Jika perang fisik terjadi antara Amerika Serikat dan China, tak ada pihak yang menang dalam perang itu. Biayanya pun sangat mahal.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
AFP/SAUL LOEB
Presiden Amerika Serikat Joe Biden (kanan) dan Presiden China Xi Jinping berjabat tangan saat bertemu di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Nusa Dua, Bali, 14 November 2022.
Perang fisik antara Amerika Serikat dan China hampir mustahil. Lebih banyak manfaat kerja sama ketimbang perang. AS dan China terpadu tentang manfaat kerja sama ini.
Ibarat efek pemberitaan, hal buruk tertancap ketimbang banyaknya kebaikan. Inilah satu sisi relasi Amerika Serikat (AS)-China, berita buruk lebih menonjol dan beredar luas ketimbang kebaikan.
Sejatinya banyak hambatan menuju perang. Max Bessler, peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS), Washington, 16 November 2022, menuliskan simulasi dari dialektika. Dia tuliskan, di tengah perseteruan AS-China, pada bagian terluar ada realitas penting geoekonomi. Ekonomi menolak perang fisik. ”Ini lebih populer bagi kalangan politisi pasifis dan korporasi transnasional AS,” demikian Bessler.
MASS COMMUNICATION SPECIALIST 1S
Kapal perang Amerika Serikat, Chung-Hoon, transit di Samudra Pasifik, 11 Agustus 2020. Kapal perang Chung-Hoon melintas di Selat Taiwan pada 5 Januari 2023 sehingga meningkatkan ketegangan di selat itu.
Bagaimana jika kaum separatis AS bercokol? Kesimpulan Bessler, ”Tidak akan ada aliran baik dalam relasi AS.” Ini mirip kesimpulan CSIS dari divisi relasi internasional dan pakar pertahanan. Divisi ini mencoba menjawab pertanyaan, ”Jika ada perang fisik, apakah akan sukses dan berbiaya berapa?”
Jawabannya, tiada yang menang dan biayanya sangat mahal. ”AS dan Jepang akan kehilangan puluhan kapal perang, ratusan pesawat tempur, ribuan pasukan. Kehilangan itu mengacaukan posisi AS bertahun-tahun,” demikian CSIS. ”China juga akan menderita luar biasa. Angkatan Laut-nya akan berantakan,” lanjut laporan CSIS (CNN, 9 Januari 2023).
Potensi perang fisik ini bagi China amat jelas. Hanya terjadi jika Taiwan memerdekakan diri dan didukung AS. Sejak era Jenderal Douglas MacArthur, yang ingin merebut ”armada tak tertenggelamkan” merujuk Taiwan, China mendapatkan mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Presiden AS Harry S Truman memecat MacArhur untuk memupus impian soal Formosa (Taiwan).
Kehilangan itu mengacaukan posisi AS bertahun-tahun.
Putusan PBB dan Truman terjadi di era China dengan senjata ala kadarnya. Sekarang, potensi lain bisa terjadi. Belajar dari invasi AS di Irak yang mengandalkan senjata berbasiskan kecerdasan buatan, China mendalami persenjataan serupa. Jika pada dekade 1940-an China hanya mengandalkan basis pertahanan di China daratan, kini ada kekuatan blue water navy, dengan teori ”rantai pulau”. China bisa menyerang sebelum petempur AS dan Jepang merangsek.
Sejarawan Yale University, Paul Kennedy, pernah berkata, ”Jangan pergi ke sana, jaraknya jauh, medannya sulit.” Namun, China perlu memahami perangai AS, menurut pandangan The Australian National University (ANU), 26 Desember 2022, di situs East Asia Forum. Menurut ANU, bukan hal baru lagi tentang kesulitan AS dalam menghadapi pertarungan geopolitik dan bahaya yang melekat dengan itu.
Kekuatan masa lalu Pax Americana adalah realitas yang harus dikelola. Ada sisi baik sejarah China tentang jasa Presiden Richard Nixon. Pemeliharaan memori akan jasa baik perlu dipegang China. Tak heran China terus-menerus menekankan AS sebagai mitra strategis. China wajib mencoba meluluhkan AS yang hanya ingin tahu kehebatan masa lalu.