Penyelesaian Krisis Myanmar Buntu, Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia?
Tujuh bulan Indonesia menjadi ketua ASEAN belum terlihat kemajuan menonjol dalam penyelesaian krisis Myanmar. Masih ada sisa waktu bagi Indonesia untuk memaksimalkan mesin diplomasinya.
Dua warga Desa See San di wilayah Sagaing, Myanmar, Kamis (13/7/223), tewas setelah militer junta menyerang desa itu. Seperti dilansir media Myanmar, The Irrawaddy, pasangan berusia 20 tahunan tersebut meninggalkan seorang putra yang juga mengalami luka akibat serangan itu. Kondisi anak ini tidak diketahui karena kesulitan komunikasi.
Beberapa hari sebelumnya, seorang perempuan paruh baya tewas setelah rumahnya diserang oleh pasukan junta. Saudara laki-laki korban terluka cukup parah.
Serangan-serangan itu terjadi ketika para menteri luar negeri Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) tengah mengadakan pertemuan di Jakarta. Beberapa hari sebelum perhelatan itu dimulai, Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF), sayap militer Pemerintah Persatuan Nasional (NUG)—pemerintahan bayangan kelompok oposisi junta—diduga menyerang Desa Ngwe Twin di provinsi yang sama, Rabu (5/7/2023) dini hari. Serangan itu menewaskan 15 orang dan melukai t7 warga, termasuk 3 biksu.
Baca juga: PBB Khawatirkan Terulangnya Kekejaman Massal oleh Militer di Myanmar
Tewasnya pasangan suami-istri itu menambah deretan warga sipil yang tewas akibat kekerasan bersenjata pascakudeta militer, 1 Februari 2021. Menurut data Asosiasi Bantuan Tawanan Politik Burma (AAPP), hingga 13 Juli 2023, jumlah warga sipil yang tewas akibat kekerasan bersenjata yang dilakukan militer telah mendekati angka 4.000 jiwa. Sekitar 19.480 warga sipil juga masih mendekam di penjara-penjara Myanmar, termasuk Aung San Suu Kyi, pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Data Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Hak Asasi Manusia di Myanmar Thomas Andrews saat berkunjung ke Jakarta bulan Juni 2023 menyebut lebih dari 58.000 rumah, sekolah, dan berbagai fasilitas kesehatan luluh lantak. Sementara itu, diperkirakan 1,5 juta warga Myanmar mengungsi dari rumah mereka, baik di dalam negeri maupun di negara tetangga.
”Saya secara teratur menerima laporan tentang pembantaian, penyiksaan, kekerasan seksual, penggunaan warga sipil sebagai perisai hidup dan segalanya terus memburuk,” kata Andrews saat berada di Jakarta. Dia mengkhawatirkan krisis akan semakin memburuk.
Situasi yang memburuk tak hanya menimpa warga sipil di Myanmar. Warga Rohingya yang berada di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh juga dalam kondisi krisis. Program Pangan Dunia (WFP) berencana memotong jatah bantuan makan bagi para pengungsi, dari sebelumnya 10 dollar AS menjadi hanya 8 dollar AS. Tahun ini, WFP sudah mengurangi nilai jatah makan para pengungsi karena bantuan keuangan tidak mencukupi.
Tak hanya masalah bantuan kemanusiaan yang semakin menipis, keberadaan para pengungsi Rohingya di Bangladesh telah menimbulkan masalah horizontal, baik antarsesama mereka sendiri maupun dengan warga lokal. Pada awal Juli 2023, enam orang warga Rohingya tewas karena kekerasan bersenjata satu sama lain. Keenam orang ini tewas beberapa jam setelah anggota tim pencari fakta Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) berada di kamp pengungsi Cox’s Bazar untuk mencari fakta terkait dugaan genosida terhadap para pengungsi oleh Pemerintah Myanmar.
Menteri Luar Negeri Bangladesh AK Abdul Momen, dalam wawancara khusus dengan Kompas, Sabtu (15/7/2023), mengatakan, pemerintah mereka khawatir jika kondisi ini terus berlanjut, para pengungsi bisa terjebak dalam ekstremisme.
Baca juga: Wawancara Khusus Menlu Bangladesh: "ASEAN Harus Lebih Proaktif Tangani Rohingya"
”Kekhawatiran kami, jika masalah ini terus berlanjut untuk masa yang tidak ditentukan dan orang-orang ini tidak memiliki harapan lagi, frustrasi, tidak berkewarganegaraan, mereka akan terjerumus dalam ekstremisme, menjadi teroris. Tidak hanya akan menciptakan masalah keamanan bagi kawasan Asia, tetapi lebih luas lagi,” kata Momen.
Diplomasi senyap
Saat Indonesia diserahi jabatan sebagai keketuaan ASEAN akhir 2022, setelah sebelumnya dipegang oleh Kamboja dan Brunei Darussalam, optimisme terhadap penyelesaian konflik di Myanmar, sangat tinggi. Pandangan terhadap status Indonesia sebagai pemimpin tradisional di Asia Tenggara yang menjadikan harapan ini cukup tinggi. Pengalaman diplomatik Indonesia dalam menangani berbagai konflik dianggap sebagai modal dasar untuk memikul tanggung jawab tersebut.
Jauh sebelum memegang keketuaan ASEAN, Indonesia dan Thailand, dua dari lima negara pendiri ASEAN, bertemu dengan Menteri Luar Negeri junta Myanmar U Wunna Maung Lwin di Bandara Don Mueang, Thailand, Febuari 2021. Bersama Menlu Thailand Don Pramudwinai, Menlu Retno LP Marsudi menyampaikan posisi Jakarta atas persoalan yang tengah terjadi di Myanmar dan berharap pemimpin junta Jenderal Senior Min Aung Hlaing untuk menahan diri dan tidak melakukan kekerasan terhadap warga sipil.
Harapan telah bersemi saat Jakarta memprakarsai KTT Luar Biasa ASEAN, yang menghasilkan lima poin konsensus pemimpin ASEAN, April 2021. Kelima poin itu meliputi penghentian kekerasan, dialog semua pihak, pembentukan utusan khusus ASEAN, bantuan kemanusiaan, dan kunjungan utusan khusus untuk bertemu semua pihak di Myanmar.
Namun, implementasi lima poin konsensus macet. Junta bergeming. Min Aung Hlaing memutuskan untuk tidak memberikan akses bagi ASEAN untuk bertemu para pemimpin politik sipil Myanmar, termasuk Aung San Suu Kyi. Permintaan akses terhadap para tahanan politik tidak diberikan meski keketuaan ASEAN sudah berpindah, dari Brunei Darussalam, Kamboja hingga saat ini, Indonesia.
Sikap kepala batu junta yang enggan melaksanakan lima poin konsensus yang disepakati pada pertemuan para pemimpin negara-negara ASEAN di Jakarta, April 2021, membuat gerah sejumlah negara. Presiden Joko Widodo sempat menyebut akan meninjau ulang isi lima poin konsensus karena hal itu dinilai jalan di tempat.
Baca juga: Kapal Tenggelam ASEAN dan Pilihan Indonesia
Jelang pelaksanaan pertemuan menlu ASEAN, 11-14 Juli di Jakarta, Menlu Retno mengungkapkan bahwa kantor utusan khusus yang berada di bawah Ketua ASEAN telah melakukan 110 kali pertemuan atau dialog dengan para pihak di Myanmar. Retno menyebut bahwa dirinya telah berbicara dengan menteri luar negeri dari kedua pihak, yaitu Than Swe (pemerintahan Dewan Administrasi Negara atau SAC junta militer) dan menlu dari Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG).
Selain itu, tim yang dibentuk khusus untuk membantu utusan khusus juga telah bertemu dengan kelompok perlawanan etnis hingga kelompok masyarakat sipil.
Jumlah pertemuan tersebut meningkat dari sebelumnya 60 kali, seperti dilaporkan pada KTT ASEAN di Labuan Bajo, pertengahan Mei 2023, kemudian sebanyak 75 kali hingga pertengahan Juni 2023 dan terakhir adalah 110 kali. ”Dalam pertemuan saya, baik dengan Menlu NUG dan Menlu SAC, saya telah sampaikan pentingnya dialog inklusif sebagai satu-satunya way forward. Jika para pihak menginginkan perdamaian yang durable di Myanmar. Semua pihak luar harus mendorong dilakukannya dialog inklusif di Myanmar,” kata Retno.
Baca juga: Langkah ASEAN Harus Benar demi Rakyat Myanmar
Retno juga mengatakan, dirinya berdialog dengan sejumlah negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Myanmar. Dalam dialog itu dia menekankan agar negara-negara tersebut mendukung implementasi lima poin konsensus yang telah disepakati para pemimpin ASEAN di Jakarta, 24 April 2021.
Namun, angka-angka dalam apa yang disebut dengan diplomasi senyap (quiet diplomacy), menurut sejumlah pengamat, tidak berarti apa-apa jika di lapangan tidak terjadi perubahan signifikan. Kekerasan bersenjata masih terjadi oleh para pihak berkonflik adalah salah satu indikatornya. Bahkan, langkah Menlu Don dan pemerintah Thailand yang menggelar pertemuan dengan Than Swe di Bangkok dinilai telah meremehkan upaya yang tengah dilakukan Indonesia.
Baca juga: Teguran Keras ASEAN untuk Thailand
Dinna Prapto Raharja, pemerhati hubungan internasional dari Synergy Policies, menilai, belum ada hasil konkret yang bisa dipandang sebagai titik awal adanya perubahan di Myanmar. Hal itu tecermin dari sikap keras junta dan kelompok oposisi.
Sikap Thailand dinilai juga bisa menjadi indikator belum adanya hasil yang memuaskan dari kerja-kerja ASEAN dalam menyelesaikan situasi di Myanmar. Bangkok, menurut Dinna, lebih jauh sudah bergerak sendiri untuk bertemu dengan negara-negara tetangga, seperti India, Bangladesh, untuk membicarakan dan mencari solusi permasalahan di Myanmar.
”Sudah pernah belum, ada komunikasi dengan negara anggota ASEAN setelah 110 pertemuan itu? Dan, kemauan ASEAN seperti apa sudah jelas atau belum?” katanya.
Angka-angka dalam apa yang disebut dengan diplomasi senyap ( quiet diplomacy), menurut sejumlah pengamat, tidak berarti apa-apa jika di lapangan tidak terjadi perubahan signifikan.
I Gede Ngurah Wijaya, pejabat yang sehari-hari bertugas di kantor Utusan Khusus Ketua ASEAN untuk Myanmar dan Staf Khusus Menlu RI Bidang Diplomasi Kawasan, mengatakan, beberapa hal bisa dianggap sebuah kemajuan dalam proses kerja mereka mendorong terjadinya proses dialog nasional di Myanmar nantinya. Ia menjelaskan, pihaknya telah membawa kelompok-kelompok etnis bersenjata yang menandatangani perjanjian damai dengan junta dan kelompok yang kontra berdialog dalam satu forum. Bahkan, mereka membuat pernyataan bersama.
”Ini berarti mulai muncul kepercayaan di antara sesama mereka,” ujar Ngurah.
Baca juga: Isu Myanmar Belah ASEAN
Indikator kemajuan lainnya, kata Ngurah, adalah AHA Center sudah mendapatkan jaminan keamanan untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan hingga ke wilayah pelosok. Sebelumnya tim pengiriman bantuan hanya bisa mendistribusikan bantuan bagi sekitar 1.500 warga Myanmar. Sementara, menurut data, jumlah warga yang membutuhkan bantuan lebih kurang ada 1,1 juta jiwa.
Menurut Ngurah, ini adalah indikator yang signifikan karena sebelumnya kerja pengiriman bantuan kemanusiaan terkendala izin dari junta.
Ngurah menambahkan, proses yang dilakukannya bersama timnya adalah untuk membangun rasa saling percaya. Dengan banyaknya aktor, ia mengakui hal itu tidak mudah. Meski demikian, ia tidak mau pesimistis. ”Ini kerja maraton,” ujarnya.
Ngurah juga menyebut bahwa sejauh ini pihaknya belum akan secara khusus terbang langsung ke Naypyidaw untuk berbicara langsung dengan perwakilan junta. Dalam pandangan Ketua ASEAN, pertemuan di Myanmar bisa dan hanya bisa dilakukan jika ada proposal konkret yang ditawarkan. ”Kunjungan tidak sekadar hanya visit, tetapi harus ada hasil konkret di lapangan. Tidak datang hanya untuk foto-foto,” katanya.
Belum ada rencana dari Jakarta untuk secara khusus terbang langsung ke Naypyidaw untuk berbicara langsung dengan perwakilan junta.
Saat ditanya keputusan junta untuk memundurkan pelaksanaan pemilu, yang semula ditargetkan berlangsung Agustus 2023 dan memperpanjang status darurat militer, menurut Ngurah, hal itu tidak bisa dibaca sebagai niat baik junta untuk berdialog dengan ASEAN. Sejak awal, katanya, junta tidak pernah membicarakan persoalan penyelenggaraan pemilu.
”Mereka melakukan persiapan, verifikasi parpol. Namun, mereka tidak pernah menyatakan soal pemilu. Sikap ASEAN sudah sangat jelas, sebelum pemilu berlangsung, harus ada dialog inklusif. Bukan (penyelenggaraan) pemilu dulu baru kemudian dialog,” kata Ngurah.
Jalan panjang
Kekhawatiran ke depan adalah terkait dengan beralihnya tongkat keketuaan ASEAN, dari Indonesia ke Laos. Sejumlah pihak mengkhawatirkan adanya kemunduran dari kerja yang sudah dilakukan oleh Indonesia di masa keketuaannya.
Seorang diplomat senior mengakui, banyak negara berharap permasalahan Myanmar bisa diselesaikan di masa keketuaan Indonesia. Namun, melihat kompleksnya situasi, menurut dia, hal itu tidak mungkin.
”Mungkin baru selesai dua atau tiga tahun lagi. Ini akan panjang,” kata diplomat yang enggan disebut namanya itu. Dia menambahkan, banyak negara ASEAN tidak mau menanggung permasalahan Myanmar yang sangat kompleks.
Baca juga: Keketuaan RI Ditakar dari Isu Myanmar
Dinna mendorong Indonesia, di sisa waktu keketuaan ASEAN, membuat peta jalan dan output yang jelas atas setiap langkah yang dilakukan oleh Ketua ASEAN berikutnya dalam penyelesaian masalah Myanmar. ”Indonesia harus meninggalkan sesuatu yang clear, kerangka waktu dan hasil yang ingin dicapai dari setiap langkah untuk utusan selanjutnya. Tanpa ada kerangka waktu yang jelas dan keluaran yang ingin dicapai, persoalan akan meluas,” kata Dinna.
Selain itu, ASEAN juga harus bersikap tegas tentang keberadaan dan sokongan untuk kerja-kerja utusan khusus. Bahkan, lebih jauh, menurut Dinna, utusan khusus itu bisa bekerja di bawah koordinasi para menlu ASEAN. ”Dengan demikian, sikap dan langkah yang diambil sejalan dengan ASEAN, bukan pada negara yang sedang memegang jabatan ketua,” kata Dinna.
Seorang diplomat senior juga menyebut model mediasi yang dijalankan Norwegia yang akhirnya melahirkan Perjanjian Oslo sebagai model yang tengah dikaji untuk penyelesaian konflik di Myanmar. Model itu akan menjadi platform, termasuk membuka peluang keterlibatan negara-negara adidaya untuk berkontribusi dalam penyelesaian konflik.
Baca juga: Solusi Politik, Satu-satunya Jalan Damai Myanmar
Priyambudi Sulistiyanto, pengamat politik internasional di Sekolah Sejarah dan Hubungan Internasional Universitas Flinders, Australia, Sabtu (15/7/2023), mengatakan, Indonesia bisa mengambil inisiatif, menawarkan beberapa model penyelesaian konflik di Myanmar, seperti yang pernah dialami di Indonesia dan sejumlah negara ASEAN lainnya. Model yang dimaksud adalah model pembagian kekuasaan seperti yang kini sedang dijalankan oleh Thailand atau dengan model pembagian kekuasaan model Orde Baru.
”Namun, sebenarnya, untuk yang versi Orba, sudah dijalankan oleh Myanmar. Kalaupun dijalankan lagi, militer pasti kalah karena rakyat Myanmar tidak begitu suka militer,” kata Priyambudi.
Cara lain yang bisa dipikirkan Indonesia adalah meniru proses perdamaian di Kamboja yang diinisiasi Jakarta. ”ASEAN dan dibantu big-power bikin (upaya penyelesaian) seperti model Kamboja,” ujar Priyambudi. Hanya saja Indonesia dan ASEAN, menurut dia, mungkin akan berpikir ulang soal sentralitas organisasi regional ini jika memilih langkah ini.
Mengenai hal tersebut, Ngurah tidak mau terlalu jauh melangkah. Dia mengatakan, yang perlu terus diupayakan adalah konsistensi kebijakan agar strategi yang sudah diambil berkelanjutan. Ia menyebutkan, soal keberlanjutan strategi menjadi kewenangan para pemimpin ASEAN yang akan bertemu pada KTT, September mendatang.
”Kita sudah bikin benchmark. Semoga bisa berlanjut,” kata Ngurah. (LUK/DNE/RAZ)