Melihat China dari Perspektif Dua Bangsa
Komite Nasional AS untuk Hubungan AS-China bertukar pandangan dengan para pengamat isu China di Indonesia. Ada sejarah, dinamika, dan kompleksitas masing-masing terkait China.
China merupakan pemain penting dalam geopolitik dunia. Akan tetapi, setiap negara memiliki sudut pandang tersendiri dalam hubungan bilateral maupun regional dengan China. Kali ini, para pakar dari Indonesia dan Amerika Serikat berdiskusi untuk saling memahami sudut pandang masing-masing bahwa perbedaan pandangan ini tidak selamanya buruk ataupun kontraproduktif.
Lembaga kajian politik dan ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) kedatangan tamu dari Komite Nasional AS untuk Hubungan AS-China pada Rabu (11/1/2023). Rombongan ini beranggotakan 14 orang yang mempelajari isu-isu China, mulai dari ekonomi, pertahanan dan keamanan, politik, serta sosial.
Baca juga : Dampak Ganda Pembukaan Ekonomi China bagi Pasar Global
Dalam acara perkenalan dijelaskan bahwa komite ini telah ada sejak tahun 1966 dan mengampu dialog konstruktif mengenai hubungan AS-China. Mereka juga rutin mengunjungi China, Hong Kong, dan Taiwan. Selain ke Indonesia, rombongan ini juga berkunjung ke Vietnam.
”Kami menyadari dengan globalisasi, ada beragam sudut pandang mengenai China. Oleh sebab itu, komite ini ingin mengetahui perspektif mengenai China, masyarakat China, dan hubungan bilateral antara suatu negara dengan China dari kacamata negara tersebut,” kata Spencer Cohen, pengamat ekonomi China, yang menjadi ketua rombongan komite itu.
Diskusi berlangsung dengan cair. Pihak AS, CSIS, dan pakar-pakar isu China di Indonesia yang diwakili oleh peneliti Hubungan Internasional Universitas Indonesia Ardhitya Yeremia Lalisang dan peneliti independen Klaus Radityo saling mengajukan pertanyaan. Dari pihak AS, pertanyaan kental dengan pandangan China di mata AS.
Baca juga : AS Dekati Jepang dan Belanda untuk Jegal Industri Cip China
Salah satunya ialah apakah komunitas Tionghoa di Indonesia berperan besar dalam membangun hubungan bilateral antara Indonesia dan China. Hal ini karena di AS, komunitas Tionghoa-Amerika memiliki andil sangat besar dalam upaya tersebut.
Terdapat pula pertanyaan mengenai investasi China di Indonesia. Proyek Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI) yang paling menarik perhatian AS adalah pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. Mereka penasaran, apakah ketika meneken proyek ini Indonesia berkaca dari pengalaman Pakistan saat menerima investasi serupa dari China.
Yeremia menjelaskan, sejarah komunitas Tionghoa-Indonesia yang beragam, tergantung dari abad interaksi dan kedatangan mereka ke Nusantara. Faktor terpenting ialah ketika hubungan Jakarta-Beijing dibekukan oleh Presiden Soeharto selama Orde Baru, tetap ada sekelompok kecil pengusaha yang masih menjalin hubungan bisnis dengan China. Sekarang, hubungan bisnis kedua negara erat. Bahkan, di Shanghai terdapat komunitas pengusaha Indonesia.
”Harus dimengerti bahwa hubungan Indonesia-China ini melampaui masyarakat Tionghoa-Indonesia karena lapisan hubungannya banyak serta beragam. Secara historis, penampakan nyata hubungan kedua bangsa ini ada di aspek tradisional dan sosial yang dinikmati dan diterapkan oleh masyarakat Indonesia secara umum,” kata Yeremia.
Ketika hubungan Jakarta-Beijing dibekukan oleh Presiden Soeharto selama Orde Baru, tetap ada sekelompok kecil pengusaha yang masih menjalin hubungan bisnis dengan China. Sekarang, hubungan bisnis kedua negara erat.
Sementara itu, Klaus Radityo memaparkan bahwa di komunitas Tionghoa-Indonesia sendiri pandangan terhadap China beragam. Serupa dengan ucapan Yeremia, ia mengatakan, nostalgia dan patriotisme terhadap China mungkin masih kentara di generasi tua. Akan tetapi, di generasi muda keturunan Tionghoa di Nusantara, mereka telah menyatu sebagai bangsa Indonesia.
Hal ini bisa dilihat dari minat mempelajari bahasa Mandarin yang menjangkau tidak hanya orang-orang keturunan Tionghoa. Di kalangan masyarakat Tionghoa-Indonesia, alasan belajar bahasa Mandarin juga praktis, yaitu untuk tujuan bisnis dan ekonomi.
Baca juga : Tiktok Kian Luas Dicekal di Kantor Pemerintah AS
Direktur CSIS Yose Rizal Damuri turut menjelaskan, masyarakat Tionghoa-Indonesia ada yang telah tinggal di Nusantara selama tujuh generasi. Berbeda dengan AS ataupun negara-negara Barat, Indonesia tidak mengalami gelombang imigrasi masyarakat China di zaman modern. Warga negara China di Indonesia saat ini adalah ekspatriat dan pekerja migran yang terikat kontrak perusahaan.
Dari pihak Indonesia, ada kompleksitas dinamika masyarakat Tionghoa di Indonesia karena kasus-kasus diskriminasi masih terjadi hingga kini. Peneliti CSIS Andrew Mantong menjabarkan, hal itu bermula pada zaman penjajahan Belanda yang menetapkan tiga golongan masyarakat, yaitu orang kulit putih, timur asing, dan pribumi dengan perlakuan serta akses terhadap kekayaan yang berbeda-beda di setiap golongan.
Modal dan kekuasaan diasosiasikan dengan pihak asing. Golongan timur asing, yang terdiri dari para pendatang dari sejumlah negara di Asia, pada masa penjajahan Belanda tidak diperlakukan sebagai warga Nusantara, walaupun banyak dari mereka telah menjadikan Nusantara sebagai kampung halaman.
”Sejarah segregasi ini masih terpatri di ingatan kolektif bangsa Indonesia sehingga proses mengenali dan menyelesaikan persoalan kebangsaan ini masih berjalan,” tutur Andrew.
Baca juga : Perang AS-China Hampir Mustahil
Sentimen negatif terkait China di Indonesia ialah kedatangan pekerja dari negara tersebut di dalam berbagai proyek investasi. Masyarakat mempermasalahkan, pekerja yang datang itu adalah kerah biru atau buruh yang pekerjaannya dianggap bisa dilakukan oleh pekerja lokal Indonesia.
Sentimen negatif terkait China di Indonesia ialah kedatangan pekerja dari negara tersebut di dalam berbagai proyek investasi.
Yeremia menjelaskan, ada ketertutupan pemerintah Indonesia maupun China mengenai kontrak kerja tersebut. Dalam proyek kereta api cepat memang ada aturan bahwa untuk setiap pekerja dari China harus ada empat pekerja Indonesia. Namun, penerapan aturan maupun undang-undang ketenagakerjaan yang mengikat kedua negara itu tidak dilakukan secara transparan. Contohnya ialah proyek pertambangan nikel di Morowali, Sulawesi Tengah.
Baca juga : China Semakin Berani pada AS dan Sekutunya
”Seperti apa penerapan perlindungan ketenagakerjaan dan pembagian kerjanya tidak ada yang tahu karena pemerintah daerah sendiri sukar masuk ke area proyek,” tutur Yeremia.
Waspada
Dari pihak AS, mereka menerangkan kompleksitas relasi Washington-Beijing. Dari segi perdagangan selalu dipandang positif, walaupun dimulai dari akhir tahun 1980-an ada permasalahan ketika pabrik-pabrik di AS berpindah ke negara-negara berkembang, antara lain, ke China dan Meksiko. Kala itu muncul sentimen bahwa negara-negara itu ”merebut” pekerjaan rakyat AS.
Baca juga: Perjuangan China Mengubah Milisi Infrantri Menjadi Pasukan Gugus Tempur Luar Negeri
Selain itu, juga ada harapan bahwa bergabungnya China ke dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) membawa perkembangan positif yang memungkinkan perusahaan-perusahaan AS masuk China. Kenyataannya, justru Pemerintah China mewajibkan perusahaan asing untuk menyetor data ke mereka. Akibatnya, sejumlah perusahaan AS justru meninggalkan China karena tidak mau data mereka diambil.
”Perubahan terbesar adalah sekarang perdagangan dan ekonomi beririsan dengan pertahanan dan keamanan nasional. Ini yang membuat Pemerintah AS semakin waspada dan ingin menurunkan ketergantungan terhadap China,” kata Cohen.
Baca juga : Dubes Lu Kang: Visi Pembangunan China 2035 untuk Kerja Sama Tanpa Syarat dan Inklusif
Menurut dia, perdagangan sekarang disetir oleh kepentingan keamanan AS. Di kongres kini telah dibentuk satu komisi khusus yang memantau perkembangan investasi China, mulai dari aliran modal hingga informasi yang berputar di dalam proyek itu.
Beberapa contoh ialah kasus Huawei yang melanggar sanksi ekonomi AS atas Iran dan China. Juga ada perang dagang dan teknologi yang membuat AS ingin menjegal China dalam industri cip serta pembuatan semikonduktor. AS mengajak Korea Selatan dan Taiwan sebagai pengembang cip supercanggih agar membuka pabrik di AS.
Baca juga: Arab-China dan Keseimbangan Baru
JD Kristenson, Komandan Angkatan Laut AS, menambahkan, isu teknologi ini dipantau ketat karena China tidak pernah terbuka dengan capaian teknologi mereka maupun peruntukannya. Apalagi, sejarah kolektif AS memercayai tidak ada kekuatan baru di dunia yang ingin mengambil kekuasaan dari pemain lama secara damai.
”Teknologi elektromagnetik dan hipersonik sangat penting bagi militer global. Akan tetapi, kegunaan di setiap militer harus dibuka secara transparan agar tidak menimbulkan kecurigaan,” ujar Kristenson.