Kelompok Negara Kaya ”Menyerang” Junta Militer Myanmar
Kelompok negara-negara kaya, G-7, menyebutkan, siap apun yang menghadapi unjuk rasa damai di Myanmar dengan kekerasan, harus dimintai pertanggungjawaban.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
YANGON, RABU —Para pemimpin rezim militer Myanmar kembali ”diserang” tekanan dari negara-negara kaya di dunia. Negara-negara Kelompok 7 (G-7) beramai-ramai mengecam junta militer atas tindak kekerasan terhadap para pengunjuk rasa prodemokrasi dan anti-kudeta militer.
Tekanan demi dekanan dari komunitas internasional membuat rezim militer Myanmar semakin terpojok. Sebelum G-7, Amerika Serikat dan Uni Eropa sudah kembali menjatuhkan sanksi kepada junta militer Myanmar, yang memang memiliki catatan buruk kekerasan selama lima dekade kekuasaan mereka.
Militer Myanmar yang otoritarian dinilai haus akan kekuasaan karena merampas kekuasaan sipil demokrasi pada 1 Februari 2021. Oleh karena itu, kelompok negara-negara mengecamnya dan segera menjatuhkan sanksi kepada petinggi jutan militer di negara pariah itu.
Beberapa hari terakhir, aparat keamanan Myanmar semakin meradang dengan menggunakan kekerasan menghadapi pengunjuk rasa, seperti memakai gas air mata, meriam air, dan peluru karet. Tiga pengunjuk rasa dan satu laki-laki yang sedang ronda keliling kampung tewas ditembak aparat.
”Penggunaan amunisi betulan melawan orang yang tidak bersenjata tidak bisa diterima,” sebut pernyataan tertulis para menteri luar negeri di kelompok negara demokrasi yang kaya (G-7), yakni Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, AS, dan Uni Eropa, Selasa (23/2/2021).
Siapa pun yang menghadapi unjuk rasa damai dengan kekerasan, sebut pernyataan G-7 itu, harus dimintai pertanggungjawaban. Aparat keamanan Myanmar harus menahan diri dan menghormati hak asasi manusia dan hukum internasional.
Kecaman tegas dari G-7 itu menyusul dimasukkannya dua anggota junta militer ke dalam daftar hitam sanksi AS. Kedua anggota itu adalah Kepala Angkatan Udara Maung Maung Kyaw dan Moe Myint Tun.
Awal bulan ini, AS juga mengumumkan sanksi terhadap sejumlah jenderal, temasuk pemimpin junta Jenderal Senior Min Aung Klaing.
Beberapa jam sebelum kecaman dari G-7, UE juga menyetujui sanksi terhadap militer Myanmar dan kepentingan ekonomi mereka. Kepala Kebijakan Luar Negeri UE Josep Borrell menegaskan dukungan finansial untuk program reformasi Pemerintah Myanmar akan ditahan.
”Sanksi juga akan selalu mengena kepada rakyat dan ini tidak bisa dihindari. Tetapi, sanksi bagi orang-orang tertentu harus diberikan karena kita harus melawan kudeta,” kata Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener.
Meski diancam dengan tindakan kekerasan dari aparat, para pengunjuk rasa tetap turun ke jalan. ”Militer selalu menang karena memakai senjata dan kami membenci itu. Kami akan tetap protes dan mengekspresikan perasaan kami dengan cara damai,” kata salah seorang pengunjuk rasa, Chan Mya.
Di daerah Kachin, Myitkyina, para pengunjuk rasa mengendarai motor keliling kota sambil mengibarkan bendera Myanmar dan mengacungkan salam tiga jari sebagai simbol perlawanan. Lebih dari 680 orang ditahan sejak kudeta militer, 1 Februari lalu, dan semuanya masih ada di dalam penjara.
Jaringan internet juga masih dimatikan setiap malam sehingga memunculkan kekhawatiran aparat keamanan akan bisa menciduk para pengunjuk rasa tanpa ketahuan.
Gelombang unjuk rasa di jalanan itu diikuti dengan pembangkangan sipil para pegawai pemerintah, pegawai bank, dan tenaga medis yang mogok kerja. Akibat mogok kerja itu, kinerja pemerintahan tersendat. Begitu pula dengan bisnis dan bank.
”Pengunjuk rasa sekarang mendorong orang terutama anak muda yang emosional untuk mengikuti jalan konfrontatif. Mereka akan bisa kehilangan nyawa,” sebut pernyataan dari junta militer.
Sampai saat ini penasihat negara Aung San Suu Kyi belum muncul di publik dan ditahan di rumahnya. Suu Kyi dikenai dua tuduhan, salah satunya kepemilikan ilegal alat komunikasi. Sidang pertama Suu Kyi kemungkinan dimulai 1 Maret mendatang. (REUTERS/AFP/AP/LUK)