Sejumlah negara maju tengah mengalami masalah demografi. Pada saat mereka berupaya mempertahankan kemajuan, terjadi penyusutan penduduk secara perlahan dan mengalami penuaan. Aneka cara ditempuh agar ekonomi tidak turun.
Oleh
RAZALI RITONGA
·3 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Semua bangsa terus berupaya mencapai kemajuan, baik sosial maupun ekonomi. Ironisnya, ketika kemajuan itu tercapai, penduduknya perlahan menyusut (shrinking population). Ini dialami sejumlah negara maju di Asia dan Eropa.
Di Asia, antara lain dialami Jepang dan China, dan ini akan terus berlanjut. Pada tahun 2020-2026, badan PBB memproyeksikan penduduk Jepang menyusut 0,5 persen per tahun, dan penduduk China menyusut 0,04 persen per tahun. Di Eropa, antara lain terjadi di Italia (minus 0,9 persen), Romania (-0,5 persen), Bulgaria (-0,9 persen), dan Ukraina (-0,5 persen). Pada 2050, penduduk di Eropa secara keseluruhan menyusut 0,3 persen per tahun.
Penyusutan jumlah penduduk itu tampaknya sejalan dengan pola transisi demografi. Pola ini menggambarkan bahwa angka kelahiran menurun menyertai penurunan angka kematian.
Penurunan angka kematian dan kelahiran terjadi dalam tiga fase. Fase pertama, angka kematian tinggi akibat keterbatasan kemampuan penduduk mengatasi kondisi pangan, lingkungan, dan iklim yang kurang bersahabat. Sementara angka kelahiran stabil tinggi sehingga pertumbuhan penduduk berfluktuasi, tetapi rendah. Pada fase ini dibutuhkan waktu jutaan tahun untuk mencapai setengah miliar penduduk pada 1650, yakni sebelum era modernisasi (Collins, 1982).
Fase kedua, mulai terjadi transisi demografi, yaitu ketika angka kematian menurun, sementara angka kelahiran tetap tinggi. Akibatnya, pertumbuhan penduduk tinggi. Berdasarkan proyeksi badan PBB, untuk mencapai satu miliar penduduk diperlukan waktu 154 tahun (pada 1804). Namun, selanjutnya, untuk mencapai 2 miliar penduduk diperlukan waktu 123 tahun (pada 1927). Demikian seterusnya, dan pertambahan penduduk dari tujuh miliar ke delapan miliar jiwa (pada 2022) berlangsung sangat cepat, yakni 12 tahun.
Fase ketiga, angka kelahiran menurun secara berfluktuasi mengikuti penurunan angka kematian. Pada fase ini pertumbuhan penduduk fluktuatif tetapi rendah, bahkan defisit.
Setiap negara akan mengalami transisi demografi. Namun, pencapaian setiap fase dari transisi demografi itu bergantung kepada kemajuan sosial ekonomi suatu bangsa. Semakin maju kondisi sosial ekonomi suatu bangsa, akan kian cepat menuju fase terakhir transisi demografi.
Ilustrasi
Secara faktual, negara-negara maju kini berada di fase ketiga dengan angka kelahiran rendah, yaitu di bawah replacement level atau angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) di bawah 2,1. Berdasarkan catatan badan PBB, rata-rata angka TFR di negara-negara maju kini 1,7.
Dalam konteks ini, tingkat kemajuan sosial ekonomi berperan besar mengurangi minat memiliki anak atau banyak anak. Perilaku ini antara lain termanifestasi dari pendewasaan usia kawin, tidak ingin kawin, tidak ingin memiliki anak atau paling banyak memiliki satu anak.
Peran migrasi
Celakanya, negara maju yang mengalami penyusutan penduduk secara perlahan mengalami penuaan penduduk. Berdasarkan laman Population Reference Bureau (PRB), di Jepang, misalnya, penduduk lansianya mencapai 28 persen, sementara penduduk lansia di Italia mencapai 23 persen.
Maka, dalam konteks itu dapat dibayangkan betapa repotnya negara-negara maju dalam menghadapi berkurangnya penduduk, terutama pada usia muda, sementara penduduk usia tuanya meningkat. Beban ekonomi untuk menopang penduduk lansia kian besar, sementara produktivitasnya menurun akibat tenaga kerja berkurang.
Celakanya, negara maju yang mengalami penyusutan penduduk secara perlahan mengalami penuaan penduduk.
Maka, aneka kebijakan dan cara kini ditempuh di sejumlah negara maju tersebut agar kinerja ekonominya tidak terpuruk. Salah satunya, meningkatkan angka kelahiran, antara lain dengan memberikan insentif kepada pasangan yang ingin menikah dan memiliki anak.
Cara lain dengan memperpanjang usia pensiun, mengakomodasi pensiunan kembali bekerja, serta mengaplikasikan teknologi tinggi dan menggunakan robot. Namun, ini belum cukup efektif untuk mengantisipasi penurunan penduduk. Maka, cara lain yang kini ditempuh ialah mendatangkan atau mempersilakan masuk penduduk dari negara lain.
Seiring meningkatnya kebutuhan tenaga kerja akibat penyusutan penduduk ini, fenomena migrasi internasional kian meningkat. Berdasarkan catatan badan PBB, migrasi penduduk menjadi sumber utama dalam pertambahan penduduk di negara-negara maju. Diperkirakan, tanpa migrasi masuk, penduduk Amerika Utara 13 persen lebih kecil pada 2050 dan penduduk Eropa 6 persen lebih kecil pada 2050.
.
Perlu disikapi
Dengan mencermati fenomena ini, Pemerintah Indonesia perlu menyikapinya secara bijak. Pertama, kebijakan penurunan TFR perlu dilakukan secara ekstra cermat. TFR di Tanah Air kini mulai memasuki fase ketiga transisi demografi dengan angka di kisaran 2,2.
Indonesia yang berupaya menuju negara maju pada 2045 perlu melakukan pemonitoran dan rencana aksi agar penurunan angka kelahiran tidak berada di bawah replacement level. Pemonitoran dan rencana aksi perlu difokuskan pada daerah atau wilayah yang angka TFR-nya di bawah 2,1.
Kedua, kian meningkatnya fenomena migrasi internasional perlu disikapi, antara lain, dengan mencegah terjadi migrasi tidak resmi. Indonesia yang kini masih oversupply tenaga kerja berpotensi membanjiri permintaan tenaga kerja di pasar kerja internasional.