”Shuttle Diplomacy” Retno Berlanjut, RI Desak Akses Kemanusiaan di Myanmar
Indonesia akan terus berkomunikasi dengan semua pihak dalam upaya mencari penyelesaian krisis di Myanmar, termasuk dengan Parlemen Myanmar atau Committee of Representing Pyidaungsu Hluttaw (CRPH) dan militer Myanmar.
Oleh
BENNY D KOESTANTO, MAHDI MUHAMMAD
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam rangkaian diplomasi yang dilakukan Indonesia, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mendesak agar militer Myanmar membuka akses dan kunjungan kemanusiaan, terutama kepada para pihak yang ditahan. Permintaan itu disampaikan Retno saat bertemu pejabat Myanmar, U Wunna Maung Lwin, dan Menteri Luar Negeri Thailand Don Pramudwinai di Bangkok, Thailand. Pertemuan itu digelar di Bandara Don Muang.
Sejak militer melakukan kudeta pada 1 Februari lalu, lebih dari 400 aktivis dan politisi Myanmar ditahan. Mereka yang ditahan, antara lain, adalah Penasihat Negara yang juga Menteri Luar Negeri Myanmar, Aung San Suu Kyi. Sejak itu, Retno secara maraton menemui dan berkomunikasi dengan berbagai pihak, termasuk dengan pihak-pihak yang bersengketa di Myanmar.
Retno mengakui, pelaksanaan shuttle diplomacy yang dilakukan Pemerintah Indonesia bukan hal yang mudah dilakukan pada masa pandemi Covid-19 saat ini. Namun, langkah-langkah itu tetap dilakukan Indonesia, termasuk dalam merespons dinamika politik di Myanmar, semata karena sejumlah prinsip yang perlu ditegakkan dan keingingan kuat RI terus berkontribusi bagi perdamaian, stabilitas, dan kesejahteraan di kawasan Asia Tenggara.
Istilah shuttle diplomacy merujuk upaya yang dilakukan pihak ketiga untuk menjadi mediator dalam mendamaikan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik yang tidak bersedia berunding secara langsung. Selain bertemu dan berkomunikasi dengan negara-negara ASEAN dan para mitranya, Retno juga menjalin komunikasi dengan Komite Perwakilan Pyidaungsu Hluttaw (CRPH), yang digagas oleh anggota parlemen dari Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi
Sepulang dari Bangkok, Rabu (24/2/2021) kemarin, dalam jumpa pers di Jakarta, Retno mengatakan, dalam pertemuan dengan U Wunna, ia menegaskan posisi Indonesia. Selain memberikan perhatian penuh terhadap perkembangan situasi di Myanmar, posisi Indonesia adalah keselamatan dan kesejahteraan rakyat Myanmar menjadi prioritas utama.
”Indonesia meminta semua pihak menahan diri dan tidak menggunakan kekerasan untuk menghindari terjadinya korban dan pertumpahan darah,” kata Retno kepada wartawan di Bangkok seusai pertemuan.
Selain itu, sebagaimana telah disebutkannya dalam beberapa kesempatan, Retno menegaskan, Indonesia terus menekankan pentingnya proses transisi demokrasi yang inklusif, di mana semua pihak terlibat. ”Oleh karena itu, diperlukan kondisi yang kondusif berupa dialog, rekonsiliasi, dan trust building, Indonesia bersama rakyat Myanmar,” kata Retno.
Retno pun menegaskan, keselamatan dan kesejahteraan rakyat Myanmar adalah hal utama yang harus dilindungi.
Kunjungan Retno ke Bangkok merupakan rangkaian dari upaya Indonesia menggalang komunikasi dengan semua mitra di ASEAN terkait Myanmar. Upaya itu juga bagian dari komunikasi yang dilakukan Indonesia dengan banyak mitra di luar ASEAN.
Retno mengatakan, ia telah menjalin komunikasi dengan sejumlah menlu negara-negara sahabat, termasuk Australia, China, Amerika Serikat, dan Inggris, serta Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres. ”Indonesia memilih tidak berdiam diri. To do nothing is not an option,” kata Retno.
Terus berkomunikasi
Untuk itu, Indonesia akan terus berkomunikasi dengan semua pihak, termasuk dengan pihak Parlemen Myanmar atau Committee of Representing Pyidaungsu Hluttaw (CRPH) dan militer Myanmar.
Dalam pertemuan trilateral itu Retno menegaskan, penting bagi anggota ASEAN menghormati prinsip-prinsip yang termuat dalam Piagam ASEAN. Pesan-pesan itu, menurut dia, harus terus disampaikan secara lantang dan jelas.
Retno sempat berencana berkunjung ke Naypyidaw, Myanmar, untuk secara langsung menyampaikan pesan dan posisi Indonesia serta dunia internasional terkait harapan penyelesaian masalah yang dihadapi Myanmar. Namun, rencana kunjungan itu diurungkan.
Sejak kudeta militer di Myanmar meletus pada 1 Februari lalu, Indonesia berada di garda terdepan dalam diplomasi mengupayakan penyelesaian krisis di negara itu. Namun, langkah Jakarta mengundang kecurigaan para pengunjuk rasa anti-kudeta militer.
Mereka juga khawatir, komunikasi Indonesia dengan junta akan menguatkan legitimasi militer dan memberi jalan bagi digelarnya pemilu ulang. Para pengunjuk rasa menginginkan pengakuan atas hasil pemilu, November 2020, yang dimenangi partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi.
Rabu kemarin merupakan hari kedua para pengunjuk rasa berkumpul di luar kantor Kedutaan Besar Indonesia untuk Myanmar di Yangon. Mereka, antara lain, mengangkat poster-poster bertuliskan ”Hormati suara kami” dan ”Kami telah memilih NLD”.
Posisi Indonesia
Retno mengungkapkan, dalam pertemuan trilateral dengan Menlu Thailand Don Pramudwinai dan Pejabat Menlu Myanmar Wunna Maung Lwin itu, dirinya menyampaikan sejumlah hal terkait dinamika di Myanmar. Pertama, Indonesia prihatin terhadap perkembangan situasi di Myanmar. Kedua, Indonesia menyatakan bahwa keamanan dan kesejahteraan warga Myanmar menjadi prioritas nomor satu.
Dalam pertemuan itu, Retno juga menyampaikan pentingnya pemberian akses dan kunjungan kemanusiaan terhadap sejumlah tokoh politik senior yang ditahan di Myanmar. Mereka yang ditahan itu termasuk Penasihat Negara Myanmar, Aung San Suu Kyi.
Retno mengakui, dirinya memang sempat berencana berkunjung ke Naypyidaw, Myanmar. Tujuannya adalah secara langsung dapat menyampaikan pesan dan posisi Indonesia, menyampaikan pesan dunia internasional dan menyampaian harapan penyelesaian masalah yang dihadapi Myanmar.
Namun, tanpa menyebutkan alasannya, Retno menyatakan rencana kunjungan itu terpaksa ditunda. ”Penundaan ini tidak menyurutkan niat menjalin komunikasi dengan semua pihak di Myanmar, sekali lagi dengan semua pihak di Myanmar,” kata Retno.
Komunikasi dengan pihak NLD
Semua pihak itu, lanjut Retno, adalah termasuk dengan pihak militer Myanmar yang notabene menjadi penguasa di negara itu pasca-kudeta militer dan juga dengan pihak Komite Perwakilan Pyidaungsu Hluttaw (CRPH). Komite CRPH adalah komite yang digagas oleh anggota parlemen dari Partai NLD pimpinan Suu Kyi sebagai partai pemenang pada pemilu Myanmar, November lalu, sekaligus mayoritas di parlemen.
Menurut Retno, komunikasi dengan CRPH dilakukan dengan cukup intensif. Prinsip-prinsip terkait misi Indonesia terhadap Myanmar juga disampaikan dalam komunikasi RI dengan pihak CRPH.
Retno menegaskan, dalam kondisi sesulit apa pun komunikasi dengan semua pihak harus tetap dilakukan, semata agar pesan-pesan dan harapan-harapan dapat disampaikan. Selain itu, hal tersebut juga agar Indonesia dapat menawarkan kontribusi-kontribusi sehingga situasi di Myanmar tidak memburuk dan sekaligus mengupayakan penyelesaian.
Retno mengaku telah menjalin komunikasi dengan sejumlah pihak, antara lain, Ketua ASEAN yang kini dijabat Brunei Darussalam, menlu-menlu seluruh negara anggota ASEAN, dan dengan utusan khusus Sekretaris Jenderal PBB. Retno mengungkapkan, pada Rabu kemarin, ia dijadwalkan berkomunikasi dengan Menlu Inggris Dominic Raab dan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
Unjuk rasa berlanjut
Sementara itu, dari Myanmar dilaporkan, demonstrasi besar disertai pemogokan nasional terus terjadi di negara itu. Tuntutan rakyat Myanmar tidak berubah, yaitu pembebasan Suu Kyi dan pengembalian pemerintahan ke tangan sipil. Warga tidak memedulikan ancaman junta yang tidak segan-segan menggunakan kekerasan, termasuk penggunaan senjata untuk menghalau serta membubarkan aksi.
San Aung Li (26), peserta aksi yang merupakan warga minoritas Kachin, mengatakan, dirinya bersama-sama warga Myanmar dari etnis lainnya turun ke jalan untuk menuntut hak mereka. ”Kami, etnis minoritas, tidak memiliki kesepatan untuk menuntut hak kami. Tetapi, kini, kami melakukannya. Saya, seperti halnya saudara-saudara lain dari etnis yang berbeda, menuntut hal yang sama. Kami satu suara,” katanya.
Peringatan dari dunia internasioal terus berdatangan. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi kesehatan seksual dan reproduksi, UNFPA, memperingatkan kemungkinan adanya ketidakstabilan yang akan mengganggu layanan penting bagi kesehatan ibu dan anak, terutama kaum perempuan. Termasuk di dalamnya adalah layanan yang terkait dengan kehamilan serta persalinan yang aman.
”Sebagai entitas PBB, UNFPA mengungkapkan keprihatinan yang mendalam atas penggunaan kekuatan, yang mungkin berkontribusi pada eskalasi kekerasan terhadap perempuan, anak perempuan dan remaja,” kata UNFPA dalam pernyataan yang dikutip dari situs resminya.
”UNFPA menggemakan seruan Sekretaris Jenderal PBB dan badan-badan mitra PBB pada militer serta pasukan keamanan untuk menghormati hak asasi manusia yang mendasar dari rakyat Myanmar, untuk menahan diri dari menggunakan kekerasan dan untuk memastikan perlindungan dan keselamatan semua orang, baik itu di ruang publik maupun pribadi.” (REUTERS)