PPTM Dipandang Kurang Membahas Kebijakan dan Langkah Strategis Nyata
Belum banyak perubahan pendekatan politik luar negeri Indonesia selama sembilan tahun terakhir. Kebijakan mayoritas bersifat reaktif terhadap fenomena global.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Para pengamat hubungan internasional dan politik luar negeri Indonesia menilai Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri atau PPTM kurang menggali permasalahan. Bahkan, ada beberapa isu penting yang sangat berpengaruh di Indonesia maupun kawasan Asia Tenggara tidak disinggung. Pola ini menunjukkan bahwa kebijakan politik luar negeri masih bersikap reaktif dari situasi internal dan eksternal, bukan berbasis membangun sistem dan iklim yang strategis.
Kritik disampaikan oleh tim peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta pada hari Kamis (11/1/2023). Mereka melihat, di PPTM tahun 2023 yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, pandemi Covid-19 saat ini tidak lagi menjadi tantangan. Ini adalah salah satu pertanda yang baik.
Di sisi lain, terdapat empat prioritas diplomasi Indonesia, pertama yaitu kedaulatan di perbatasan darat dan laut. Ini adalah menentukan batas geografis dengan Malaysia, Filipina, Timor Leste, dan Palau. Kedua adalah memperkuat perlindungan warga negara Indonesia yang berada di luar negeri. Aspek ketiga adalah mengelola perekonomian yang terdampak resesi global tahun 2024. Adapun priorotas keempat mengenai keaktifan Indonesia di dalam pewujudan perdamaian global yang antara lain di Ukraina, Afghanistan, dan Palestina.
“Namun, tidak ada pemberitahuan mengenai kebijakan strategis Indonesia, misalnya saja dalam menghadapi resesi ekonomi. Seperti apa peta jalannya?” kata Wakil Direktur CSIS Shafiah Muhibat.
Ia menyayangkan ketiadaan isu Laut China Selatan, Korea Utara, Selat Taiwan, dan persaingan geopolitik antara Amerika Serikat dengan China di dalam PPTM. Padahal, ini adalah isu-isu strategis di kawasan yang apabila tidak dikelola dengan baik memiliki dampak merugikan untuk Indonesia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damanik mempertanyakan penindaklanjutan berbagai kesepakatan dan perjanjian yang diperoleh pada Konferensi Tingkat Tinggi G20. Indonesia mengantongi banyak perjanjian kerja sama, termasuk pembahasan perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa yang diskusinya memakan waktu enam tahun.
“Jangan sampai hitungan prestasi kita adalah mengoleksi berbagai perjanjian, tetapi tidak ada aksi nyata penerapannya. Sejauh ini, belum tampak pembangunan infrastruktur maupun sistem untuk mewujudkan perjanjian-perjanjian kerja sama itu,” tuturnya.
Dari sisi keketuaan Indonesia untuk Himpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Kepala Departemen Luar Negeri CSIS Lina Alexandra menggarisbawahi pentingnya Indonesia mendorong penguatan kelembagaan dan kapasitas organisasi tersebut. Revisi Piagam ASEAN seyogianya menjadi agenda prioritas.
Terlepas dari prinsip utama ASEAN yang tidak ikut campur urusan dalam negeri para anggota, harus ada mekanisme yang ditorehkan di dalam piagam mengenai langkah ASEAN apabila ada anggota yang melanggar Piagam. Selain itu, juga harus ada mekanisme terkait penanganan krisis internal anggotanya. Selama ini, mekanisme di Piagam ASEAN baru mengenai krisis antarnegara anggota. Revisi ini penting untuk penanganan krisis politik di Myanmar yang telah berlangsung sejak bulan Februari 2021.
Apresiasi
Meskipun demikian, para pengamat menyampaikan apresiasi atas sejumlah materi yang disampaikan dalam PPTM 2023. Beberapa hal yang menjadi catatan positif diantaranya adalah keinginan Indonesia untuk semakin aktif terlibat dalam diplomasi perdamaian dunia. Awalnya, hal ini dikritik karena kunjungan Presiden Joko Widodo ke Ukraina dan Rusia pada tahun 2022 tidak murni untuk menjembatani dialog damai kedua negara yang berkonflik. Kritiknya ialah kunjungan ini demi memastikan KTT G20 berjalan lancar dan agendanya tercapai sehingga Indonesia tampak tidak terlalu memikirkan kepentingan dan kesejahteraan global secara komprehensif.
Akan tetapi publik melihat, pemerintah menindaklanjuti secara positif kunjungan itu dengan membuat komitmen penjagaan perdamaian dunia. Menurut para pengamat, langkah ini harus dipastikan bisa dikelola dengan baik karena Indonesia sejatinya memiliki banyak potensi. Memang, dari segi pengalaman Indonesia mungkin kurang dibandingkan dengan negara-negara Barat yang terlibat di berbagai perundingan damai di luar kawasan mereka. Akan tetapi, Indonesia menunjukkan kemampuan untuk naik ke level yang sama jika kemampuan ini terus diasah.
Hal lain yang juga menjadi sorotan positif adalah keinginan Indonesia untuk mengikuti pencalonan anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hendaknya ini diimbangi dengan pemanfaatan potensi Indonesia agar bisa menempati posisi-posisi kunci dalam berbagai misi perdamaian PBB.
Terduga
Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan Aleksius Jemadu ketika diwawancara pekan lalu telah memperkirakan bahwa rencana politik luar negeri 2023 akan tetap bersikap reaktif terhadap isu eksternal dan internal. Ia mendasari kesimpulan itu dari pola politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo sejak 2014.
“Politik luar negeri Indonesia pragmatis, bahkan cenderung transaksional. Kebijakannya untuk mendatangkan investasi dan membangun perekonomian dalam negeri. Tidak ada kebijakan untuk membangun reputasi dan pengaruh Indonesia di tataran global,” ujarnya.
Aleksius menerangkan, kebijakan yang strategis dan komprehensif di dalam politik luar negeri Indonesia ini memungkinkan kerja sama strategis menjadi substantif. Investasi dan pembangunan tidak sekadar proyek infrastruktur fisik, tetapi juga membawa Indonesia ke organisasi-organisasi global dengan pengaruh besar yang memungkinkan Indonesia menjadi pemain kelas dunia yang dipercaya. Bukan sebatas obyek investasi dan pasar.