Menatap Cermin Sejarah Politik Luar Negeri Indonesia
Indonesia sejak berdiri selalu bisa mengarungi politik luar negeri dan dalam negeri bersamaan. Bahkan, beberapa kebijakan luar negeri Indonesia yang sangat berpengaruh lahir ketika situasi domestik penuh tantangan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·6 menit baca
Indonesia resmi memegang keketuaan Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN tahun 2023. Berkaca dari keketuaan Indonesia untuk G20 pada 2022 dan sikap politik luar negeri selama dua masa jabatan Presiden Joko Widodo, patut dipandang secara skeptis kemampuan Indonesia untuk mengembangkan agenda internasional yang strategis dan berjangka panjang. Bukan sebatas agenda pragmatis dan transaksional demi menarik investor dan pembangunan infrastruktur.
Kepemimpinan Presiden Jokowi sejak masa jabatan pertama telah menekankan prioritas pembangunan di dalam negeri. Akibatnya, berbagai pihak menilai bahwa politik luar negeri Indonesia dinomorduakan selama setidaknya delapan tahun belakangan. Perang Rusia-Ukraina mengubah dinamika global secara drastis, termasuk di Indonesia dan kebetulan terjadi di awal keketuaan G20 Indonesia.
Agenda yang awalnya bersifat business as usual menjadi lebih sarat dengan unsur politik. Pada bulan-bulan pertama invasi Rusia ke Ukraina, Indonesia masih berusaha memisahkan G20 dari konteks politik dengan alasan bahwa ini forum khusus ekonomi. Namun, pada kenyataannya, ekonomi dalam negeri dan perekonomian global sangat dipengaruhi kondisi geopolitik.
Indonesia baru tampak seolah tersadar ketika negara-negara anggota G7 yang merupakan tujuh negara terkaya di dunia mengancam tidak akan datang ke KTT G20 di Nusa Dua yang dijadwalkan pada November 2022 apabila Indonesia tidak mendepak Rusia dari keanggotaan G20. Barulah kemudian Presiden Jokowi melawat ke Ukraina dan Rusia untuk membawa pesan perdamaian serta mengundang Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy sebagai tamu di KTT G20.
Meskipun demikian, langkah ini belum bisa menjadi contoh kebijakan luar negeri Indonesia yang strategis. ”Polanya masih sama dengan sembilan tahun yang lalu, yaitu kebijakan politik luar negeri Indonesia selalu bersifat reaksional terhadap situasi eksternal. Tidak ada rencana yang sistematis dan strategis,” kata Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan Aleksius Jemadu di Jakarta, Jumat (6/1/2023).
Di satu sisi, Aleksius memahami bahwa Presiden Jokowi ingin membangun infrastruktur negara. Namun, pandangan yang hanya melihat ke dalam negeri ini sesungguhnya kontraproduktif dengan pembangunan bangsa secara keseluruhan. Indonesia merupakan negara terbesar dari segi wilayah dan penduduk di Asia Tenggara, juga secara de facto pemimpin ASEAN. Potensi dan kompetensi ini tidak dimanfaatkan secara maksimal.
”Kenyataannya, pandangan ASEAN ditentukan oleh sikap Indonesia, terlepas sedang menjabat sebagai ketua ataupun tidak. Jika ASEAN tidak solid, kawasan Asia Tenggara akan mudah disusupi agenda negara-negara besar. Kinerja ASEAN lekat dengan penerapan nyata Indonesia soal pandangan terhadap Indo-Pasifik,” katanya.
Ketegasan Indonesia diperlukan dalam menangani isu-isu penting di kawasan. Saat ini, isu besarnya ialah krisis politik di Myanmar, pengungsi Rohingya, dan Laut China Selatan. Semua ini bisa meningkatkan kekuatan dan reputasi Indonesia di kawasan maupun global jika Indonesia bisa menguatkan ASEAN secara kelembagaan serta pengaruh. Jika tidak, Indonesia hanya dianggap sebagai obyek dan pasar oleh negara-negara besar.
Prinsip Indonesia sebagai negara nonblok juga berarti memiliki karakter sebagai pembangun dialog damai serta tetap tegas dalam berhadapan dengan situasi konflik. Misalnya untuk isu Myanmar, hanya Indonesia yang memiliki kekuatan untuk menekan junta agar menerapkan Lima Poin Konsensus ASEAN sekaligus mendekati kelompok-kelompok oposisi.
”Kalau bukan Indonesia yang memperjuangkan, di ASEAN hal ini akan lewat begitu saja dan krisis politik tidak tertangani. ASEAN akan terus tersandera isu Myanmar karena negara-negara mitra wicara menganggap ASEAN gagal mengelola rumah tangga sendiri,” tutur Aleksius.
Reputasi Indonesia sebagai negara menengah yang berperan konstruktif ini akan menarik kerja sama yang lebih substantif dari negara-negara maju. Sebab, apabila pendekatan kebijakan luar negeri berat ke agenda materiil, seperti investasi, aspek ini akan menjadi rebutan negara maju untuk menyusupkan pengaruh politik mereka melalui penanaman modal.
Menteri Luar Negeri Indonesia 2009-2014, Marty Natalegawa, menjelaskan, politik luar negeri dan dalam negeri bukan dua dimensi terpisah, melainkan saling terkait. Seapatis apa pun Indonesia terhadap isu luar negeri, pengaruh krisis global tetap berdampak ke Tanah Air.
Misalnya, kenaikan harga bahan bakar akibat krisis energi dan kenaikan harga pangan. Keduanya disebabkan oleh perang Rusia-Ukraina. Apalagi, sekarang semakin banyak isu global yang berpengaruh langsung pada kondisi dalam negeri, misalnya krisis iklim dan pandemi Covid-19. Belum lagi persaingan ekonomi dan politik Amerika Serikat dengan China yang turut merembes ke berbagai penjuru dunia.
”Di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan Indonesia turut mengamankan perdamaian dunia, perikemanusiaan, dan perikeadilan. Sejak awal, cita-cita luhur bangsa Indonesia tidak lepas dari dinamika politik global. Tidak satu pun negara di dunia ini yang mengharapkan Indonesia hanya fokus ke satu bidang,” ujar Marty.
Ia menjelaskan, Indonesia sejak berdiri selalu bisa mengerjakan berbagai fungsi sekaligus. Sejarah menunjukkan, Indonesia selalu pandai menganyam politik luar negeri yang strategis dan berdampak panjang sambil pada saat yang sama menyelesaikan berbagai persoalan di dalam negeri. Bahkan, beberapa kebijakan luar negeri Indonesia yang sangat berpengaruh pada dunia lahir ketika situasi dalam negeri penuh tantangan.
Sebut saja Konferensi Asia-Afrika yang melahirkan gerakan nonblok pada 1955 ketika Indonesia menghadapi resesi ekonomi. Demikian pula ketika krisis moneter 1998, pemerintah sangat memahami untuk memastikan kondisi global bersahabat dengan Indonesia sehingga penanganan masalah dalam negeri relatif tanpa hambatan.
Di ASEAN, Indonesia selalu terbukti menjadi bank ide. Sebut saja Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama Asia Tenggara (TAC) 1976; Jakarta Informal Meeting yang menyelesaikan perang Kamboja-Vietnam; penanganan konflik di Moro, Filipina pada 2000; serta Bali Concord III mengenai pelucutan senjata pemusnah masal dan penanganan krisis iklim, lahir dari buah pikiran Indonesia.
”Sejak tahun 2003, Indonesia sudah menerapkan pandangan berskala Indo-Pasifik. Makanya India, Selandia Baru, AS, dan Rusia turut dimasukkan ke dalam KTT Asia Timur-ASEAN. Sejak tahun 2013 pula lensa Indonesia telah membidik perlunya wadah kerja sama ekonomi komprehensif yang kemudian melahirkan RCEP (Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional),” ujar Marty.
Hasil dari kebijakan-kebijakan ini baru terlihat 10-20 tahun kemudian karena ini adalah investasi tidak kasatmata. Berkat kebijakan tersebut, reputasi Indonesia dihormati dan ini yang memastikan iklim di Indonesia dan Asia Tenggara bersahabat sehingga negara-negara lain berminat untuk bekerja sama di berbagai bidang.
Melihat sejarah, Indonesia selalu bisa dan pandai dalam mengintegrasikan kepentingan dalam negeri dan luar negeri yang sistematis dan berwawasan luas. Indonesia selalu hadir di isu-isu global dan turut mencari solusi. Oleh sebab itu, semestinya tidak ada hambatan dalam pelaksanaannya untuk tahun 2023-2024 dengan meninggalkan warisan kebijakan yang relevan untuk bertahun-tahun mendatang.
Marty mengatakan, keketuaan berbeda dengan kepemimpinan. Keketuaan adalah tugas bergilir, sedangkan kepemimpinan adalah kemampuan untuk tampil dan aktif. Di dalam kepemimpinan, emosi tidak sama dengan kebijakan.
”Indonesia tidak bisa cuma bilang mengecam, prihatin, ataupun mengirim bantuan kemanusiaan. Kebijakan harus hitam di atas putih dan komprehensif dengan tidak hanya memikirkan solusi saat ini, tetapi membangun sistem,” ujarnya.