UNCLOS). Oleh sebab itu, sudah kewajiban UE dan ASEAN memastikan masyarakat masing-masing benar-benar menikmati manfaat dari keberadaan organisasi di kawasan.
Menteri Luar Negeri Filipina Enrique Manalo selaku pemimpin rapat mengatakan, masalah krisis iklim adalah isu universal yang mengancam keberlangsungan masyarakat ASEAN. Isu ini tidak bisa diselesaikan sendiri dan butuh bantuan dari sejumlah pihak.
Di dalam KTT ASEAN-Eropa Desember 2022, disepakati pembentukan forum Dialog Energi UE-ASEAN. Ini menjadi wadah untuk menerapkan inisitif Gerbang Dunia (Global Gateway) yang diusulkan oleh Eropa. Di dalamnya mencakup penghibahan dana sebesar 10 miliar euro untuk pembangunan infrastruktur energi terbarukan di ASEAN.
Meskipun begitu, para pakar energi di Eropa meragukan kemampuan ASEAN untuk beralih ke energi terbarukan pada 2030. Pasalnya, negara-negara di Asia Tenggara sangat bergantung pada energi fosil, terutama batubara. Bahkan, dengan berakhirnya pandemi Covid-19 diartikan semakin melonjaknya permintaan energi di kawasan ini.
Badan Energi Internasional (IEA) mengeluarkan laporan perkiraan energi Asia Tenggara edisi 2022 di laman resmi mereka. Disebutkan, sampai dengan 2030, permintaan energi di kawasan bertambah 3 persen per tahun. Sebanyak tigaperempat dari permintaan ini dipenuhi melalui energi fosil, yaitu batubara.
Emisi karbondioksida yang dihasilkan akan naik 35 persen apabila dibandingkan dengan tahun 2020. Pada laporan tahun 2019, IEA bahkan memperkirakan, pada 2040 konsumsi energi di Asia Tenggara meningkat 60 persen dari tahun 2019 dengan total emisi karbondioksida 2,4 gigaton dengan batubara sebagai pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebagai penyumbang terbesar.
Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol menekankan pentingnya kebijakan politik yang kuat. Per 2020 saja nilai impor minyak Asia Tenggara sudah mencapai 50 miliar dollar AS. Tanpa perubahan ke energi terbarukan, impor minyak akan bertambah berkali-kali lipat.
”Investasi rata-rata di Asia Tenggara sepanjang periode 2016-2020 adalah 70 miliar dollar AS. Jika ingin kawasan ini segera beralih ke energi bersih harus ada investasi setiap tahun sebesar 190 miliar dollar AS,” ujar Birol.
ASEAN masih mencari berbagai pilihan. Setiap negara anggota memiliki peta jalan yang berbeda karena disesuaikan kebutuhan masing-masing dan karakteristik geografis mereka. Khusus untuk Indonesia, ada tawaran dari Polandia yang disampaikan oleh Wakil Menlu Wojciech Gerwel ketika melawat ke Jakarta pada Mei lalu. Polandia memiliki pengalaman serupa dengan Indonesia yang mengandalkan energi batubara. Sekarang, negara ini memiliki pertumbuhan ekonomi paling pesat di UE.
Ia menjelaskan, langkah yang bisa diambil adalah mengurangi energi fosil dengan membangun pembangkit energi terbarukan secara bertahap. Pada saat yang sama, harus ada peremajaan PLTU agar memakai teknologi pengurangan ataupun penangkapan karbon guna menurunkan kadar pencemarannya (Kompas.id, 23 Mei 2023).