Terungkap bahwa 44 persen responden yang berumur 18-49 tahun tidak mau memiliki anak. Penurunan populasi ini mendatangkan risiko bagi perekonomian AS.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
AP PHOTO/MATT ROURKE
Sebuah keluarga berfoto di bawah pohon sakura yang mekar di Fairmont Park Holticulture Center di Philadelphia, Amerika Serikat, 8 April 2022. Penduduk AS dilaporkan semakin menua. Jumlah kelahiran anak antara tahun 2010 dan 2020 merosot.
Amerika Serikat, perekonomian nomor dua terbesar di dunia, juga mengalami penuaan penduduk dan penurunan angka kelahiran. Akan tetapi, alasan dari fenomena ini berbeda dari di negara-negara Asia Timur. Di AS, ini paradoks dari program keluarga berencana meskipun ada benang merah yang bisa ditarik, yaitu sama-sama mahal dan minimnya sarana penunjang pengasuhan anak.
Berdasarkan data Badan Statistik Nasional AS, angka kelahiran di negara itu turun 20 persen sejak tahun 2007. Tercatat, jumlah rata-rata anak di sebuah keluarga adalah 2,1 orang. Artinya, mayoritas orangtua di AS kini hanya memiliki dua anak. Awalnya, banyak pakar kependudukan mengira selama pandemi angka kelahiran akan meningkat karena masyarakat dipaksa tinggal di kediaman masing-masing. Ternyata, perkiraan ini meleset.
”Pandemi justru membawa lebih banyak masalah ekonomi. Ada dua fenomena, pertama ialah pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan-perusahaan. Kedua, anak muda usia produktif yang beramai-ramai keluar dari pekerjaan dalam Great Resignation,” kata Kenneth Johnson, ahli kependudukan di Universitas New Hampshire, kepada media Business Insider.
Harga komoditas meningkat, apalagi sejumlah persoalan yang menjadi momok di masyarakat yang, antara lain, cicilan utang biaya kuliah dan hipotek rumah tidak terselesaikan. Pasangan usia subur semakin enggan memiliki anak ataupun menambah anak karena biaya penitipan anak melonjak hingga 47 persen.
Survei yang lebih mendalam mengenai penurunan angka kelahiran ini pernah dilakukan oleh lembaga kajian Pew dan diterbitkan pada November 2021. Terungkap bahwa 44 persen responden yang berumur 18-49 tahun tidak mau memiliki anak. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan survei serupa pada 2018. Ketika itu, 37 persen responden di kelompok usia tersebut menolak mempunyai anak.
Baik pasangan menikah, pasangan dalam hubungan berkomitmen, maupun responden berusia subur yang menolak memiliki anak tanpa ada alasan tertentu mengatakan, keputusan ini memungkinkan mereka mengaktualisasi diri lebih mendalam sehingga lebih produktif dan memberi sumbangsih lebih banyak kepada lingkungan.
Dalam survei Pew 2021 itu, sebanyak 74 persen orangtua yang berumur di bawah 50 tahun menyatakan tidak mau menambah jumlah anak mereka. Hal menarik, hanya 44 persen dari responden berumur 18-49 tahun yang tidak mau punya anak karena alasan ekonomi ataupun pekerjaan. Sebanyak 56 persen justru menyatakan menolak punya anak karena tidak mau. Jawaban ini turut diutarakan oleh pasangan yang menikah.
”Baik pasangan menikah, pasangan dalam hubungan berkomitmen, maupun responden berusia subur yang menolak memiliki anak tanpa ada alasan tertentu mengatakan, keputusan ini memungkinkan mereka mengaktualisasi diri lebih mendalam sehingga lebih produktif dan memberi sumbangsih lebih banyak kepada lingkungan,” demikian kutipan laporan Pew. Dikatakan, orang-orang ini aktif di berbagai kegiatan sosial, pemberdayaan masyarakat, dan pembenahan lingkungan.
Direktur Pusat Keuangan, Relasi, dan Kesetaraan (MORE) Universitas Wisconsin-Madison Christine Whelan menjelaskan kepada Today Parents bahwa ini juga menunjukkan perubahan pola pikir yang signifikan di masyarakat AS. ”Bayangkan, 15 tahun lalu jika ada pasangan atau individu yang mengatakan menolak punya anak hanya karena tidak mau pasti akan dicerca,” ujarnya.
Faktor lain yang memengaruhi angka kelahiran ialah berkurangnya kehamilan tidak direncanakan secara signifikan, termasuk kehamilan di kalangan remaja. Setiap tahun, secara konsisten selalu ada penurunan. Statistik Nasional mengatakan, sekarang angka kelahiran remaja adalah 16,7 per 1.000. Ini dampak positif dari media sosial karena untuk pendidikan kesehatan reproduksi, remaja memiliki semakin banyak sumber informasi yang bisa mereka akses.
Para imigran dari Venezuela membuat api unggun untuk menghangatkan diri pada malam Natal 24 Desember 2022. Mereka terkatung-katung di Ciudad Juarez, Meksiko, karena tidak bisa masuk ke Amerika Serikat.
Penurunan populasi ini mendatangkan risiko bagi perekonomian AS. Statistik mencatat, dari 50 negara bagian di AS, sebanyak 23 negara bagian angka kematiannya melebihi angka kelahiran. Negara bagian yang memiliki jumlah anak terbanyak sekalipun, yaitu Utah, juga mengalami penurunan kelahiran. Pada saat yang sama, usia penduduk semakin panjang berkat teknologi kesehatan yang kian maju.
”Masalahnya, jumlah penduduk usia produktif terus menurun karena bertambahnya usia. Lama-lama, jumlah kelompok yang membayar pajak ini berkurang dan sistem kesejahteraan masyarakat kita bisa goyah,” kata Johnson.
Sementara itu, ekonom HSBC, James Pomeroy, kepada Yahoo Finance, mengatakan, agar Pemerintah AS bisa melihat ke negara-negara Skandinavia terkait kebijakan keluarga. Ini tidak sebatas memberi tunjangan, tetapi memastikan sarana dan prasarana pengasuhan anak yang baik sehingga orangtua tidak merasa terisolasi dan terbebani.
Faktor lain yang dibahas ialah mengenai imigrasi. Pada Maret lalu, Presiden AS Joe Biden mengutarakan ingin menambah jumlah imigran legal ke dalam negaranya. Pernyataan ini memang bertentangan dengan kenyataan ada jutaan migran ingin memasuki AS, tetapi ditolak. Imigran legal ini adalah mereka yang telah disaring bibit, bebet, dan bobotnya sehingga bisa menjadi warga negara atau setidaknya memperoleh izin tinggal tetap.
Keberadaan migran ini penting karena Statistik Nasional mengungkap bahwa 77 persen penduduk usia kerja, yakni 18-64 tahun, adalah imigran. Mereka bukan orang-orang yang lahir di AS. Lebih lanjut, penelitian Institut Teknologi Massachussets (MIT) yang diterbitkan di jurnal American Economic Review edisi Mei 2022 menyebutkan, imigran memiliki kemungkinan 80 persen lebih besar memulai wiraswasta dibandingkan dengan penduduk kelahiran AS. Ini berlaku untuk penduduk kelahiran AS dari berbagai kelompok etnis dan agama.
Makalah itu membandingkan usaha berskala sama yang dimiliki oleh migran dan oleh penduduk kelahiran AS. Hasilnya, usaha milik migran cenderung 1 persen lebih banyak mempekerjakan orang dibandingkan dengan usaha serupa yang pemiliknya lahir di AS. (AP)