ASEAN hanya bisa membantu menyelesaikan krisis Myanmar dari luar. Harus ada keinginan dari dalam untuk mengatasi krisis tersebut.
Oleh
LUKI AULIA, LARASWATI ARIADNE ANWAR, KRIS MADA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk meraih ”perdamaian yang abadi” di Myanmar, tidak ada jalan lain selain solusi politik. Sebelum bisa sampai pada titik solusi politik itu, semua pihak yang berkepentingan dan bertikai di Myanmar harus saling bicara. Hanya dialog yang akan bisa membuka jalan.
Negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) hanya bisa membantu dari luar. Indonesia sudah sangat intensif berbicara dengan semua pemangku kepentingan Myanmar. Sudah lebih dari 110 ”keterlibatan” yang dilakukan sejauh ini.
”Ini sangat kompleks dan sama sekali tidak mudah. Keterlibatan hanyalah sarana. Kami sangat prihatin melihat kekerasan yang terus berlanjut dan meningkat di Myanmar. Indonesia mengecam keras penggunaan kekuatan dan kekerasan,” kata Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi ketika membuka ASEAN Ministerial Meeting (AMM) Retreat, Rabu (12/7/2023) pagi.
Untuk itu, kata Retno, ASEAN mendesak semua pemangku kepentingan di Myanmar untuk mengecam kekerasan karena ini sangat penting untuk membangun kepercayaan, memberikan bantuan kemanusiaan, dan dialog. Di dalam pertemuan AMM Retreat ini, Retno menyatakan akan menjelaskan apa saja yang sudah dilakukan Indonesia selama hampir tujuh bulan terakhir, terutama tentang keterlibatan dengan semua pemangku kepentingan Myanmar dan upaya fasilitasi pengiriman bantuan kemanusiaan. Ia memastikan ”tidak ada seorang pun yang akan tertinggal”. Dalam hal bantuan kemanusiaan ini, ada sejumlah langkah maju.
”Saya berharap akses AHA Center untuk menjangkau mereka yang membutuhkan bantuan dapat diberikan lebih lanjut, termasuk di Magway dan Sagaing,” kata Retno. AHA Center adalah pusat koordinasi dan informasi penanganan bencana di kawasan ASEAN yang dibentuk pada 17 November 2011.
Krisis Myanmar menjadi isu yang dibahas secara khusus oleh para menlu ASEAN di AMM. Pembicaraan ini memfokuskan pada Konsensus Lima Poin yang disepakati pada April 2021, yakni penghentian kekerasan, dialog dengan semua pemangku kepentingan, menunjuk utusan khusus untuk memfasilitasi mediasi dan dialog, mengizinkan ASEAN untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada rakyat Myanmar, serta mengizinkan utusan khusus ASEAN untuk mengunjungi dan bertemu dengan pemangku kepentingan Myanmar.
Oleh karena itu, Retno menegaskan, konsensus itu menjadi acuan utama dan implementasinya harus tetap menjadi fokus ASEAN. ”Para pemimpin ASEAN di Phnom Penh telah menyatakan bahwa upaya lain harus mendukung implementasi Konsensus Lima Poin,” kata Retno.
Temui Suu Kyi
Pada kesempatan terpisah, Menlu Thailand Don Pramudwinai, Rabu, mengaku sudah bertemu dengan pemimpin Myanmar yang digulingkan junta, Aung San Suu Kyi, dan tampak sehat. Saat ini Suu Kyi berada di dalam tahanan dan sudah dituntut hukuman 30 tahun penjara untuk serentetan kasus. Suu Kyi menyatakan dirinya tidak bersalah dan sedang mengajukan banding ke Mahkamah Agung. ”Ada pertemuan dan beliau kondisinya sehat. Pertemuan itu berjalan baik,” kata Don tanpa menjelaskan lebih rinci soal pertemuan itu.
Don mengatakan sudah tiga kali bertemu dan berbicara secara informal tentang Myanmar dengan mengundang junta militer Myanmar. Ia mengaku, Thailand hanya ingin Myanmar segera kembali ke ASEAN. Pertemuan informal juga dihadiri Menlu Laos Saleumxay Kommasith, sebagai pihak yang ditunjuk junta militer Myanmar. Don menegaskan, pertemuan itu sudah sesuai dengan kesepakatan para pemimpin ASEAN berdasarkan dokumen Tinjauan dan Keputusan Implementasi Konsensus Lima Poin.
Don merujuk pada poin ke-14 dari dokumen yang dirilis seusai KTT ASEAN 2022 di Phnom Penh, Kamboja, yang berbunyi ”ASEAN akan mempertimbangkan untuk menjajaki pendekatan lain yang dapat mendukung pelaksanaan Konsensus Lima Poin”. ”Jadi, pertemuan informal itu sudah merujuk pada artikel nomor 14 dokumen itu, mencoba mengeksplorasi pendekatan lain,” kata Don di sela-sela pertemuan ASEAN, Selasa lalu. (REUTERS/AFP)