Pada pertengahan abad ke-20, penduduk bumi berjumlah 2,5 miliar jiwa. Pada 2011, jumlahnya bertambah menjadi 7 miliar jiwa. Tahun ini, 8 miliar jiwa.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
AP PHOTO/A.M. AHAD
Suasana satu ruas jalan di Dhaka, Bangladesh pada hari Rabu (11/7/2018). Penduduk Bumi diperkirakan berjumlah 8 miliar jiwa per November 2022. Bangladeshi people walk by the side of a street in Dhaka, Bangladesh, Wednesday, July 11, 2018. Wednesday marks World Population Day, which seeks to focus attention on the urgency and importance of population issues. (AP Photo/A.M. Ahad)
Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNFPA memperkirakan bahwa penduduk Bumi akan bertambah menjadi 8 miliar jiwa pada hari Selasa (15/11/2022). Penanggalan ini memang simbolis. Akan tetapi pada akhir 2022 penduduk planet ini memang terhitung berada di kisaran angka tersebut. Jumlah manusia di Bumi telah betambah empat kali lipat sejak 1950.
Pada pertengahan abad ke-20, hanya ada 2,5 miliar manusia di muka Bumi. Pada 2011, jumlah penduduk menjadi 7 miliar jiwa. Penyebabnya ialah tingginya angka kelahiran, terutama hingga 1965. Pada periode itu, seorang perempuan seumur hidupnya rata-rata memiliki lima orang anak.
UNFPA mencatat, sejak 2021, setiap perempuan rata-rata memiliki 2,3 anak seumur hidupnya. Semakin membaiknya fasilitas dan layanan kesehatan berpengaruh dalam menurunkan angka kematian ibu dan anak.
Artinya, pertumbuhan penduduk yang tinggi sejak memasuki abad ke-21 bukan berkat tingginya angka kelahiran, melainkan karena tingginya angka harapan hidup. Meskipun demikian, muncul pertanyaan, apakah Bumi cukup dan mampu untuk menyokong 8 miliar manusia, baik tua maupun muda?
“Dibandingkan dengan jumlah penduduk, masalah yang lebih serius ialah ketimpangan akses di segala bidang,” kata Direktur UNFPA Natalia Kanem dalam peluncuran laporan itu secara daring, Senin (7/11/2022).
Berbagai sumber daya alam dieksploitasi secara besar-besaran oleh segelintir orang dan hasilnya tidak dinikmati publik. Demikian pula dengan akses kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan pangan. Sekelompok orang atau negara memiliki akses berlimpah. Sementara sebagaian penduduk bumi dan negara-negara miskin nyaris tidak memiliki apapun.
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)
Penjual bakso keliling menyiapkan dagangannya di gang sempit hunian padat penduduk di RW 10, Kelurahan Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (24/7/2020). Kawasan padat penduduk rawan terjadi penularan Covid-19. Dibutuhkan kedisiplinan bersama, mulai dari perangkat RT, RW, hingga masyarakat untuk menjalankan protokol kesehatan Covid-19 dan pemerintah harus terus masif menyadarkannya.KOMPAS/AGUS SUSANTO24-7-2020
Joel Cohen dari Laboratorium Kependudukan Universitas Rockerfeller di Amerika Serikat (AS) menjelaskan, ketersediaan sumber daya alam akan mencukupi apabila dikelola dengan baik. Kenyataannya, pengelolaan tersebut ditentukan oleh kalangan elite dan tidak untuk kesejahteraan umat manusia. Tidak ada gambaran besar keberlanjutan kehidupan manusia maupun Bumi dalam pengambilan keputusan pengerukan sumber daya alam.
Jennifer Sciubba dari lembaga penelitian Wilson Centre menjelaskan secara lebih terperinci. “Ini tidak hanya keputusan besar seperti yang diambil oleh negara dan korporasi, tetapi juga keputusan individu setiap anggota masyarakat. Keputusan kita untuk menyalakan pendingin ruangan, memakai kendaraan pribadi, mubazir makanan, membuang sampah sembarangan, tidak mematikan listrik rumah, dan berbagai gaya hidup sehari-hari,” ujarnya.
Dana Dunia untuk Alam (WWF) dan Jaringan Jejak Karbon Global (GFN) mengeluarkan perhitungan. Apabila seluruh penduduk Bumi memiliki gaya hidup seperti masyarakat di AS, butuh sokongan lima Bumi setiap tahun untuk memastikan kecukupan udara, air, dan segala sumber daya alam. Hal ini karena perilaku masyarakat AS yang konsumtif tidak hanya dari berbelanja komoditas, tetapi juga pemakaian sumber listrik, dan bahan bakar minyak.
Sebaliknya, apabila seluruh masyarakat Bumi hidup seperti warga negara India, butuh 0,8 Bumi per tahun. Contoh ini ekstrem karena kesenjangan masyarakat di India sangat tinggi. Terdapat banyak penduduk India tidak memiliki akses ke sandang, pangan, papan, sanitasi, dan kesehatan.
“Makna dari perbandingan itu ialah kita sebagai individu, komunitas, maupun bangsa harus memikirkan pilihan-pilihan yang baik bagi Bumi dan seisinya,” tutur Sciubba.
THE UNIVERSITY OF MICHIGAN NATIONAL POLL ON HEALTHY AGING (NPHA)
Hasil survei The University of Michigan National Poll on Healthy Aging (NPHA) terhadap 2.074 lansia di Amerika Serikat pada Maret-Juni 2020. Survei menunjukkan lebih banyak lansia yang merasa kesepian dan terisolasi selama masa pandemi dibandingkan pada 2018. Survei ini dirilis pada Senin (14/9/2020) di laman NPHA.
Laporan UNFPA memproyeksikan, jumlah penduduk Bumi adalah 9,7 miliar jiwa pada 2050. Puncak populasi diperkirakan terjadi pada 2080 dengan 10,4 miliar jiwa. Perhitungan ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Institut Metrik dan Evaluasi Kesehatan (IHME) yang memperkirakan puncak kepadatan Bumi justru pada 2964 dengan 10 miliar jiwa dan setelah itu turun secara bertahap karena berkurangnya angka kelahiran.
Baik UNFPA dahn IHME sama-sama mengatakan bahwa Bumi di masa depan didominasi oleh kelompok berusia lanjut. Perkiraan mereka adalah bahwa pada 2050 jumlah penduduk berumur di atas 65 tahun mencapai 16 persen. Saat ini, jumlahnya 10 persen. Artinya, pemerintah setiap negara harus bersiap membangun infrastruktur ekonomi dan kesehatan yang bisa mendukung penduduk sepuh.
Ada delapan negara yang diperkirakan tetap memiliki pertumbuhan penduduk tinggi pada 2050. Mereka adalah Nigeria, India, Tanzania, Filipina, Etiopia, Mesir, Pakistan, dan Republik Demokratik Kongo. Usia rata-rata penduduknya beragam. Ada negara yang didominasi penduduk berusia 17-29 tahun. Ada juga yang mayoritas warganya berumur di atas 45 tahun.
Manfred Laubichler, Guru Besar Biologi Evolusioner Universitas Negeri Arizona menjelaskan, manusia secara alami menemukan cara untuk mengulang siklus kehidupan. Permasalahannya, dengan semakin pesatnya pertumbuhan penduduk dan ketimpangan akses, upaya untuk memastikan siklus berkelanjutan semakin melambat.
“Lihat saja, 20 negara berperekonomian terbesar menghasilkan 80 persen emisi karbon global. Pada saat yang sama, 20 negara itu tidak memiliki kapasitas serupa untuk mengurangi emisi secara drastis sehingga upaya pelestarian kolektif bisa dibilang lama,” ujarnya kepada The Conversation. (AFP)