PBB Khawatirkan Terulangnya Kekejaman Massal oleh Militer di Myanmar
Terbuka kemungkinan berulangnya ”kejahatan kekejaman massal” oleh militer Myanmar karena rekam jejaknya selama lima dekade kekuasaan mereka yang buruk.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
NEW YORK, SABTU — Perserikatan Bangsa-Bangssa mengkhawatirkan bencana kemanusiaan yang kian parah di Myanmar karena junta militer telah mengerahkan ribuan tentara ke bagian utara negara itu. Terbuka kemungkinan berulangnya ”kejahatan kekejaman massal”, mengingat rekam jejak militer Myanmar selama lima dekade kekuasaan mereka.
”Kita semua harus siap karena orang-orang di bagian (utara) Myanmar ini siap untuk (menyaksikan) ’kejahatan kekejaman massal’ yang lebih banyak lagi. Saya sangat berharap saya salah (menilai situasi ini),” kata Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar Tom Andrews, Jumat (22/10/2021).
Sehari sebelumnya, Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener memperingatkan, kudeta militer pada 1 Februari lalu telah menyebabkan konflik bersenjata di Myanmar. Jika kekuasaan sipil tidak dikembalikan kepada rakyat secara demokratis, Myanmar ”akan menuju negara gagal” karena perlawanan sipil bersenjata bisa terus berkecamuk.
Sejak junta militer melancarkan kudeta tidak berdarah pada 1 Februari 2021, yang diikuti kekerasan mematikan oleh aparat junta terhadap massa prodemokrasi di seluruh Myanmar, lebih dari 1.180 orang tewas. Bahkan, konflik antara junta militer melawan warga sipil dan etnis minoritas telah meningkat menjadi konflik atau perlawanan bersenjata di banyak wilayah negara itu.
”Tentara menggunakan berbagai taktik terhadap penduduk sipil, termasuk pembakaran desa, penjarahan properti, penangkapan massal, penyiksaan dan eksekusi tahanan, kekerasan berbasis jender, serta tembakan artileri yang dilakukan secara serampangan ke permukiman,” kata Burgener.
Andrews, yang mempresentasikan temuan laporan hak asasi manusia tahunan Myanmar kepada Majelis Umum PBB, menambahkan, dia menerima informasi bahwa puluhan ribu tentara telah dikerahkan ke bagian utara dan barat laut Myanmar. Mereka dilengkapi senjata berat. Fakta itu menunjukkan, sangat terbuka kemungkinan junta bisa terlibat kejahatan perang dan kemanusiaan.
Burgener sebelumnya merinci, junta militer sedang melakukan operasi pembersihan di Negara Bagian Chin dan beberapa negara bagian lainnya. Selain itu, masih terjadi pertempuran sengit di Negara Bagian Kachin dan Shan. ”Jadi, di seluruh negeri itu terjadi skala kekerasan yang sangat besar,” katanya.
Andrews mengatakan, besarnya kemungkinan militer melakukan kejahatan perang dan kemanusiaan karena rekam jejak mereka sangat buruk. ”Taktik ini mengingatkan kita pada taktik yang digunakan oleh militer sebelum serangan genosida terhadap (etnis minoritas Muslim) Rohingya di Negara Bagian Rakhine pada 2016 dan 2017,” ujarnya.
Situasinya, menurut Burgerner, mengingatkan pada pola operasi militer (Tatmadaw) atas Muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine utara pada 1997-1998. Rohingya pertama kali menjadi sasaran pasukan keamanan Myanmar pada 1997.
Kekerasan bersenjata militer Myanmar selama dua tahun itu telah menyebabkan puluhan permukiman etnis minoritas Muslim Rohingya dibumihanguskan atau dibakar. Sekitar 740.000 warga Rohingya melarikan diri dari Rakhine pada 2017, menghindari tindakan keras pasukan keamanan yang menurut PBB mungkin sama dengan genosida.
Andrews mendesak negara-negara untuk tidak memberikan dukungan keuangan dan senjata kepada militer Myanmar. Dunia juga diserukan tidak melegitimasi kekuasaan militer yang diperoleh dengan merampas kekuasaan sipil demokratis yang sedang berkembang. Pembebasan puluhan ribu tahanan oleh junta baru-baru ini adalah bukti bahwa tekanan internasional itu berdampak.
Awal pekan ini, pemimpin junta Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, mengumumkan pembebasan lebih dari 5.000 orang yang ditahan karena memprotes kudeta. Langkah itu dilakukan beberapa hari setelah ASEAN mengucilkannya dari KTT ASEAN, 26-28 Oktober 2021.
”Pengumuman ASEAN bahwa pemimpin junta takkan diterima pada KTT puncak itu menusuk di hati,” kata Andrews.
Andrews mengatakan, pasukan yang dikendalikan junta telah menyebabkan seperempat juta orang mengungsi. Banyak dari mereka yang ditahan dan disiksa, termasuk puluhan orang yang meninggal sebagai akibatnya. Dia telah menerima laporan yang dapat dipercaya bahwa anak-anak juga telah disiksa.
Burgener pun telah mendesak ASEAN agar tidak mengundang pemimpin junta Myanmar ke KTT puncak ASEAN pada akhir bulan ini. Dunia internasional diserukan untuk memberikan sanksi terhadap junta dan tidak mengakui pemerintahan mereka.
”Jelas, dengan tidak adanya tindakan internasional, kekerasan dibenarkan sebagai upaya terakhir,” kata Burgener.
Pemerintahan junta militer Myanmar menentang keras sikap ASEAN yang tidak mengizinkan Hlaing menghadiri KTT puncak ASEAN, pekan depan. Kementerian Luar Negeri Myanmar mengatakan, langkah yang diumumkan oleh Brunei Darussalam selaku Ketua ASEAN 2021 melanggar Piagam ASEAN.
ASEAN beranggotakan 10 negara di Asia Tenggara, termasuk Myanmar, mengambil sikap tegas terhadap pemimpin junta karena menolak Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar Erywan Yusof untuk bertemu pemimpin sipil terguling, Aung San Suu Kyi. Suu Kyi ditahan sejak junta melancarkan kudeta.
ASEAN sejak April 2021 telah berusaha untuk memainkan peran sebagai mediator dalam mengatasi krisis Myanmar. Mediasi dilakukan karena militer yang berkuasa terus melakukan kekerasan saat menumpas oposisi sehingga memicu perlawanan sipil yang semakin kuat dan tidak stabil. ASEAN mengucilkan Hlaing dari KTT ASEAN yang juga akan dihadiri pemimpin AS, China, dan Rusia itu. (AFP/REUTERS/AP)