Perjuangan China Mengubah Milisi Infrantri Menjadi Pasukan Gugus Tempur Luar Negeri
Selepas mengerahkan dua kapal induk pada 1995-1996 ke Selat Taiwan, AS memang amat meremehkan China meski PLA punya 2,8 juta prajurit pada ujung abad 20. Kini, China dianggap ancaman serius AS dan sekutunya
China menetapkan 2049 sebagai tahun Kebangkitan Besar Bangsa. Semua sumber daya dan komponen negara diarahkan untuk mencapai target kala Republik Rakyat China genap berusia 100 tahun. Militer China, Tentara Pembebasan Rakyat, juga berperan penting dalam perwujudan visi itu. Bersama berbagai komponen lain di China, militer juga melakoni transformasi besar-besaran.
Presiden China sekaligus Ketua Komisi Militer Pusat (CMC) Xi Jinping ingin China menjadi qiang guo qiang jun atau negara kuat dengan tentara kuat pada 2049. Dalam periode 30 tahun sejak 2020, Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) harus mempercepat modernisasi menjadi militer yang diperkuat peralatan berbasis kecerdasan buat dan mampu beroperasi lintas matra.
PLA kini bisa disebut sudah mencapai qiang jun karena punya lebih dari sejuta prajurit, hampir 3.000 pesawat tempur dan helikopter serbu, 340 kapal perang dan kapal selam. PLA telah mengoperasikan dua kapal induk, menguji kapal induk ketiga, dan menanti kapal induk keempat.
Baca juga Di Bawah Xi, Militer China Makin Kuat dan Menakutkan
Kapal induk pertama China, Liaoning, dilaporkan berlatih 700 kilometer dari Guam, wilayah swatantra Amerika Serikat di Pasifik pada akhir Desember 2022. Selepas Lioaning, giliran Shandong, kapal induk kedua China, berlatih di Laut China Selatan pada awal Januari 2023. Di laut itu, China juga punya pangkalan yang disebut sebagai “kapal induk yang tidak mungkin tenggelam”.
Inti latihan sama : meningkatkan kemampuan operasi lintas matra di luar negeri. Latihan itu perwujudan lianhe zuozhan atau kemampuan operasi gabungan. Kemampuan itu menjadi salah satu pokok strategi pertahanan China yang dirumuskan pada 1993. Strategi 1993 dipandang sebagai pemicu perubahan drastis PLA.
Remeh
Perwujudan strategi itu membuat PLA tidak lagi diremehkan. Selepas mengerahkan dua kapal induk pada 1995-1996 ke Selat Taiwan, AS memang amat meremehkan China meski PLA punya 2,8 juta prajurit pada ujung abad 20.
Sebab, PLA kekurangan pengalaman perang. Mayoritas prajurit PLA tergabung dalam regu pasukan darat dengan peralatan berusia rata-rata di atas 20 tahun. Tidak hanya tua, PLA juga kekurangan peralatan.
Laporan intelijen AS soal kemampuan militer PLA pada 1999 sampai menyimpulkan China tidak sanggup menggerakkan hingga 80 persen prajurit PLA dari satu daerah ke daerah lain di China. Mantan Panglima Armada Pasifik AS Laksamana Dennis Blair sampai yakin AS-China tidak akan mungkin berperang sampai 2020. Blair menyatakan itu dalam rapat dengar pendapat di Kongres AS pada awal 1999.
Sampai Januari 2023, memang tidak ada perang langsung antara PLA dengan militer AS. Walakin, pendapat AS pada PLA masa kini sama sekali berbeda. Dari menganggap remeh, kini akademisi, intelijen, dan tentu saja militer AS menyimpulkan China sebagai ancaman paling serius.
Kumpulan Milisi
Mantan Presiden China sekaligus mantan Ketua CMC Jiang Zemin berperan besar dalam perubahan itu. Menjadi Ketua CMC pada November 1989, Jiang bersama para jenderal PLA memantau AS dan sekutunya menyerbu Irak. Operasi Badai Gurun membuat para jenderal PLA menyimpulkan strategi mereka harus dirombak total. PLA tidak bisa lagi meneruskan visi Mao Zedong hingga Deng Xiaoping, Ketua CMC 1936 hingga 1989.
Baca juga Kekuatan Militer China Berkembang Drastis dalam Satu Dekade
Selepas mengalahkan pasukan Kuomintang dalam perang saudara 1945-1949, milisi Partai Komunis China (PKC) perlahan-lahan berubah dari Tentara Merah menjadi PLA. Alih-alih militer profesional, Tentara Merah lebih tepat disebut milisi petani egaliter.
Bahkan, Tentara Merah tidak mengenal kepangkatan hingga pertengahan dekade 1950-an. Mayoritas anggotanya petani atau bekas petani. Orang-orang yang pemimpin regu adalah milisi yang paling lama berperang bersama Tentara Merah. Tentara Merah kala itu tidak jauh berbeda dari Badan Keamanan Rakyat, cikal bakal TNI.
Tentara Merah masih berusaha menata diri kala Perang Korea pecah pada 1950. Sambil menata diri, Tentara Merah bersama pasukan Uni Soviet (USSR) membantu pasukan Korea Utara. Bantuan terus diberikan sampai tercapai gencatan senjata pada 1953. Sampai sekarang, gencatan senjata itu masih berlaku sehingga secara teknis Korut masih berperang dengan Korea Selatan.
Perang Korea membuat Mao dan para pimpinan Tentara Merah sadar musuh dari luar masih ada. Dalam rapat CMC pada Maret 1956, Mao merumuskan strategi pertahanan nasional China. Nama resminya : Panduan Strategis Mempertahankan Tanah Air.
Lewat strategi itu, untuk pertama kalinya Beijing menganggap Washington sebagai sumber ancaman. Beijing mempertimbangkan potensi AS mengirimkan pasukan ke China seperti dilakukan AS terhadap Korut.
Beijing juga mempertimbangkan kemungkinan AS memakai nuklir untuk menyerang China. AS sudah melakukan itu pada Jepang di perang dunia II. Strategi 1956 memang tidak lepas dari pengamatan dan pengalaman perang dunia II dan perang Korea.
Perombakan Pertama
Strategi 1956 juga menjadi dasar perombakan pertama militer China. Dari Tentara Merah, militer China perlahan menjadi PLA. Transformasi dimulai dengan penerbitan hecheng jundui zhandou tiaoling gaize atau Aturan Perang Umum untuk Pasukan Gabungan yang diterbitkan pada 1958. Tidak melupakan akarnya sebagai regu infrantri, turunan pertama aturan itu adalah bubing zhandou tiaoling atau Aturan Perang Infantri.
Baca juga China Kian Gencar, AS Lewat Pintu Samping
Menyadari potensi serbuan musuh dari laut, CMC menekankan pentingya jin’an fangyu atau pertahanan pesisir. Maka, angkatan laut mulai dibentuk dengan fokus awal menangkal pendaratan pasukan lawan dari laut.
Pada 1958 pula, RRC menunjuk Yuanshuai Ye Jianjing menjadi gubernur pertama Akademi Ilmu Militer. Ye ditugasi membangun sistem pendidikan untuk perwira. Ye merupakan salah satu dari 10 Marsekal Agung Perang Revolusi.
Setelah dua tahun panduan dijalankan, CMC mengesahkan zuzhi bianzhi jihua atau Rencana Pengembangan Delapan Tahun. Lewat rencana itu, PLA menyiapkan penataan organisasi dan peningkatan peralatan sampai 1968.
Untuk menerapkan rencana itu, Perdana Menteri pertama China Zhou Enlai menekankan zhengjun beizhan atau fokus ke reorganisasi dan kesiapan tempur pada di 1962. Ia menerjemahkan zhengjun beizhan dalam si qing si zhong. Inti prinsip itu adalah reposisi persenjataan dan pasukan PLA agar disesuaikan dengan perkembangan musuh di luar.
Bagi Zhou, keadaan di luar China digambarkan dengan istilah kuojun beizhan. Istilah yang mulai digaungkan pada Februari 1962 itu menggambarkan peningkatan kekuatan militer negara lain di sekitar China . Zhou memandang, penguatan itu menjadi ancaman serius bagi China.
Perintah mobilisasi di Taiwan dan perbatasan India-China, hingga penambahan pasukan AS di Vietnam adalah dasar Zhou mengemukakan istilah itu. Perintah mobilisasi di India berujung perang China-India pada akhir 1962.
Beijing pun merasa ditusuk dari belakang karena USSR menerima pelarian 60.000 penduduk Xinjiang pada Mei 1962. Dari USSR, pelarian itu melancarkan proganda anti-Bejing dari sana. China marah karena pelarian itu malah diberi dokumen kependudukan oleh USSR.
Baca juga Sengketa Perbatasan China-India Kembali Memanas
Mao memandang, musuh di luar sudah terlalu banyak. Terinspirasi oleh kemenangan sejak perang dunia II, Mao yakin musuh justru bisa ditaklukkan jika perang terjadi di dalam China. Karena itu, pada 1964, dikenalkan strategi Memancing Musuh Ke Dalam. Strategi itu diturunkan dalam trio taktik dada, kuaida, da yuanzidan atau perang semesta, serbuan kilat, dan perang nuklir.
Lompatan
Dalam hampir 1,5 dekade setelah strategi 1964 dirumuskan, China harus berhadapan dengan AS dan USSR sekaligus. China gelisah dengan peningkatan kehadiran pasukan USSRdi Mongolia sejak 1966. Pada 1969, salah satu regu patroli China melancarkan turan xiji atau serangan dadakan pada pasukan USSR di Pulau Damansky.
Beijing mengamati dengan cemas serbuan Moskwa ke Afghanistan pada 1979. Sebelum itu, Beijing juga memantau perang Yom Kippur 1973 yang jadi ajang terbesar adu senjata AS dengan USSR selepas perang Korea.
Di dalam negeri, peralihan dari Mao ke Deng juga berdampak pada rantai komando PLA. Ketua CMC 1976-1918, Hua Guofeng, bersama para jenderal PLA menyepakati strategi baru pada 1980. Strategi itu disebut Pertahanan Aktif.
Masih mempertimbangkan USSR sebagai ancaman, strategi 1980 masih tetap bervisi di dalam negeri. Sebab, hingga tiga kali menerbitkan strategi pertahanan nasional, CMC dan PLA menyadari China belum mampu menyerang negara lain. PLA masih berorientasi pada perang di dalam negeri.
Pandangan berbeda mulai dilontarkan kala Jiang menjadi Ketua CMC mulai 1989. Jiang memulai jabatan itu dengan diremehkan di dalam dan luar negeri. Ia disebut bisa menduduki jabatan itu karena licin berpolitik. Berbeda dengan Mao, Hua, dan Deng, Jiang memang tidak punya pengalaman perang.
Baca juga China Tegaskan Komitmen Satukan Taiwan, Opsi Militer Sangat Terbuka
Ternyata, Jiang malah membuat lompatan. CMC di masa kepemimpinan Jiang mengadopsi visi perang yang melibatkan PLA tidak harus terjadi di dalam negeri. PLA harus mampu melumpuhkan musuh jauh di luar China. Dengan kata lain, PLA harus bisa berperang di luar negeri.
PLA juga harus menguasai teknologi tinggi. Dirumuskan pada Desember 1992, CMC mengesahkan strategi itu pada 1993. Lewat pidato pada 1993, Jiang merumuskan salah satu penggunaan strategi itu : menyerbu Taiwan. Serbuan itu disebut sebagai upaya mencegah pasukan Taiwan mencoba memerdekakan diri dari Taiwan. Bagi China, sampai sekarang Taiwan dianggap sebagai provinsi yang berusaha memisahkan diri.
Sampai sekarang, serbuan ke Taiwan memang tidak terjadi. Strategi itu malah berwujud dalam operasi angkatan laut China di Teluk Aden pada 2008. Sejak itu, China terus mengejutkan berbagai pihak.
AS terkejut saat China memamerkan senjata hipersonik. Kini, tidak ada sistem pertahanan udara apa pun bisa menangkal persenjataan hipersonik. Sebab, pertahanan udara masa kini dirancang mengikuti hukum balistik. Sementara senjata hipersonik tidak mengikuti hukum itu. Selain China, persenjataan hipersonik kini dimiliki Rusia.
AS juga terkejut oleh berbagai China uji senjata China. AS dan sekutunya cemas karena China menerapkan strategi dwifungsi : mengembangkan aneka kemampuan di dalam negeri untuk kebutuhan sipil sekaligus militer.
Pelan-pelan selama puluhan tahun, China mengubah militernya dari kumpulan milisi dalam regu infantri ringan menjadi pasukan yang menguasai teknologi tinggi dan mampu beroperasi di luar negeri. Meski sudah maju, sebagian pihak masih ragu PLA akan mewujudkan visi Jiang soal serbuan ke Taiwan.
Serangan ke Taiwan tidak hanya merugikan China secara militer. ”Perdagangan internasional China akan terganggu. China sangat mengandalkan ekspor-impor untuk menjaga perekonomiannya. Gangguan pada ekspor-impor bisa melumpuhkan perekonomian China,” ujar peneliti pada Project on Government Oversight (POGO), Dan Grazier. (AFP/REUTERS)