Sayonara, Sekolah
Sekolah-sekolah tutup, rumah-rumah telantar. Rendahnya angka kelahiran di Jepang menampakkan akibat di berbagai sektor.

Dalam foto yang diambil pada Rabu (5/4/2023) ini tampak anak-anak diajak melewati taman saat berjalan-jalan, berdarmawisata di Tokyo.
Pada tanggal 14 Maret 2023 lalu, Akina Imanaka (15) menjadi siswa terakhir yang lulus dari SMP di desanya. Tidak hanya itu, ia adalah siswa satu-satunya sejak tahun 2020. Setelah itu, SMP di Pulau Oteshima, sebuah pulau kecil di seberang Pulau Shikoku, Jepang itu akan tutup untuk selamanya.
Sejatinya, SMP itu sudah ditutup pada tahun 2013. Akan tetapi, kembali dibuka pada tahun 2020 demi melayani hak pendidikan Imanaka yang merupakan putri salah seorang nelayan setempat. Selama tiga tahun bersekolah, Imanaka dididik oleh lima orang guru yang masing-masing mengampu dua mata pelajaran.
Baca juga: Jepang-China Pusaing Memikirkan Turunnya Angka Kelahiran
Ketika satu guru mengajar, empat guru lainnya duduk di ruang kelas. “Kami bertindak sebagai teman sekelas Akina yang memberi sudut pandang berbeda sehingga diskusi di setiap mata pelajaran berlangsung,” kata Kazumasa Ii, guru Bahasa Jepang dan Sejarah, kepada media CBS News edisi 28 Maret 2023.
Saat sekolah mengadakan festival olahraga, ada 59 orang yang ikut serta. Mereka terdiri dari warga Pulau Oteshi maupun wisatawan yang berminat mengambil bagian agar Imanaka mengalami suasana berkompetisi. Kini, SMP tempat Ii dan rekan-rekannya sudah kembali ditutup karena Imanaka pindah merantau ke Pulau Shikoku untuk melanjutkan pendidikan di bangku SMA.
Di sebelah utara, di Desa Ten-ei yang terletak di pegunungan Prefektur Fukushima, satu SMP juga tutup. Pada awal Maret, mereka meluluskan dua siswa terakhirnya. Keduanya juga akan merantau ke kota besar untuk melanjutkan pendidikan.

Plakat kecil yang terbuat dari kayu yang disebut "ema", biru untuk anak laki-laki dan merah muda untuk anak perempuan - diyakini untuk menolak roh jahat, ditawarkan untuk pengunjung yang mengunjungi Kuil Suitengu. Kuil itu populer sebagai tempat berdoa memohon kehamilan dan proses persalinan yang aman dan lancar.
Sosiolog dari Universitas Putri Sagama Touko Shirakawa menjelaskan, fenomena sekolah tutup ini jamak ditemukan di perdesaan. Baik di pesisir maupun di pegunungan. Jumlah kelahiran di Jepang semakin menurun. Pada tahun 2019, angka kelahirannya 900.000. Per tahun 2022, berdasarkan data Biro Statistik Pusat, jumlahnya hanya 800.000 kelahiran.
Baca juga: Perusahaan-perusahaan Besar Jepang Ramai-ramai Naikkan Gaji Karyawan
Perdesaan menjadi tempat pertama yang dampak penurunan populasi terlihat jelas. Perdesaan sudah mengalami persoalan kekurangan generasi muda yang memilih merantau ke kota besar demi pendidikan ataupun bekerja. Sekarang, banyak desa benar-benar tidak mempunyai warga berumur 18 tahun ke bawah.
Gedung-gedung sekolah dialihfungsikan. Kebetulan, kebanyakan desa di Jepang merupakan dewa wisata. Gedung sekolah diubah antara lain menjadi museum, galeri kesenian, dan pusat kriya. Data Pemerintah Jepang menyebutkan, periode 2002-2020 ada 9.000 sekolah yang tutup, mayoritas di perdesaan. Jumlahnya kira-kira 450 sekolah setiap tahun.
“Ini mengkhawatirkan karena jika di desa tidak ada sekolah, tidak akan ada anak muda atau keluarga dengan anak kecil yang mau tinggal di desa. Lama-lama, desa itu bisa mati,” papar Shirakawa.
Dampak
Dilansir dari Nikkei, Pemerintah Jepang mendata perpindahan penduduk usia 15-29 tahun dari perdesaan ke kota-kota besar Tokyo, Kanagawa, Chiba, dan Saitama. Pada tahun 2021, jumlahnya 17.820 orang. Di tahun 2022, meningkat drastis menjadi 99.519 orang. Artinya, keluarga-keluarga muda maupun pemuda memilih meninggalkan kampung halaman.
Baca juga: Sekadar Bagi-bagi Uang Tak Bikin Masyarakat Ingin Berkeluarga
Sama seperti sekolah tutup, urbanisasi dan rendahnya angka kelahiran ini berpengaruh kepada pasar properti Jepang. Survei Tanah dan Permukiman Nasional 2018 yang dikutip surat kabar Asahi mengungkapkan, ada 8,49 juta rumah terbengkalai di Jepang atau setara dengan 13,6 persen rumah di Negara Matahari Terbit. Sebanyak 3,49 juta rumah di antara telah telantar selama 10 tahun atau lebih. Bahkan, Institut Kajian Nomura memperkirakan, di tahun 2038 jumlah rumah terbengkalai bertambah menjadi 31,5 persen.
Dosen kebijakan pertanahan Universitas Kobe Yosuke Sunahara menjelaskan, rumah-rumah itu ditinggal pemilik yang merantau ke kota. Ada pula kasus ahli waris tidak mau pulang kampung untuk mengurus rumah warisan orangtua karena tidak punya dana. Akhirnya, rumah-rumah itu dibiarkan rusak berat.
“Bagi ahli waris, memiliki properti di kampung tidak menguntungkan karena tidak produktif,” ujar Sunahara.
Walhasil, pemerintah pusing karena rumah-rumah itu membahayakan jika dibiarkan terus membusuk. Di sisi lain, mereka tidak memiliki cukup penduduk untuk menghuninya. Apalagi, orang yang mau pindah ke perdesaan di usia produktif sangat langka.

Warga Jepang berdoa di Kuil Suitengu Shrine, sebuah kuil yang populer untuk memohon kehamilan dan persalinan yang aman. Kuil itu terletak di Ningyocho, Tokyo. Foto diambil pada 28 Maret 2023.
Isu pelik
Persoalan demografi Jepang ini merupakan masalah yang pelik. Perdana Menteri Fumio Kishida di bulan Maret mewanti-wanti bahwa Jepang akan kehilangan identitasnya jika angka kelahiran tidak naik. Ini pun masalah yang kompleks karena budaya kerja di Jepang tidak sehat yang mengakibatkan warga harus memilih mau mengorbankan karier atau keluarga.
Baca juga: Populasi Kian Menua, Bagai Berpacu Melawan Waktu
Jika memilih karier, hampir susah untuk berkeluarga karena tuntutan pekerjaan yang tinggi dan memicu stres. Jika memilih berkeluarga, dipastikan perempuan harus berhenti bekerja demi mengasuh anak. Pada saat yang sama, laki-laki harus semakin sering lembur demi menutupi ongkos keluarga dengan satu sumber nafkah.

Warga tengah berjalan-jalan di bawah deretan bunga Sakura. Foto diambil pada Minggu (2/4/2023) di Kamakura, tak jauh dari Tokyo, Jepang.
Pilihan ini bagi generasi muda Jepang sama-sama sulit. Akan tetapi, justru lebih banyak pemuda yang memilih karier daripada berkeluarga. Alasannya karena, keluarga di bawah tekanan ekonomi dan jam kerja ayah yang panjang dan ibu menanggung semua urusan rumah tangga bukan keluarga yang sehat, komunikatif, dan bahagia.
Apabila Eropa mengatasi kekurangan penduduk dengan imigran, aturan di Jepang sangat rumit. Jepang menginginkan pekerja migran, tetapi tidak menginginkan naturalisasi migran menjadi penduduk tetap. Hal ini terlihat dari persyaratan penduduk tetap ialah warga negara asing yang tinggal selama 10 tahun berturut-turut di Jepang.
Adapun visa kuliah maupun visa bekerja di Jepang maksimal selama lima tahun. Setelah itu, orang tersebut harus pulang ke negara asal untuk melamar visa dan izin tinggal berikutnya. Ini membuat bagi kebanyakan warga asing susah sekali menjadi penduduk tetap Jepang.
Baca juga: Subsidi Jutaan Yen bagi Keluarga di Jepang yang Bersedia Keluar dari Tokyo
Data pemerintah menyebutkan, 90 persen perusahaan dan pemilik usaha di Jepang kewalahan mencari pekerja. Jawabannya adalah mendatangkan pekerja migran. Lembaga riset Pew pada November 2018 mengeluarkan hasil kajian bahwa 2 persen tenaga kerja di Jepang, terutama pekerjaan kerah biru, berasal dari luar negeri. Mereka antara lain dari China, Vietnam, Malaysia, Indonesia, Filipina, Thailand, dan Myanmar.
Jika dihitung berdasarkan berkurangnya angka kelahiran, per tahun 2065, diperkirakan 30 persen tenaga kerja di Jepang adalah orang asing. Ada pandangan yang mengira bahwa bangsa Jepang xenofobia atau antiorang asing. Masalah ini memang ada di lapangan, tetapi riset Pew menunjukkan bahwa 59 persen responden menganggap pekerja asing penting dalam pembangunan ekonomi Jepang. Bahkan, sejumlah pemilik usaha menginginkan pekerja migrannya bisa tinggal permanen di Jepang.
Baca juga: Produktivitas Kerja: Jam Panjang atau Pendek?
“Masalahnya, soal budaya kerja yang membuat stres. Jam kerja panjang, hierarki di kantor yang feodal, kewajiban pegawai harus minum-minum dengan atasan sampai dini hari, juga susahnya mendapat promosi untuk pekerja asing itu membuat lama-lama tidak betah,” kata Linh Nguyen, seorang ekspatriat asal Vietnam kepada CNN. Ia bekerja di salah satu perusahaan di Tokyo dan berpikir untuk pindah ke Kanada dan Australia yang budaya kerjanya lebih positif. (REUTERS)