Korea Selatan meyakini bahwa ASEAN merupakan pusat dari Indo-Pasifik dan mitra kunci dalam mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan bersama.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
Republik Korea atau yang di Indonesia akrab dikenal dengan sebutan Korea Selatan meluncurkan strategi Indo-Pasifik terbaru di bawah kepemimpinan Presiden Yoon Suk-yeol yang terpilih sejak tahun 2022. Duta Besar Misi Republik Korea untuk Himpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) Kwon Hee-seog menjelaskan secara mendalam mengenai strategi tersebut kepada Kompas di dalam wawancara khusus yang dilaksanakan pada hari Selasa (28/3/2023).
“Pada dasarnya, Republik Korea menginginkan menjadi pemain global yang aktif dengan masyarakat yang berwawasan global pula. Dari segi diplomasi lunak, kami sudah memiliki kekuatan di perekonomian dan budaya populer. Misalnya, kelompok musik Blackpink dan BTS yang dikenal oleh hampir semua orang di dunia,” tutur Kwon.
Namun, lanjutnya, Korea melihat perlunya lebih banyak keaktifan karena setelah Perang Dingin ini ternyata masih banyak ketidakstabilan politik. Apalagi, dalam lima tahun belakangan ditambah dengan perang dagang antara China dengan Amerika Serikat (AS). Pemulihan perekonomian global pascapandemi Covid-19 juga terhambat dengan berbagai permasalahan di rantai pasok dan distribusi. Kemudian muncul pula perang antara Rusia dengan Ukraina.
Oleh sebab itu, Korea berusaha menghadapi semua persoalan ini dengan diplomasi. Tujuannya untuk menjaga kedaulatan, kemerdekaan, perdamaian, dan kestabilan negara-negara di dunia. “Tantangan semakin berat karena sekarang garis batasan antara politik dan ekonomi semakin mengabur. Kedua aspek saling memengaruhi, sehingga kita semua harus bijak dalam bertindak,” kata Kwon.
Ia menjelaskan, setelah Perang Korea berakhir pada tahun 1950, Korea Selatan tumbuh sebagai negara berideologi politik demokrasi liberal. Perekonomian melesat dengan produk-produk unggulan antara lain berupa semikonduktor, otomotif, teknologi, batere listrik, dan bionergi. Ekspor kemudian merambah kepada budaya populer. Pendidikan kini juga menjadi salah satu faktor penguatan kerja sama internasional Korea.
“Kami sudah punya modal dan sudah saatnya kami memperkuat kerja sama global berlandaskan hak asasi manusia han penegakan hukum yang diakui secara internasional. Korea ingin turut mengambil tanggung jawab dalam penegakan perdamaian dan kestabilan dunia secara transparan,” katanya.
Dalam konteks strategi Indo-Pasifik Korea, ASEAN sangat penting karena merupakan jantung dari kawasan tersebut. Kwon menerangkan, berbagai proyek dan program Korea terkait Indo-Pasifik akhirnya disesuaikan dengan kebutuhan ASEAN guna memperkuat lembaga serta kawasan itu. Sentralitas ASEAN menjadi kunci dalam mewujudkan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.
“Prinsip Indo-Pasifik Korea adalah kebebasan berlayar dan terbang; kerja sama inklusif; perdamaian; kesejahteraan bersama; dan saling menghormati sehingga tercipta kerukunan di kawasan, meskipun setiap negara di kawasan memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, kami menggunakan Pandangan ASEAN terhadap Indo-Pasifik (AOIP) untuk membangun Inisiatif Solidaritas Korea-ASEAN (KASI),” ujar Kwon.
Kolaborasi ini ada di sektor perdagangan, investasi, ekonomi, pendidikan, sosial, dan kesenian. Juga ada penjajakan di kerja sama keamanan karena menurut Kwon, Presiden Yoon mengatakan bahwa ASEAN merupakan mitra kunci dalam memastikan keamanan di Indo-Pasifik.
Dalam mewujudkan kerja sama ini, Korea melipatgandakan pendanaan mereka untuk kemitraan ASEAN sampai dengan tahun 2027. Pada tahun 2022, pendanaan ini berjumlah 16 juta dollar AS yang meningkat menjadi 20 juta dollar di tahun 2023. Selama empat tahun ke depan, jumlahnya ditambah menjadi 30 juta dollar.
Demikian pula dengan pendanaan kolaborasi Korea-Mekong. Ini adalah negara-negara di Asia Tenggara yang terletak di bantaran Sungai Mekong yang terdiri dari Thailand, Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar. Jumlahnya bertambah dari 5 juta dollar AS menjadi 10 juta dollar per tahun 2027. Khusus kolaborasi Korea dengan Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina dana dalam empat tahun ke depan adalah 46 juta dollar AS.
“Kita fokus kepada kerja sama yang pragmatis dan substantif sehingga semua pihak bisa terlibat dan menikmati hasilnya,” kata Kwon.
Dalam praktiknya, Kwon mengatakan bahwa hal-hal substantif itu beragam. Tidak ada satu sektor yang bisa diutamakan karena sekarang semua saling terkait. Dunia menghadapi persaingan geopolitik yang tidak hanya mengakibatkan perang dagang, tetapi juga risiko keamanan dan sekarang telah membuka risiko ancaman senjata nuklir. Apalagi, sekarang juga ada ancaman krisis iklim dan krisis energi.
“Contohnya adalah pendekatan yang diambil Indonesia ketika memimpin G20 yang fokus kepada penanganan pandemi Covid-19, transisi ke energi terbarukan, dan digitalisasi. Ini semua penting dan membutuhkan strategi yang komprehensif,” ujarnya.
Ia menekankan, program substantif dan pragmatis ini apabila dijalankan dengan benar tidak akan memberi ruang untuk persaingan geopolitik. Semua pihak diarahkan menargetkan kolaborasi dengan menggunakan AOIP sebagai acuan. Akan tetapi, ini juga harus disertai tanggung jawab oleh ASEAN untuk memastikan kekompakan dan sentralitasnya.
Krisis politik dan keamanan di Myanmar adalah pekerjaan besar bagi ASEAN dan seluruh negara mitra wicara terus memantau perkembangannya. Sejak kudeta pemerintahan terpilih Myanmar terjadi pada Februari 2021, Korea telah menerapkan sanksi kepada sejumlah pejabat junta militer maupun organisasi yang berhubungan dengan junta Myanmar.
“Korea meyakini Lima Poin Konsensus adalah solusi terbaik. Kami menyadari ASEAN bekerja keras karena kredibilitas dan kewibaan ASEAN bergantung dari penanganan isu Myanmar. Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2023 juga bekerja maksimum dan Korea optimistis Indonesia bisa membuat perubahan, walaupun krisis Myanmar ini akan memakan waktu lama sampai benar-benar bisa tuntas,” tutur Kwon.
Terkait dengan hambatan eksternal, Kwon mengaku cukup percaya diri setiap pihak mampu mengendalikan diri. Ia mengambil contoh persaingan geopolitik antara AS-China tidak separah Perang Dingin karena di antara dua kekuatan itu tidak ada risiko ancaman nuklir. Keduanya memang tengah menghadapi hubungan yang sulit, tetapi baik AS maupun China sama-sama tidak menginginkan konflik terbuka dan terus membuka semua saluran komunikasi.
Memang, ada tantangan hubungan AS-China di Selat Taiwan. Dalam hal ini, Kwon mengatakan, Korea meyakini prinsip Satu China. Artinya, semua pihak wajib menghormati status quo antara China dengan Taiwan yang telah disepakati sejak tahun 1992. Segala tindakan unilateral untuk mengubah status quo itu sejatinya bermasalah karena mengancam kebebasan berlayar dan terbang di Selat Taiwan. Hal serupa juga diyakini oleh Korea untuk isu Laut China Selatan.
Demikian pula dengan suasana panas di Semenanjung Korea. Korea Selatan mengecam segala uji coba rudal dan bom nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara. Mereka mendorong Korut mematuhi peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan berhenti melakukan provokasi.
“Korea Utara adalah mitra wicara ASEAN di dalam Forum Regional ASEAN dan ASEAN telah tiga kali membuat pernyataan agar menghentikan uji coba rudal dan pelucutan senjata nuklir. ASEAN dan para mitra wicara sangat aktif mendorong agar suasana di Semenanjung Korea stabil,” ujarnya.