Komisi HAM PBB: Pemilu Myanmar Kedok Legitimasi Junta
Pemilihan umum yang tengah disiapkan oleh junta militer Myanmar sama sekali tidak bertujuan merayakan ataupun melestarikan demokrasi di negara itu.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
GENEVA, RABU — Penyelidik independen untuk Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan laporan bahwa pemilihan umum yang hendak diselenggarakan dalam dua bulan ke depan sebagai kedok untuk meligitimasi kekuasaan junta militer Myanmar. Ia meminta agar negara-negara di dunia menghentikan dukungan terhadap junta, terutama dalam aspek bantuan militer dan penjualan persenjataan.
Laporan itu disusun Tom Andrews, akademisi dari Amerika Serikat yang dipercaya sebagai penyelidik independen untuk Komisi HAM PBB. Berkas laporan diluncurkan secara daring pada Selasa (31/1/2023) malam waktu setempat atau Rabu (1/2/2023) pagi waktu Indonesia.
”Pemilu ini tidak adil karena lawan-lawan politik junta dipenjara. Bahkan, ada pula yang dibunuh. Wartawan diberangus dan para pengkritik junta dipersekusi,” tutur Andrews.
Berdasarkan data Komisi HAM PBB, pada 2023 ada 17,6 juta warga Myanmar yang memerlukan bantuan kemanusiaan. Angka ini melonjak drastis sejak junta melakukan kudeta pada 1 Februari 2021. Tahun 2020, jumlah penduduk Myanmar yang membutuhkan bantuan kemanusiaan ada 1 juta jiwa.
Sejak kudeta terjadi, Asosiasi Bantuan Tahanan Politik Myanmar (AAPPB) mencatat per 31 Januari 2022, ada 2.940 warga sipil terbunuh. Selain itu, ada 17.572 orang yang ditahan dan 1 juta orang kehilangan tempat tinggal. Ini di luar jumlah penduduk dari etnis minoritas Rohingya yang telah dipersekusi sejak tujuh tahun lalu.
Andrews meminta agar Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) kompak bersikap tegas terhadap Myanmar. Sejauh ini, baru Indonesia, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura yang menyatakan tidak mengakui junta sebagai pemerintah sah Myanmar. Kamboja, Thailand, Vietnam, dan Laos masih bersikap lunak. Bahkan, para kepala negara ini bertemu dengan Jenderal Senior Min Aung Hlaing meskipun mereka mengatakan itu bukan pertemuan politik ataupun dukungan terhadap junta.
Selama mempersiapkan pemilu ini,lembaga swadaya masyarakat Myanmar, Witness, melaporkan bahwa junta tidak menghentikan serangan udara ke desa-desa. Sasarannya terutama di provinsi yang banyak dihuni kelompok etnis minoritas, antara lain Provinsi Karen dan Kachin. Mereka mencatat, periode Juni-Desember 2022 ada 135 serangan udara.
Sasarannya tidak hanya markas kelompok yang dituduh memberontak, tetapi mencakup rumah-rumah warga, tempat ibadah, dan sekolah. Pemerintahan Nasional Bersatu (NUG), yang merupakan pemerintahan bayangan Myanmar untuk melawan junta, menghitung ada 460 warga sipil tewas akibat serangan udara. Para korban termasuk yang anak-anak.
Junta dalam pernyataan pers yang diterbitkan di media Global New Light of Myanmar berdalih bahwa serangan udara diperlukan untuk menumpas kelompok teroris. Ini adalah kelompok oposisi junta yang mayoritas terdiri dari etnis minoritas. Mereka bergabung dengan faksi militer NUG sejak pertengahan tahun 2021 demi melawan junta.
Serangan udara terakhir yang tercatat terjadi di Desa Lay Wah, Mutraw, Provinsi Karen. Lembaga Free Burma Rangers menangani pertolongan pertama untuk para korban. Serangan itu menghancurkan rumah warga dan tempat ibadah. Sebanyak 10 warga desa tewas, termasuk seorang anak berumur 10 tahun.
Pendiri Free Burma Rangers, David Eubank, beberapa kali menyaksikan langsung serangan udara di Provinsi Karen. ”Pesawat tempur menembaki desa-desa lalu menjatuhkan rudal. Padahal, desa-desa ini dihuni warga sipil yang tidak mengangkat senjata,” ujarnya.
Amnesty International mengimbau komunitas internasional untuk menahan rantai pasok dan distribusi global persenjataan di Myanmar. Kemampuan penyerangan udara Myanmar meningkat drastis karena mereka membeli pesawat tempur dan persenjataan dari Rusia dan China. Kedua negara ini, termasuk India, memilih abstain menandatangani Resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai Myanmar pada akhir tahun 2022.
Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Australia telah menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap junta Myanmar dan orang-orang yang dianggap dekat dengan mereka. UE dan Inggris juga melarang penjualan berbagai senjata ke Myanmar ataupun perusahaan yang terafiliasi dengan junta.
”Tanpa ada bahan bakar dan persenjataan, pesawat-pesawat tempur junta tidak akan bisa mengudara,” kata pernyataan Amnesty International. (AP)