Menteri luar negeri ASEAN sepakat tidak mengundang pemimpin junta militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing pada KTT ASEAN, 26-28 Oktober. Ini merupakan sikap tegas pertama ASEAN sejak krisis Myanmar per 1 Februari 2021.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
KUALA LUMPUR, SABTU — Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN sepakat tidak mengundang pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN, 26-28 Oktober. Pertimbangannya, tak ada kemajuan implementasi dalam hal konsensus ASEAN dan penolakan junta militer terhadap utusan khusus ASEAN.
Keputusan itu diambil dalam pertemuan darurat para Menteri Luar Negeri ASEAN yang berlangsung virtual, Jumat (15/10). Sebanyak lima sumber di kalangan diplomat ASEAN yang mengetahui keputusan pertemuan tersebut mengatakan, Jenderal Hlaing tidak akan diundang dalam pertemuan puncak.
Seorang tokoh nonpolitik di Myanmar akan diminta hadir sebagai gantinya. Jika junta militer menolak tawaran ini, menurut dua sumber diplomat, para Menteri Luar Negeri ASEAN sepakat bahwa kursi Myanmar di meja Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) akan dibiarkan kosong.
Pertemuan darurat itu secara khusus diadakan untuk menanggapi kegagalan junta militer Myanmar menjalankan isi lima konsensus ASEAN yang dibuat di Jakarta, pekan ketiga April. Lima konsensus ASEAN ini semula diharapkan menjadi jalan untuk mengembalikan situasi dan demokrasi di Myanmar. Namun, kenyataannya, ini sama sekali tidak digubris oleh junta.
Sejak kudeta militer pecah per 1 Februari 2021, krisis politik dan keamanan berlangsung di Myanmar hingga kini. Lebih dari 1.000 warga sipil tewas dan ribuan warga masih ditahan di berbagai rumah tahanan di seluruh Myanmar. Kini, militer mengerahkan ribuan tentara ke utara Myanmar untuk menggempur kelompok perlawanan antijunta dan milisi etnis. Situasi mutakhir ini menimbulkan kekhawatiran akan meluasnya perang saudara di negeri itu.
Dalam sejarahnya, ASEAN tidak pernah tidak mengundang setiap pemimpin negara anggota dalam KTT ASEAN. Oleh karena itu, langkah terhadap junta pada KTT ASEAN 26-28 Oktober menjadi yang pertama.
ASEAN telah lama dikritik karena mekanismenya ompong dan gagal mengendalikan anggotanya karena prinsip non-intervensinya. Sejumlah pemimpin negara di Asia Tenggara terang-terangan menggunakan kekuasaan dan tangan besinya untuk melakukan kekejaman, menumbangkan demokrasi, dan menganiaya lawan politik tanpa ada tindakan apa pun dari organisasi.
Beberapa meteri luar negeri (menlu) telah menyatakan sikap negaranya masing-masing terhadap Myanmar. Menlu Malaysia Saifuddin Abdullah dengan tegas menyatakan bahwa mereka tidak ingin pemimpin junta hadir di KTT ASEAN nanti. Malaysia tidak ingin berkompromi dalam hal itu.
”Jika tidak ada kemajuan nyata, maka sikap Malaysia akan tetap, bahwa kami tidak ingin jenderal itu menghadiri KTT,” kata Saifuddin. Sikap ini didukung Filipina.
Sebaliknya Thailand, ”sahabat” Myanmar, masih berupaya mendorong adanya proses dialog antara ASEAN dan junta. Sementara Indonesia melalui Menlu Retno Marsudi, menurut sumber, menganjurkan sikap yang lebih keras dibandingkan dengan yang disepakati dalam pertemuan tersebut.
”Pada pertemuan darurat tingkat menteri ASEAN yang digelar secara virtual malam ini (Jumat), saya menggarisbawahi bahwa tidak ada kemajuan berarti dalam hal implementasi lima poin konsensus. Indonesia mengusulkan partisipasi Myanmar pada KTT tidak boleh diwakili oleh level politik hingga Myanmar merestorasi demokrasinya melalui proses yang inklusif,” cuit Retno.
Selama krisis Myanmar berlangsung, ASEAN tidak mengambil langkah progresif. Sejumlah pihak menyerukan agar ASEAN mengambil posisi yang lebih keras dan tegas terhadap junta militer Myanmar.
Myanmar bisa dipandang sebagai masalah ASEAN yang paling memecah-belah negara-negara anggota. Sejak bergabung tahun 1997, Myanmar yang tengah di bawah diktator militer berikut dengan aturan represifnya menguji persatuan ASEAN. Namun, hal itu sekaligus merusak kredibilitas ASEAN di tingkat internasional.