Junta Militer Myanmar Memasung Partai Politik
Junta militer Myanmar memperkuat cengkeramannya pada politik. Persyaratan partai untuk ikut pemilu tahun ini dipersulit. Jalan menuju demokrasi kian suram.
NAYPYIDAW, JUMAT — Langkah Myanmar menuju ke arah demokrasi semakin jauh. Junta militer membuat aturan dan persyaratan baru yang memberatkan bagi partai-partai politik untuk mengikuti pemilu. Junta militer memberikan waktu dua bulan kepada partai politik untuk mendaftar ulang sebelum pemilu yang direncanakan akan diadakan tahun ini.
Baik partai politik yang sudah ada maupun calon partai memiliki waktu 60 hari untuk mendaftarkan diri ke komisi pemilihan bentukan junta militer. Setiap partai politik yang ingin bersaing secara nasional harus memiliki setidaknya 100.000 anggota dalam waktu 90 hari setelah pendaftaran. Dalam aturan sebelumnya, partai cukup punya1.000 anggota. Partai politik juga harus membuka kantor di setidaknya setengah dari kota praja di negara itu dalam waktu 180 hari. Di Myanmar terdapat 324 kota praja.
Baca juga : Myanmar, Batu Uji ASEAN
Mereka yang tidak mampu memenuhinya akan ”kehilangan status” sebagai partai politik. Ini merupakan aturan baru yang tertuang dalam undang-undang pemilu baru yang disetujui junta militer pada Kamis (26/1/2023) dan dipublikasikan media yang dikelola junta, Global New Light of Myanmar, Jumat (27/1/2023). Akan tetapi, aturan ini tidak memberikan penjelasan mengenai proses verifikasi partai di tengah situasi Myanmar yang sedang dilanda krisis dan tengah melawan siapa saja yang menentang junta.
Pemimpin junta, Min Aung Hlaing, menegaskan, militer akan mengadakan pemilihan multipartai yang ”bebas dan adil” pada awal bulan ini. Pernyataan ini ia kemukakan beberapa hari setelah pengadilan menambah jumlah hukuman penjara tokoh Myanmar, Aung San Suu Kyi, menjadi 33 tahun.
Jika aturannya seberat ini, dikhawatirkan tidak akan ada partai politik yang bisa melawan junta dan cengkeraman junta di politik akan semakin kuat. Aturan baru ini hanya akan menguntungkan Partai Solidaritas dan Pembangunan Persatuan atau partai yang berisi para mantan jenderal. Partai ini dikalahkan oleh partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi pada pemilu tahun 2015 dan 2020.
Pada pemilu November 2020, NLD menang telak. Namun, militer kemudian melakukan kudeta setelah membuat tuduhan tidak berdasar bahwa pemilu berlangsung curang. Situasi darurat yang diberlakukan junta militer akan berakhir pada akhir Januari 2023. Setelah itu, otoritas negara bagian harus mengadakan pemilu. Amerika Serikat yakin pemilu apa pun di Myanmar, jika dilakukan oleh junta, akan menjadi pemilu palsu. Berbeda dengan AS, Rusia yang merupakan sekutu utama dan pemasok senjata ke Myanmar mendukung rencana pemilu Myanmar.
Meski berat, beberapa partai regional yang lebih kecil kemungkinan akan ikut mencalonkan diri. Sementara Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan yang didukung militer sudah mengadakan acara di seluruh negeri dalam beberapa pekan terakhir. Sebaliknya, NLD sudah dihancurkan setelah kudeta dengan beberapa pemimpin puncaknya dipenjara untuk jangka waktu lama dan banyak lainnya yang berada di pengasingan atau bersembunyi.
Bahkan ada mantan anggota parlemen NLD yang dieksekusi oleh junta tahun lalu karena alasan terorisme yang kemudian memicu kecaman luar biasa dari komunitas internasional. Junta militer dikhawatirkan akan menghapus sistem first-past-the-post karena dengan sistem itu NLD menang mayoritas pada 2015 dan 2020.
Baca juga : Indonesia dan Masalah Myanmar
Penasihat senior Kelompok Krisis Internasional yang berbasis di Myanmar selama 15 tahun, Richard Horsey, mengatakan, aturan baru itu jelas hendak memulihkan sistem politik yang dapat dikendalikan militer. ”Partai-partai akan menjadi terlalu takut, tersinggung dengan pemilihan palsu, atau biayanya akan terlalu mahal bagi mereka untuk melakukan kampanye nasional dengan kondisi seperti sekarang. Siapa yang mau mendanai partai politik saat ini dengan kondisi begitu. Ini sandiwara militer saja. Mereka mau melanggengkan kekuasaan militer. Tidak harus berhasil karena mereka sudah menentukan hasilnya nanti,” ujarnya.
Namun, junta menegaskan komitmen pada demokrasi dan alasan merebut kekuasaan hanya karena adanya pelanggaran yang belum terselesaikan dalam pemilu 2020.
Bencana
Hampir dua tahun setelah kudeta, Ketua Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa Volker Turk dalam pernyataan tertulis memperingatkan, Myanmar sudah jatuh ke dalam bencana. Ia menyerukan agar junta militer ditempatkan di bawah pengawasan sipil. ”Penegakan hak asasi manusia di semua bidang mengalami kemunduran. Meski ada kewajiban hukum yang jelas bagi militer untuk melindungi warga sipil, mereka mengabaikan hukum internasional,” tulisnya.
Turk menyebutkan, warga sipil justru menjadi sasaran serangan militer serta korban serangan artileri dan serangan udara yang membabi buta. Warga sipil juga menjadi korban eksekusi di luar hukum dan disiksa. Militer pun membakar banyak desa. Sedikitnya 2.890 orang tewas di tangan militer dan sekutunya sejak kudeta. Dari jumlah itu, setidaknya 767 orang awalnya ditahan.
Militer juga memenjarakan sejumlah pemimpin negara yang sudah dipilih rakyat secara demokratis dan lebih dari 16.000 aktivis lainnya. Tidak hanya itu, sedikitnya 1,2 juta orang menjadi pengungsi internal dan 70.000 orang sudah meninggalkan Myanmar. Selama beberapa dekade terakhir, lebih dari 1 juta orang sudah melarikan diri dari penganiayaan di Myanmar, termasuk mayoritas populasi Rohingya. ”Harus ada jalan keluar dari situasi bencana yang memperdalam penderitaan dan melanggar hak warga setiap hari,” sebut Turk.
Baca juga : Mencermati Kuasa Militer di Myanmar
Turk juga mengecam junta yang membiarkan kekerasan terhadap warga sipil lepas kendali dan membatasi akses kemanusiaan. Mereka yang bertanggung jawab atas serangan setiap hari terhadap warga sipil dan melakukan pelanggaran HAM, kata Turk, harus dimintai pertanggungjawaban. ”Bagaimana mungkin militer yang seharusnya membela negara dan rakyat malah membuat semua rakyatnya sampai di titik putus asa seperti ini? Militer perlu berada di bawah pengawasan sipil yang nyata dan efektif,” ujar Turk. (REUTERS/AFP)