Populasi Kian Menua, Bagai Berpacu Melawan Waktu
Populasi di sejumlah negara menurun dan menua. Beban anggaran pensiun dan layanan kesehatan bagi lansia di depan mata. Jepang dan China mendorong warganya untuk mau punya anak dengan beragam insentif. Tapi tak mempan.

Seorang anak sedang melihat kakeknya menyekop salju di sebuah taman umum di Beijing, Selasa, 17 Januari 2023. China mengumumkan penurunan populasi pertamanya sejak tahun 1961.
“… Mari membuat manusia kecil yang mirip kita. Menjelajahi tubuhmu seperti safari malam. Saya suami patriotik. Begitu pula kamu, istri yang patriotik. Izinkan saya datang ke kemahmu dan membangun kehidupan …”
Ini petikan lirik dari lagu rap yang pernah dibuat pemerintah Singapura pada 2012 sebagai bentuk kampanye baru untuk mendorong pasangan muda agar mau memiliki anak. Video lagu ini viral di YouTube usai dirilis saat hari kemerdekaan waktu itu. Saking pemerintah Singapura khawatir dengan tingkat kesuburannya yang rendah, hanya 1,2 kelahiran per perempuan. Pemerintah berharap bisa menjangkau anak muda yang semakin banyak memilih menunda pernikahan dan memiliki anak. Alasan mereka logis, biaya hidup semakin mahal.
Baca juga: Populasi Menua, Beban Pensiun China Menggelembung
Singapura panik karena ini akan berdampak buruk pada ekonomi. Jika populasi tak tumbuh, ekonomi pun tak akan bertumbuh karena kalau penduduknya sedikit maka sedikit pula barang dan jasa yang dihasilkan dan dikonsumsi. Kini, China juga panik karena untuk pertama kalinya sejak 1961 atau setelah bencana kelaparan di era Mao Zedong, tingkat kelahiran nasional menyentuh rekor terendah, 6,77 kelahiran per 1.000 orang. Jumlah populasi China pada 2022 mencapai 1.4118 miliar jiwa dan menurun sekitar 850.000 jiwa jika dibandingkan 2021. Kematian selama pandemi Covid-19 juga ikut bertanggungjawab pada penurunan ini.
Seperti halnya Singapura, China sudah mengeluarkan beragam kebijakan agar rakyat mau memiliki lebih banyak anak, mulai dari pemotongan pajak, cuti hamil lebih lama, hingga subsidi perumahan. Tetapi, hasilnya tak terlihat. Padahal pemerintahan Presiden China, Xi Jinping, sudah kadung menggaungkan “masa pembaruan bangsa China” pada 2049 untuk menggapai “impian China” dengan penekanan pada industri. Jika populasi turun lalu siapa nanti yang akan menggerakkan industrinya?

Seorang bapak mendorong koper yang dinaiki anaknya di Stasiun Kereta Api Beijing Barat di Beijing, Rabu, 18 Januari 2023. Populasi yang telah mencapai puncaknya dan perlahan menyusut akan menimbulkan tantangan baru bagi para pemimpin China.
“Kesalahan” China sedikit banyak ada pada “kebijakan satu anak” yang diberlakukan sejak 1978 hingga 2015. Pemerintahan Deng Xiaoping mengambil jalan pintas itu untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Kebijakan yang keras -karena diikuti sanksi berat jika ketahuan punya anak lebih dari satu- itu lalu dicabut dan boleh punya dua anak. Belum dianggap cukup, China pada Mei 2021 mengubah lagi kebijakannya menjadi boleh punya tiga anak. Segala insentif subsidi diberikan pada keluarga dengan dua atau tiga anak dan jumlahnya bisa mencapai 2.800 dollar AS selama tiga tahun. Ketidakmempanan iming-iming untuk menambah anak ini diduga terkait juga dengan “trauma dan luka masa lalu”.
Baca juga: Populasi Menua, Jepang Utamakan Anak dan Pengasuhan Anak
Dalam artikel “How to Fix China’s Population Crisis: Say Sorry to Women” di situs Human Rights Watch, 2 Juli 2022, disebutkan selama 30 tahun kebijakan satu anak, orang tua yang menolak mematuhi kebijakan itu dilecehkan, ditahan, bahkan rumahnya disita atau dihancurkan. Otoritas sering memungut denda yang besar pada keluarga yang melanggar kebijakan itu hingga mereka jatuh miskin. Anak-anak yang lahir di luar kebijakan satu anak ditolak dokumentasi hukumnya sehingga mereka tidak bisa sekolah dan tidak dapat layanan kesehatan. Mereka baru bisa dapat kalau orangtuanya sudah bayar denda yang besar. Banyak juga anak, terutama anak perempuan yang terpaksa disembunyikan karena anak laki-laki dianggap lebih penting bagi keluarga China. Luka seperti ini sulit hilang.
Tambah insentif
Generasi yang lahir dari era satu anak itu kini mengisi angkatan kerja produktif dan merasa biaya pendidikan anak semakin mahal. Lembaga kajian Penelitian Penduduk YuWa pernah melakukan penelitian pada 2022 dan menemukan China merupakan salah satu negara paling mahal untuk membesarkan anak, setelah Korea Selatan.
Lembaga itu membandingkan biaya membesarkan anak hingga usia 18 tahun terhadap kelipatan Pendapatan Domestik Bruto per kapita untuk berbagai negara. Hasilnya, di Australia 2,08 kali, Perancis 2,24 kali, Swedia 2,91 kali, Jerman 3,64 kali, Amerika Serikat 4,11 kali, Jepang 4,26 kali, China 6,9 kali, dan Korsel 7,79 kali lipat. Biaya rata-rata membesarkan anak antara usia 6-14 tahun di China melebihi 31.021 dollar AS, sekitar 44,65 persen dari total biaya membesarkan anak hingga usia 18 tahun.
“Wajar jika orang tak mau punya anak. Bagaimana mau punya anak kalau dapat pekerjaan saja susah,” kata Guru Besar di Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong, Stuart Gietel Basten.

Seorang kakek menggendong cucunya bersiap untuk pergi setelah mengambil foto keluarga bersama di sebuah studio foto di Beijing, Selasa, 17 Januari 2023.
Korsel sudah menyadari penurunan populasi ini tidak bisa hanya diatasi dengan memberikan insentif atau subsidi pada pasangan muda agar mau punya anak atau pada keluarga agar mau punya lebih banyak anak. Tidak sesederhana itu. Tidak ada gunanya memberikan banyak insentif jika masalah utamanya tidak ditangani. Kuncinya ada pada bagaimana membuat hidup rakyat lebih baik.
Akar persoalannya sudah jelas. Harga rumah meroket, tidak ada kesempatan kerja yang layak bagi anak muda, biaya pendidikan dan biaya hidup mahal. Ini yang akan dicoba tangani pemerintah Korsel 10 tahun ke depan. Segala persoalan ini menjadi tantangan besar bagi ekonomi bagi semua negara yang mengalami penurunan populasi. Tenaga kerja akan menyusut dan jumlah warga lanjut usia akan membengkak dan mereka membutuhkan uang pensiun dan perawatan kesehatan.
Baca juga: Populasi Menua, Tak Cukup dengan Tunjangan Melahirkan Saja
Untuk urusan lansia, Jepang ahlinya, khususnya pada urusan layanan kesehatan bagi lansia. Kemajuan dalam perawatan kesehatan memungkinkan lebih banyak orang Jepang hidup lebih lama dari sebelumnya. Statistik pemerintah yang dirilis Agustus 2022 menunjukkan harapan hidup perempuan Jepang bisa sampai 87 tahun dan laki-laki 81 tahun. Tetapi biayanya mahal dan tidak akan berkelanjutan mengingat jumlah penduduk usia 65 tahun ke atas akan meningkat tajam.
Agar tidak membebani angkatan kerja usia produktif dan keuangan negara, Jepang akan mengubah skema pensiun nasional dan pembayaran perawatan kesehatan oleh lansia dan mungkin terpaksa menaikkan pembayaran uang pensiun dan kesehatan. Pendanaan pemerintah terbatas. Utang publik Jepang saja diperkirakan mencapai 8,7 triliun dollar AS, angka tertinggi dari negara maju manapun di dunia. Tetapi kenaikan pembayaran pensiun ini tidak akan populer mengingat tekanan ekonomi yang sedang dihadapi rakyat saat ini.
Karena tekanan ekonomi, banyak warga usia 65 tahun ke atas di Jepang yang tak punya pilihan selain tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari karena uang pensiun setiap bulannya rata-rata di bawah 500 dollar AS. China dan Korsel pun jumlahnya sama. Menurut Laporan Tahunan Kantor Kabinet Jepang tentang Masyarakat yang Menua tahun fiskal 2021, persentase mereka yang berusia 60 tahun ke atas yang masih ingin terus bekerja mencapai 40,2 persen. Ini lebih tinggi dari tiga negara lain yang disurvei, yakni Amerika Serikat, Jerman, dan Swedia.
Keinginan untuk terus bekerja ini sejalan dengan program “kehidupan 100 tahun” pemerintah dan dorongan untuk reformasi pasar tenaga kerja untuk memungkinkan orang bekerja dengan baik hingga usia senja. Ini kompensasi dari tingkat kelahiran yang rendah dan biaya perawatan kesehatan dan pensiun yang membengkak. Botol ketemu tutupnya, perusahaan juga membutuhkan SDM lansia karena minim pekerja usia muda. Mungkin karena pekerjaannya kurang menarik atau gaji kurang besar. Pekerja lansia yang memenuhi kekosongan ini. Ada lansia yang bekerja sebagai satpam, penjaga anak, asisten rumah tangga, jasa kebersihan, dan lain-lain.

Seorang perawat tengah merawat seorang bayi yang baru lahir di rumah sakit bersalin di Fuyang pada Selasa (17/1/2023).
China hendak mengikuti langkah Jepang dengan memperpanjang usia pensiun di atas 60 tahun. Usia pensiun di China 60 tahun untuk laki-laki dan 55 untuk perempuan. Ini jauh lebih rendah ketimbang Jepang, Jerman, dan banyak negara yang menua lainnya. Data dari Komisi Kesehatan Nasional China menyebutkan ada 267 juta jiwa (18,9 persen) dari total populasi yang berusia 60 tahun ke atas. Ini berarti setiap 100 orang usia kerja di China harus menyokong 20,8 warga berusia 65 tahun ke atas.
Rencana pemerintah memperpanjang usia pensiun ini kontroversial karena banyak warga China menolak. Pengusaha juga keberatan karena gaji pekerja senior biasanya lebih tinggi. China harus mencari cara lain untuk mempertahankan pertumbuhan. Ekonom independen di Pusat China di Oxford University, Georga Magnus, mengatakan China harus bergerak cepat karena negara yang dulu menjadi “pabrik dunia” kini mulai kehilangan banyak industri yang pindah ke negara berkembang lain di Asia dan Amerika Selatan. China mengejar otomatisasi melalui robotika dan kecerdasan buatan, seperti Jepang, tetapi dampaknya pada produktivitas belum terlihat.
“Ada solusi lain sebenarnya, yakni menambah populasi dengan migrasi. Tetapi Partai Komunis China tidak pernah suka pilihan itu. Jepang dan Korsel juga secara historis menentang migrasi,” ujarnya.
Baca juga: Warga Lansia Indonesia Mau Dibawa ke Mana?
Tidak ada satu pilihan atau jalan keluar yang bisa menjadi peluru perak atau solusi pas dan jitu. Semua ada konsekuensinya. Apapun itu, musti bergerak cepat karena seperti kata Perdana Menter Jepang, Fumio Kishida, persoalan anak tidak bisa ditunda lagi. “It’s now or never”.