Sekadar Bagi-bagi Uang Tak Bikin Masyarakat Ingin Berkeluarga
Krisis kependudukan melanda negara-negara Asia Timur. Tunjangan ada, tetapi minat masyarakat untuk berkeluarga tetap rendah.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
AP/ANDY WONG
Seorang kakek menimang cucunya di Beijing, China, pada 17 Januari 2023.
Penduduk global secara umum menurun. Secara kelestarian lingkungan, ada aspek positif karena beban terhadap Bumi berkurang. Akan tetapi, secara sosial, ketidakseimbangan antara angka kelahiran dan kematian ini mendatangkan risiko pelambatan ekonomi, penurunan kesejahteraan penduduk, bahkan kepunahan bangsa.
Beberapa pemerintah berusaha mengatasi dengan memberi insentif keuangan bagi warga yang memiliki anak. Ternyata, ini saja tidak cukup. ”Kebijakan Pemerintah Jepang harus fokus kepada kesejahteraan keluarga. Jika tidak, bangsa ini akan punah apabila tidak ada generasi penerus,” kata Masako Mori, Penasihat Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, ketika diwawancara Bloomberg dalam edisi 6 Maret 2023.
Jepang mengalami angka kelahiran terendah sejak tahun 1899. Pemerintah mendata, angka kelahiran pada tahun 2022 adalah 800.000 jiwa, sementara pada saat yang sama angka kematiannya 1,58 juta jiwa. Jumlah penduduk lansia di negara ini 28 persen dari total penduduk.
”Sistem kesejahteraan sosial kita bisa ambruk. Pertahanan kita juga dalam bahaya karena kalau tidak ada anak muda, siapa yang mau masuk Pasukan Bela Diri?” kata Mori.
Kishida, dikutip surat kabar Manichi, melancarkan berbagai kebijakan yang berorientasi anak. Tunjangan kelahiran anak akan dinaikkan dari 420.000 yen (Rp 46,9 juta) menjadi 500.000 yen (Rp 55,9 juta). Gubernur Tokyo Yurike Koike turut menambahkan, anak-anak berusia 0-18 tahun akan diberi uang saku 5.000 yen (Rp 572.000) per bulan. Per April 2023, Jepang akan meresmikan Badan Keluarga dan Anak yang bertugas menerbitkan pedoman keluarga berencana.
Seorang anak memperhatikan saat seorang pria mengambil salju dengan sekop di sebuah taman di Beijing, China, 17 Januari 2023. China mengumumkan penurunan populasi untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade.
Di seberang Jepang, China dan Korea Selatan juga pusing memikirkan turunnya angka kelahiran mereka. Korsel mungkin terkenal sebagai gudang sinetron romantis. Akan tetapi, penduduknya ternyata justru enggan berkeluarga. Asosiasi Populasi, Kesehatan, dan Kesejahteraan Korsel pada tahun 2022 melakukan jajak pendapat kepada penduduk berusia 19-34 tahun. Terungkap bahwa dua pertiga dari responden adalah lajang tanpa pacar alias jomblo. Bahkan, 61 persen responden perempuan dan 48 persen laki-laki mengatakan tidak berminat mencari pacar, apalagi menikah.
Di China, penurunan bahkan lebih drastis dan membuat pening pemerintah. Pada tahun 2017, jumlah kelahiran masih 17,9 juta jiwa. Tahun 2022, jumlahnya hanya 9,6 juta kelahiran. Selain itu, ada ketidakseimbangan rasio laki-laki dan perempuan. Di negara ini, penduduk laki-laki ada 772 juta jiwa dan perempuan 690 juta jiwa. Sudah laki-lakinya susah mencari jodoh, sebagian perempuan yang lajang malah memilih jomblo selamanya.
Berbagai insentif telah diberikan oleh pemerintah negara-negara Asia Timur. China juga akan memberi tunjangan anak untuk mengurangi beban orangtua. Bahkan, jam kerja dikurangi supaya generasi muda memiliki waktu untuk berpacaran. Akan tetapi, ini tidak meningkatkan minat anak muda untuk berkeluarga.
Sebenarnya, panel Pemerintah Jepang telah menyebutkan sumber permasalahannya dalam laporan kajian pada 2022. Ini bukan soal uang, melainkan soal kualitas hidup. Pembagian kerja pengasuhan anak tidak adil dan sama-sama membuat stres laki-laki ataupun perempuan.
Petugas menyemprotkan alkohol ke tangan seorang anak di Oyama, Jepang, pada tangga 25 Juli 2021 sebagai protokol kesehatan selama pandemi Covid-19.
Perempuan diserahi tugas sepenuhnya dalam mengasuh anak. Bisa dipastikan ketika sudah memiliki anak, perempuan tidak akan bisa kembali bekerja dan berkarya. Pencarian nafkah sepenuhnya diserahkan kepada laki-laki yang harus lembur. Walhasil, keduanya sama-sama stres.
Hal ini dijelaskan di dalam buku Love, Money, and Parenting: How Economics Explains the Way We Raise Our Kidsyang terbit pada tahun 2019. Buku ini ditulis dua ekonom dari Eropa, yaitu Fabrizio Zilibotti yang kini mengajar di Universitas Yale, Amerika Serikat, dan Matthias Doepke yang mengajar di Universitas Northwestern.
Mereka menjabarkan, negara-negara maju yang menjamin kesejahteraan masyarakat dan memastikan masyarakat memiliki ruang tumbuh untuk aktualisasi diri cenderung memiliki angka kelahiran yang stabil. Misalnya di negara-negara Skandinavia dan Eropa Barat yang walaupun kecil apabila dibandingkan dengan Asia Timur, tidak fluktuatif. Kesejahteraan ini bukan sekadar tunjangan.
Negara-negara maju dengan kesenjangan ekonomi dan sosial tinggi menjadikan berkeluarga sebagai tantangan. Mencari jodoh harus dipikir bibit-bebet-bobot. Apabila ingin anak sukses, orangtua harus menabung dari jauh hari supaya anak bisa dimasukkan ke sekolah hingga perguruan tinggi top demi menjamin masa depan. Asia Timur menjadi contoh negara maju dengan permasalahan sosial ini. Wajar jika generasi muda semakin enggan menikah karena berkeluarga menjadi tekanan sosial dan ekonomi.
Sebaliknya, negara-negara di Eropa yang sama-sama maju memberi ruang kesetaraan jender. Selain tunjangan anak, ada cuti ayah sehingga laki-laki benar-benar bisa aktif terlibat mengasuh anak. Cuti bisa diambil bergiliran dengan istri sehingga perempuan, meski berkeluarga, tetap bisa mengaktualisasi cita-cita dan karier.
AFP/HECTOR RETAMAL
Para siswa tiba di sekolah untuk mengikuti hari pertama pembelajaran tatap muka di Shanghai Yan’an High School di Shanghai, China, Rabu (1/9/2021).
Selain itu, sekolah ataupun perguruan tinggi banyak tersedia dengan mutu setara. Berbeda dengan di Asia yang kasta sekolah unggulan atau favorit dengan sekolah pinggiran masih jamak ditemukan. Di negara maju bukan hanya banyaknya uang, melainkan juga kesetaraan dan keadilan bagi setiap warga untuk hidup layak dan berusaha semaksimal mungkin tanpa dicap melawan norma.
Kesetaraan jender di negara-negara maju Asia masih menjadi tantangan. Terbukti dari dikotomi beban jender yang membuat stres kedua belah pihak. Selain itu, keberpihakan hukum kepada perempuan di dalam kasus-kasus kekerasan domestik dan rumah tangga maupun kekerasan dalam pacaran minim.
Satu bulan terakhir, publik China dikejutkan oleh kasus pembunuhan model Abby Choi oleh mantan suaminya, Alex Kwong. Penyebabnya ialah sengketa harta gono-gini. Padahal, mantan pasangan ini memiliki dua anak. Selain itu, juga ada kasus perempuan bermarga Yang di Provinsi Henan. Ibu dua anak ini tewas ditusuk suaminya ketika sedang bertengkar. Ini baru kasus tahun 2023.
”Pacaran digebukin, menikah digebukin, sudah cerai juga masih digebukin oleh mantan suami. Tidak enak sekali menjadi perempuan di negara ini,” cuit seorang warganet China di media sosial Weibo. Perempuan warganet mayoritas menanggapi bahwa pilihan melajang itu adalah tepat. Tidak hanya untuk kesejahteraan pribadi dan ketenangan jiwa, tetapi juga keamanan fisik mereka. (Reuters)