Indonesia Tegaskan Dua Prinsip Dasar Politik Luar Negeri
Menlu Retno menegaskan, keteguhan Indonesia pada sikap inklusif dan terbuka pada semua pihak. Menurut pengamat, sikap itu perlu diperjelas dengan peta jalan agar capaiannya terukur.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia menegaskan dua prinsip dasar politik luar negerinya, yakni inklusif dan terbuka bagi semua pihak. Indonesia sebagai Ketua Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN tahun 2023 juga menyatakan, kedua prinsip itu sejalan dengan nilai-nilai ASEAN. Sudah menjadi komitmen Jakarta untuk memastikan Asia Tenggara dan Indo-Pasifik sebagai kawasan yang inklusif serta terbuka bagi semua pihak.
Demikian dikemukakan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di Jakarta, Rabu (12/ 7/2023). Ia menyelesaikan tiga pertemuan bilateral dan dua pertemuan trilateral. Pertemuan bilateral dilakukan dengan Menlu Selandia Baru Nanaia Mahuta, Direktur Komisi Pusat Kebijakan Luar Negeri (CFAC) Partai Komunis China Wang Yi, dan Menlu Rusia Sergey Lavrov.
Adapun pertemuan trilateral dilakukan Retno bersama dengan Wang dan Lavrov. Pada ajang trilateral kedua, Retno bertemu dengan Menlu India Subrahmanyam Jaishankar dan Menlu Australia Penny Wong.
Dalam semua pertemuan itu, Retno menegaskan Indonesia teguh kepada asas perdamaian, kerja sama, musyawarah, keseimbangan, inklusivitas, dan kesetaraan. ”Indonesia selalu mengutamakan keterbukaan dialog dengan semua pihak, tanpa terkecuali. Ini sesuai dengan komitmen untuk taat kepada Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan hukum internasional,” kata Retno.
Wujud dari prinsip ini ialah rencana Indonesia membawa ASEAN membuka kerja sama intensif dengan dua organisasi kawasan lain, yaitu Asosiasi Lingkar Samudra Pasifik (Indian Ocean Rim Association/IORA) dan Forum Kepulauan Pasifik (PIF). Di sini, India dan Australia berperan penting karena keduanya merupakan anggota IORA. Sementara itu, Australia juga anggota PIF.
Menurut Retno, Indonesia dan ASEAN terus menunjukkan perilaku inklusif. Terlihat dari Forum Regional ASEAN (ASEAN Regional Forum/ARF) dan Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur (East Asia Summit/EAS). Tidak ada forum di Indo-Pasifik yang seterbuka ini. Sebagai gambaran, di ARF Korea Utara juga menjadi anggota bersama dengan Amerika Serikat, China, dan Rusia.
Menlu India Jaishankar ketika membuka sesi trilateral Indonesia-India-Australia mengatakan, India mendukung Pandangan Indo-Pasifik ASEAN (AOIP). Meski demikian, India memiliki definisi tersendiri soal Indo-Pasifik, yaitu kebebasan untuk terbang maupun berlayar (freedom of navigation).
Hal serupa dikatakan Menlu Australia Penny Wong. Ia juga menekankan pentingnya Indonesia, Australia, dan India sebagai negara-negara demokrasi untuk menyejajarkan pandangan masing-masing demi kestabilan di kawasan. Khusus untuk Canberra, Wong menjabarkan kerja sama perekonomian dan kelautan yang lebih intensif.
Sementara itu, dalam pertemuan bilateral dengan Retno, Menlu Rusia Sergey Lavrov mengatakan, Rusia ingin memperkuat kerja sama dan kontribusi untuk Sekretariat ASEAN. Ia kembali mengutarakan pentingnya menjaga kerja sama multilateral dan setara guna memastikan terpenuhinya kesejahteraan dan perdamaian bersama. Dalam pertemuan itu, Moskwa dan Jakarta membahas penanganan krisis pangan dan energi global.
Konsisten
Ketua Jurusan Hubungan Internasional Universitas Binus Rangga Aditya Elias mengamati, walaupun kalimat yang disampaikan di dalam dua pertemuan trilateral itu serupa, nadanya berbeda. Khusus dengan Canberra dan New Delhi, aspek sebagai sesama negara demokrasi sangat digarisbawahi.
Menurut dia, ini sebagai komitmen untuk terus mengedepankan prinsip dialog dalam menghadapi konflik. Di sini, Indonesia ingin menunjukkan, sebagai negara besar di kawasan, Indonesia yakin dengan kemampuan serta sentralitas ASEAN.
”Indonesia berusaha menunjukkan kemampuan untuk mengatasi masalah, makanya keterbukaan Indo-Pasifik itu terus mengemuka. India dan Australia condong kepada prinsip Indo-Pasifik yang diinisiasi oleh Amerika Serikat. Segala keterbukaan navigasi ini pada ujungnya untuk mengisolasi China,” papar Rangga.
”Sebaliknya, Indonesia dan ASEAN menegaskan bahwa semua pihak di Indo-Pasifik harus aktif terlibat tanpa terkecuali. Tidak boleh ada pengucilan,” ujarnya.
Ia menjelaskan, Indonesia menunjukkan perhatian kepada situasi global, terutama konflik Rusia-Ukraina, sengketa di Laut China Selatan, dan Laut China Timur. Ini adalah titik-titik panas yang konfliknya berpengaruh dahsyat terhadap dinamika global. Konflik Rusia-Ukraina, misalnya, membuat dunia terpukul krisis keamanan pangan dan energi.
Indonesia, lanjut Rangga, menginginkan pendekatan multilateralisme yang setara dengan landasan dialog dan kolaborasi. Sejauh ini, Indonesia menunjukkan sikap yang kukuh tidak berat sebelah. Ini tampak di dalam terus membuka komunikasi dengan Rusia dan Ukraina.
Demikian pula dengan krisis keamanan di Myanmar. Indonesia sebagai Ketua ASEAN telah melakukan 110 pertemuan dengan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari junta militer hingga kelompok-kelompok etnis.
”Persoalannya, adakah peta jalan politik luar negeri yang jelas? Selama ini, terlepas dari niat baik dan konsistensi Indonesia, kita lebih sering terlihat mengambil tindakan mengikuti perkembangan arus (go with the flow) dibandingkan dengan membuat agenda penanganan masalah dengan tujuan dan capaian yang terukur,” ujarnya.
Sikap bebas aktif yang tidak berat sebelah ini, kata Rangga, jangan sebatas mengajak setiap pihak berdialog. Harus ada target perkembangan situasi yang nyata tanpa mengesampingkan aspirasi semua pihak. Ini baru bisa membuat suara Indonesia selain lantang juga berbobot. (LUK/RAZ)