Setelah Sukses di G20, Indonesia Diminta Beri Terobosan Atasi Masalah di Kawasan
Setelah dinilai sukses mengetuai G20, Indonesia diharapkan bergigi dalam mengetuai ASEAN. Tindakan yang diambil ASEAN ataupun pilihan untuk tidak melakukan apa pun sangat berpengaruh terhadap reputasi organisasi itu.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR
(Dari kiri ke kanan) Ketua dan Pendiri Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal, Profesor Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dewi Fortuna Anwar, Kepala Departemen Luar Negeri Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Lina Alexandra, dan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Endy Bayuni. Mereka menjadi narasumber dalam diskusi mengenai arah politik luar negeri Indonesia tahun 2023 yang diselenggarakan oleh FPCI di Jakarta, Selasa (31/1/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Peta jalan dan pemilihan prioritas isu selama keketuaan Indonesia untuk Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN harus segera diterbitkan. Setelah kesuksesan Indonesia memimpin G20, dunia mengharapkan Indonesia bisa melakukan terobosan atau setidaknya membuka jalan untuk mencari berbagai jalan keluar berkesinambungan terkait persoalan kawasan dan geopolitik.
”Tahun 2022 adalah kesuksesan politik luar negeri Indonesia karena G20 berlangsung produktif dan mematahkan skeptisisme berbagai pihak. Ini membuat politik luar negeri 2023 dihadapkan pada standar dan harapan yang tinggi dari masyarakat global,” kata Dino Patti Djalal, pendiri Foreign Policy Community Indonesia (FPCI), dalam diskusi mengenai rencana politik luar negeri Indonesia 2023 di Jakarta, Selasa (31/1/2023).
Meskipun begitu, Dino mempertanyakan rencana strategis politik luar negeri Indonesia untuk tahun 2023 ataupun rencana jangka panjangnya. Pasalnya, sejak kepemimpinan Presiden Joko Widodo mulai tahun 2014, pendekatan politik luar negeri Indonesia dinilai bersifat pragmatis dan reaksional.
Contohnya, keberhasilan Konferensi Tingkat Tinggi G20 pada November 2022, dengan memastikan Rusia tidak didepak dan pada saat yang sama mengundang Ukraina, seperti upaya memadamkan kebakaran yang bisa mengancam gagalnya KTT tersebut.
”Kita butuh petunjuk teknis dari berbagai inisiatif global, seperti Poros Maritim Dunia ataupun ASEAN Outlook on Indo-Pacific (Pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik/AIOP) agar pelaksanaannya tertata dan terukur,” tutur Dino.
Pemimpin di Asia Tenggara
Indonesia mendapat giliran mengetuai ASEAN selama tahun 2023. Dalam peluncuran keketuaan pekan lalu, Presiden Jokowi mengatakan slogan keketuaan Indonesia ialah menjadikan ASEAN sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Profesor Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional Dewi Fortuna Anwar menjelaskan, tidak masalah jika Jokowi membumikan politik luar negeri menjadi hal pragmatis karena tujuannya langsung menghunjam ke masyarakat.
”Namun, ASEAN ini sangat dinamis. Tanpa ada persoalan geopolitik pun sudah ada masalah dan yang terbesar (adalah) mengenai krisis di Myanmar sejak tahun 2021,” ujar Dewi.
Ia menerangkan, Indonesia merupakan pemimpin de facto di Asia Tenggara karena merupakan negara terbesar dari segi wilayah dan jumlah penduduk. Status ini beriringan dengan harapan bahwa Indonesia bisa bergigi dalam mengetuai ASEAN. Tindakan yang diambil ASEAN ataupun pilihan untuk tidak melakukan apa pun sangat berpengaruh terhadap reputasi organisasi itu.
AP/VINCENT THIAN
Presiden Joko Widodo (tengah) berjalan turun dari panggung bersama para pemimpin negara-negara anggota ASEAN setelah upacara pembukaan KTT Ke-40 dan 41 ASEAN di Phnom Penh, Kamboja, 11 November 2022.
Langkah pertama bisa dilakukan dengan mengulas kembali Piagam ASEAN. Di dalam dokumen itu tidak ada klausul mengenai penanganan anggota yang mengalami krisis internal. Apalagi, Piagam ASEAN resmi berlaku sejak 15 Desember 2008. Ketika itu, DPR RI yang mengesahkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN menyatakan bahwa piagam seyogianya dikaji ulang setiap lima tahun sekali.
Langkah berikutnya ialah memastikan setiap negara anggota ASEAN dan negara-negara mitra wicara memiliki pandangan yang sama mengenai Myanmar. ”Sekarang, beberapa anggota berjalan sendiri-sendiri. Negara mitra wicara juga ada mendekati Myanmar yang caranya kerap bertolak belakang dengan Lima Poin Konsensus ASEAN. Kalau demikian, mekanisme ASEAN tidak akan bisa dipercaya,” kata Dewi.
Langkah pertama bisa dilakukan dengan mengulas kembali Piagam ASEAN. Di dalam dokumen itu tidak ada klausul mengenai penanganan anggota yang mengalami krisis internal.
Dalam Pertemuan Ke-50 Menteri Luar Negeri ASEAN di Phnom Penh, Kamboja, pada Agustus 2022, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen mengatakan agar ASEAN jangan tersandera isu Myanmar. Dewi berpendapat, ASEAN sudah tersandera oleh isu Myanmar sejak ASEAN melindungi dan menutup-nutupi krisis di Myanmar dari kritik para mitra wicara.
Sejatinya, prinsip tidak berpihak dan tidak ikut campur urusan internal negara anggota tetap berarti ASEAN tidak tinggal diam menghadapi kasus pelanggaran hak asasi manusia di wilayah mana pun.
”Piagam ASEAN bagaimanapun dibuat oleh gerakan masyarakat sipil dan ini harus didorong kembali agar tidak membiarkan adanya krisis kemanusiaan di dalam salah satu anggota,” ucapnya.
AP/NATIONAL TELEVISION OF CAMBODIA/AN KHOUN SAMAUN
Perdana Menteri Kamboja Hun Sen (kanan) berjabat tangan dengan Kepala Dewan Pemerintahan Negara (SAC) Jenderal Senior Min Aung Hlaing dalam pertemuan di Naypyidaw, Myanmar, 7 Januari 2022.
Kekompakan membahas isu Myanmar ini, lanjut Dewi, juga ikut diturunkan dalam menangani krisis pengungsi Rohingya. Indonesia menginisiasi Bali Process yang melibatkan negara asal, negara transit, dan negara tujuan para pengungsi Rohingya. Latar belakangnya ialah tragedi tewasnya ratusan pengungsi di laut ketika melarikan diri dari Myanmar. Akan tetapi, Bali Process tidak terdengar lagi gaungnya.
Kepala Departemen Luar Negeri Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Lina Alexandra menerangkan, Indonesia bisa mengajukan gagasan utusan khusus yang profesional untuk isu Myanmar. Klausul utusan khusus profesional dan jangka panjang ini memang tidak ada di dalam Piagam ASEAN ataupun Lima Poin Konsensus karena utusan khusus untuk topik apa pun bekerja di bawah ketua ASEAN sehingga masa jabatannya hanya satu tahun.
”Myanmar ini masalah luar biasa yang tidak bisa disamakan dengan persoalan sebelumnya. Indonesia bisa membawa ASEAN mencapai konsensus agar utusan khusus untuk isu Myanmar bisa berjangka panjang. Pada saat yang sama, buat juga petunjuk teknis kinerja utusan khusus dan penerapan Lima Poin Konsensus sehingga bisa diukur per periode tertentu,” papar Lina.
Ia menuturkan agar Indonesia memaksimalkan semua wahana yang dimiliki ASEAN. KTT Asia Timur (East Asian Summit) bisa dimanfaatkan untuk menjaga kekompakan semua anggota dan mitra wicara guna mengedepankan tugas utusan khusus dan penerapan Lima Poin Konsensus secara nyata.
”Masalah Myanmar tidak akan selesai dengan cepat. Fokus Indonesia bisa membangun berbagai jalan dan jembatan yang memfasilitasi proses pencarian solusi jangka panjang, termasuk membangun rembuk nasional untuk semua pihak di Myanmar. Ini target yang lebih masuk akal,” tutur Lina.
Sejauh ini, perwakilan Myanmar diskors dari mengikuti berbagai kegiatan ASEAN. Ultimatum agar Myanmar segera menerapkan Lima Poin Konsensus diacuhkan oleh junta militer. Oleh sebab itu, ASEAN hendaknya mengganti pendekatan agar jangan sekadar menyuruh atau mengimbau junta, tetapi juga membangun kanal-kanal dialog berkelanjutan.