Jika kerja sama di kawasan Indo-Pasifik dibangun dengan cara yang lebih terbuka, situasi itu akan mendorong terwujudnya keamanan, stabilitas, dan kesejahteraan di kawasan.
Oleh
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO, LUKI AULIA
·4 menit baca
Jakarta, Kompas - Di tengah tarikan kuat negara-negara besar dunia, Indonesia terus berupaya memainkan peran penyeimbang, baik di tataran regional maupun global. Tak dapat dimungkiri, kawasan Asia dan Pasifik saat ini menjadi salah satu ajang kompetisi antara China dan Amerika Serikat beserta negara-negara mitra terdekatnya.
Dalam situasi seperti itu, merujuk pada Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri, Rabu lalu, Indonesia sebagaimana disampaikan Menlu Retno LP Marsudi berupaya meningkatkan kerja sama dengan negara-negara di kawasan termasuk di Pasifik Selatan. Beragam kegiatan bersama dilakukan antara lain pembangunan Regional Agriculture Training Center di Fiji untuk memperkuat ketahanan pangan di Pasifik, serah terima lapangan futsal multiguna di Solomon Islands untuk mendukung penyelenggaraan Pacific Games, serta memulai pembangunan rumah sakit di Solomon Islands.
Tidak hanya itu, Indonesia juga menyediakan diri menjadi tuan rumah Archipelagic and Island States Ministerial Forum, dan Indonesia-Pacific Forum for Development atau IPFD. Forum tersebut, menurut Retno, akan menjadi platform untuk pengembangan kerja sama pembangunan secara terlembaga di kawasan Pasifik. Indonesia juga berusaha mendekatkan Pasifik dengan dunia.
”Indo-Pasifik tidak hanya didekati dari aspek security, tetapi juga kerja sama ekonomi pembangunan yang inklusif,” kata Retno, Kamis (12/1/2023) di Jakarta. Seiring hal itu, Indonesia juga terus mengedepankan peran serta ASEAN dalam dinamika di kawasan. ”Indonesia ingin menjadikan ASEAN resilient, dan menjadi barometer kerja sama yang dapat berkontribusi bagi perdamaian, stabilitas, dan kesejahteraan kawasan dan dunia,” kata Retno dalam PPTM, Rabu (11/1).
”Kawasan Indo-Pasifik yang damai dan stabil, penghormatan terhadap hukum internasional, dan kerja sama yang inklusif merupakan kunci bagi ASEAN untuk menjadi Epicentrum of Growth. Untuk itu, implementasi ASEAN Outlook on the Indo Pacific (AOIP) akan menjadi ruh besar pelaksanaan prioritas keketuaan Indonesia.
Merujuk sikap inklusif yang ditegaskan Retno, Indonesia selama ini terus mengedepankan inisiatif ASEAN Outlook on the Indo Pacific. Inisiatif itu disiapkan untuk membangun arsitektur kawasan yang lebih terbuka, melibatkan setiap mitra untuk terlibat dalam dialog bersama meskipun memiliki cara panjang atau persepsi yang berbeda. Dalam beragam kesempatan, sejumlah diplomat Indonesia mengatakan, arah dari langkah Jakarta adalah membangun lingkungan yang aman. ”Hanya dengan arsitektur seperti itu, strategic trust dapat dipertebal,” kata Achmad Rizal Purnama, Kepala Biro Dukungan Strategi Pimpinan, Kementerian Luar Negeri.
Ia yakin, jika kerja sama di kawasan Indo-Pasifik dibangun dengan cara yang lebih terbuka, situasi itu akan mendorong terwujudnya keamanan, stabilitas, dan kesejahteraan di kawasan sebagai common goods yang bisa dinikmati semua pihak. ”Melalui implementasi AOIP, Indonesia akan dorong kerja sama konkret, khususnya kerja sama ekonomi yang inklusif di mana semua negara terlibat sehingga tercipta habit of cooperation and collaboration di kawasan Indo-Pasifik,” katanya.
Myanmar
Di sisi lain, Indonesia sebagai ketua ASEAN akan berupaya semaksimal mungkin membantu Myanmar keluar dari krisis politik. Akan tetapi sebagaimana disebutkan Retno, isu Myanmar tidak akan dibiarkan menyandera proses penguatan pembangunan komunitas ASEAN. Selain membangun komunitas bersama ASEAN, Indonesia juga akan terus memperkokoh sentralitas ASEAN agar mampu menjaga perdamaian, stabilitas, serta kemakmuran di Asia Tenggara dan Indo-Pasifik.
Dihubungi terpisah dosen Hubungan Internasional, Fisipol Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Randy Nandyatama, mengatakan, Indonesia dinilai memiliki komitmen kuat untuk mendukung dan menjaga tata kelola dan tatanan dunia berbasis aturan. Selain dalam isu Indo-Pasifik dan ASEAN, komitmen itu tampak nyata pada keberhasilan Indonesia ”mengelola” tarikan kepentingan sejumlah negara besar untuk terus mendukung kolaborasi global di G20 dan forum lain.
”PPTM kemarin cukup baik dalam meletakkan komitmen Indonesia sebagai negara yg mendukung rules-based. PPTM kemarin juga cukup lugas dan berani menunjukkan kekecewaan terhadap Myanmar dan pentingnya ASEAN dalam menjadi organisasi yang memegang peranan penting di kawasan,” kata Randy.
Secara khusus, terkait peran ASEAN dalam isu Myanmar, ia mendorong agar Jakarta lebih memperkuat respons, baik di dalam ASEAN maupun di luar ASEAN.
”Betul, Indonesia layak menunjukkan kekecewaan kepada Myanmar. Namun, Jakarta belum menunjukkan sinyal mau bagaimana merespons isu tersebut. Misalnya, apakah akan terus mendorong penyelesaian dalam koridor 5 poin konsensus atau berkomitmen mendorong kesepakatan lebih lanjut, seperti soal isu keanggotaan Myanmar dalam rapat-rapat ASEAN di bawah level pertemuan tingkat tinggi,” kata Randy.
Indonesia, menurut Randy, sejatinya memiliki catatan positif setiap kali menjadi ketua himpunan bangsa-bangsa di Asia Tenggara tersebut. Indonesia, tutur Randy, kerap berhasil mendorong reformasi institusi ASEAN, antara lain, ide komunitas ASEAN yang muncul sebagai implikasi Bali Concord II di tahun 2003.
”Di sisi lain, Menlu cukup kuat dalam menggarisbawahi pentingnya ASEAN. Namun perlu juga menggarisbawahi pentingnya mengembangkan multi-channel approach di mana diplomasi Indonesia bisa paralel dengan forum-forum lain dalam mendorong nilai yang ingin diproyeksikan Indonesia, yaitu sebagai promotor rules- based order yang memegang prinsip bebas aktif,” kata Randy.
Terkait hal itu, ia berharap Jakarta dapat lebih detail menguraikan arah kebijakannya, termasuk turunan target kebijakan, baik dari konsep AOIP maupun ASEAN. Jakarta, menurutnya, punya modalitas dari keberhasilan di G20 untuk memproyeksikan peran sebagai jembatan dalam menurunkan tensi, baik dalam isu AS-China di kawasan maupun menuntaskan isu Myanmar.