Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Myanmar menyebut situasi di Myanmar sebagai konflik bersenjata internal. Sudah saatnya untuk membantu mengembalikan Myanmar ke jalur demokrasi.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
NEW YORK, JUMAT — Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener, Kamis (21/10/2021), memperingatkan, kudeta militer pada 1 Februari lalu telah menyebabkan konflik bersenjata di Myanmar. Jika kekuasaan sipil tidak dikembalikan kepada rakyat secara demokratis, Myanmar ”akan menuju negara gagal” karena perlawanan sipil bersenjata bisa terus berkecamuk.
Burgener mengatakan, konflik militer, yang mengambil alih kekuasaan pada 1 Februari, dengan warga sipil dan etnis minoritas meningkat di banyak bagian negara itu. ”Represi militer telah menyebabkan lebih dari 1.180 orang tewas,” katanya dalam konferensi pers. ”Tentara menggunakan berbagai taktik terhadap penduduk sipil, termasuk pembakaran desa, penjarahan properti, penangkapan massal, penyiksaan dan eksekusi tahanan, kekerasan berbasis gender, serta tembakan artileri yang dilakukan secara serampangan ke pemukiman penduduk.”
Burgener menambahkan, militer sedang melakukan operasi pembersihan di Negara Bagian Chin dan beberapa negara bagian lainnya. Selain itu, masih terjadi pertempuran sengit di Negara Bagian Kachin dan Shan. ”Jadi, di seluruh negeri itu terjadi skala kekerasan yang sangat besar.”
Menurut Burgener, situasinya mengingatkan pada pola operasi militer (Tatmadaw) atas Muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine utara pada tahun 1997-1998. Rohingya pertama kali menjadi sasaran pasukan keamanan Myanmar pada 1997. Lebih dari 700.000 orang melarikan diri ke Bangladesh setelah tindakan keras militer pada tahun 2017.
Gerakan sipil melawan pasukan junta militer sekarang ini, menurut Burgener, telah ”semakin termiliterisasi”. ”Dalam terminologi hukum internasional, kami menggunakan ’konflik bersenjata internal’ dan saya akan menggunakan terminologi ini sekarang,” kata Burgener ketika ditanya soal situasi di Myanmar yang saat ini sudah terjerumus dalam perang saudara.
Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) berusaha untuk memobilisasi lebih banyak Pasukan Pertahanan Rakyat dan menyerukan ”perang pertahanan rakyat”. NUG dibentuk para pendukung pemerintahan sipil demokratis pimpinan Aung San Suu Kyi yang digulingkan junta.
Situasi Myanmar saat ini sulit untuk kembali ke demokrasi sipil. Penting bagi dunia internasional mempertimbangkan sanksi terhadap junta. ”Jelas, dengan tidak adanya tindakan internasional, kekerasan dibenarkan sebagai upaya terakhir,” kata Burgener.
Burgener mengatakan, sangat penting bagi negara-negara dan PBB untuk tidak mengakui junta militer Myanmar. Dia juga menekankan bahwa kehendak rakyat Myanmar berdasarkan pemilu dilindungi. Burgener menyebut junta militer tidak mau berkompromi atau berdialog.
”Saatnya untuk membantu mengembalikan Myanmar ke jalur demokrasi. Reformasi demokrasi menyempit, dan oleh karena itu saya mendesak negara-negara untuk bertindak,” tambahnya.
Sementara itu, junta militer Myanmar, Jumat (22/10/2021), menangkap kembali 110 tahanan yang dibebaskan setelah mendapat pengampunan dari militer pada Minggu lalu. Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) mengatakan, tindakan junta tidak benar-benar tidak masuk akal karena orang-orang yang dibebaskan itu ditangkap kembali.
”Beberapa ditangkap kembali segera setelah mereka tiba di rumah,” kata AAPP dalam sebuah pernyataan mereka. ”Beberapa orang lain diberitahu bahwa mereka ada dalam daftar yang dibebaskan, lalu dibawa kembali pintu masuk penjara dengan dakwaan baru.”
Pada Minggu, junta militer mengumumkan pembebasan sekitar 23.000 tahanan selama tiga hari libur festival Thadingyut atau festival cahaya.
Saat festival itu para pengikut Buddha di Myanmar menerangi rumah dan kuil mereka dengan lilin dan lampu aneka warna. Festival Thadingyut dirayakan untuk mengenang kembalinya Sang Buddha dari Surga ke Bumi.
Myanmar telah berada dalam kekacauan sejak kudeta militer 1 Februari. Meski telah lebih dari 1.180 orang tewas akibat kekerasan junta dan lebih dari 8.000 orang ditangkap, junta militer tidak mau menghentikan kekerasan terhadap masyarakat sipil. Akibatnya, bangkitlah perlawanan sipil bersenjata di seluruh negeri. Situasi ini bisa mendorong konflik panjang di negara itu.
Negara anggota ASEAN itu selama lima dekade telah berada di bawah cengkeraman pemerintahan militer yang ketat, yang menyebabkan isolasi dan sanksi internasional.
Ketika para jenderal mengendurkan cengkeraman mereka, yang berpuncak pada kebangkitan Suu Kyi menjadi pemimpin sipil dalam pemilu 2015, komunitas internasional merespons dengan mencabut sebagian besar sanksi dan mengalirkan kembali investasi ke negara itu.
Kudeta militer pada 1 Februari 2021 terjadi setelah pemilu demokratis pada November 2020. Pemilu dimenangi oleh Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Suu Kyi. Namun, militer yang terancam posisinya menuding pemilu itu diwarnai kecurangan.
Burgener memperingatkan bahwa ”situasi keseluruhan di Myanmar terus memburuk dengan tajam”. Burgener mengatakan, konflik harus diselesaikan dan kekuasaan harus dikembalikan kepada rakyat dengan cara yang demokratis. Namun, junta militer tidak menanggapi proposalnya untuk dialog nasional yang inklusif dan tampaknya berniat melanjutkan operasinya.
Di masa lalu, Tatmadaw akan menggunakan kekerasan terhadap kelompok etnis bersenjata, termasuk kepada Muslim Rohingya, tetapi tidak terhadap mayoritas etnis Buddha Bamar.
Akibat situasi yang mengerikan di lapangan, kata Burgener, jumlah pengungsi meningkat dari 370.000 orang menjadi 589.000 orang sejak kudeta. Jumlah orang yang membutuhkan bantuan kemanusiaan melonjak dari 1 juta menjadi 3 juta orang. Sistem kesehatan dan perbankan tidak berfungsi dengan baik.
Burgener mendesak ASEAN tidak mengundang pemimpin junta, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, ke KTT puncak ASEAN pada akhir bulan ini. (AFP/REUTERS/AP)