Konsistensi politik bebas dan aktif kembali banyak diserukan di tengah kritik tentang kurangnya peran Indonesia di panggung politik internasional.
Oleh
PASCAL S BIN SAJU
·4 menit baca
ARSIP HARIAN KOMPAS
Presiden Sukarno (tengah) dan Wakil Presiden Mohammad Hatta (kiri) membuka Pekan Olahraga Angkatan Perang di Stadion Ikada Jakarta, September 1952. Hadir di panggung kehormatan, Menteri Pertahanan Hamengku Buwono IX (kanan)
JAKARTA, KOMPAS – Indonesia diharapkan berperan lebih aktif lagi dalam mendamaikan dunia dengan terus mempertahankan dan memperkuat politik bebas dan aktifnya di tengah dunia yang semakin dinamis, penuh tantangan, sekaligus peluang. Dari pengalaman sejarahnya, Indonesia sejak awal Perang Dingin mengadopsi kebijakan luar negeri ”bebas dan aktif”. Doktrin ini masih relevan dengan interpretasi dan aplikasi yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Demikian rangkuman diskusi terkait peluncuran buku Hatta and Indonesia’s Independent and Active Policy: Retrospect and Prospect yang digelar secara luring dan daring oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia di Jakarta, Selasa (20/9/2022). Buku ini berisi kumpulan tulisan para analis, pengamat, dan pemerhati hubungan internasional yang diedit oleh Evan A Laksamana dan Lina Alexadra dari CSIS Jakarta.
Hadir sebagai pembicara yang juga kontributor tulisan buku tersebut adalah putri Bung Hatta, Halida Nuriah Hatta; Muhammad Arif dan Adhitya Eduard Yeremia (Universitas Indonesia); Randy W Nandyatama (Universitas Gadjah Mada); dan Fitriani (CSIS). Diskusi dipandu oleh Ketua Departemen Hubungan Internasional CSIS, Lina Alexandra.
Selaku pembahas adalah Kepala Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri (BSKLN) Kementerian Luar Negeri RI Yayan GH Mulyana dan dosen Departemen Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan, Sylvia Yazid. Menteri Luar Negeri RI periode 2001-2009 Hassan Wirajuda dan Duta Besar Umar Hadi hadir sebagai peserta di Auditorium CSIS di Jakarta.
Dalam sambutannya, Wakil Direktur Eksekutif CSIS Indonesia Shafiah Fifi Muhibad mengatakan, prinsip ”bebas dan aktif” cetusan Bung Hatta pada 1948 merupakan nilai inti kebijakan luar negeri. Indonesia harus bersikap bebas dan aktif dalam membangun hubungan dengan negara-negara lain, yang saat itu terpolarisasi ke dalam dua blok besar, Barat dan Timur, di awal Perang Dingin.
AP/MAST IRHAM
Para delegasi menghadiri sidang hari kedua Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara anggota G-20 di Jakarta, Jumat (18/2/2022).
Doktrin utama
Melalui buku itu, CSIS ingin menegaskan, prinsip bebas dan aktif tetap merupakan doktrin utama politik luar negeri Indonesia. Gagasan itu masih sangat relevan untuk situasi dunia yang terus berubah dan berbeda dewasa ini. Secara internasional, banyak tantangan dan peluang baru. Secara domestik, ada tuntutan transformasi demokrasi dan taruhan menjadi kekuatan regional.
Fifi mengatakan, CSIS berharap buku ini menjadi sumbangsih pemikiran bagaimana Indonesia agar berperan lebih aktif dalam dunia mutakhir. Politik bebas dan aktif sangat relevan untuk membantu mengarahkan Indonesia dalam mengupayakan perdamaian serta stabilitas regional dan internasional.
Ada banyak harapan terhadap Indonesia untuk lebih berperan di panggung dunia. Harapan itu, kata Fifi, antara lain bertumpu pada presidensi G20 Indonesia 2022 dan ketua ASEAN pada 2023. ”Inilah saatnya kita menghidupkan lagi prinsip bebas dan aktif itu,” katanya.
Koordinator Program Indonesia di S Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Singapura, Leonard C Sebastian, mengatakan, politik bebas dan aktif Indonesia sangat relevan dan penting dalam menghadapi kondisi dunia saat ini. Dia melihat betapa Indonesia piawai menempatkan posisinya dalam perang di Ukraina dan masalah di Indo-Pasifik.
Tantangannya, menurut Leonard, tidak ada pendekatan Barat yang mengikuti pola horizontal dalam kebijakan luar negerinya. Bahkan, menurut dia, Barat sangat banyak menerapkan pola vertikal. Situasi ini menjadi tantangan yang harus dihadapi Indonesia dengan tetap berpegang pada prinsip bebas dan aktif.
AP PHOTO/DITA ALANGKARA
Menteri Luar Negeri Thailand Don Pramudwinai menyampaikan pidatonya saat upacara peresmian Sekretariat ASEAN yang baru di Jakarta, Indonesia, Kamis, 8 Agustus 2019.
Dari kolonialisme
Halida menjelaskan bagaimana ide tentang politik bebas dan aktif itu muncul. Hatta, katanya, seorang yang memegang prinsip. Hatta memulai segala sesuatu dengan menjaga keseimbangan, logika berpikir, berbicara dengan hati, dan selalu mengimplementasikannya di dalam hidupnya. Hatta mengembangkan kebijaksanaan, mendorong Indonesia untuk menjadi bangsa bermartabat.
Menurut Halida, kolonialisme membuat Hatta sampai pada determinasi bahwa Indonesia harus menjadi negara independen, merdeka, dan bebas menentukan arah hidup sendiri. Sebutan inlander membuat bangsa Indonesia secara mentalitas diremehkan. Oleh karena itu, Hatta selalu bertekad menjadi negara berdaulat yang bebas dan bersahabat dengan negara mana pun.
Menurut Yayan, prinsip bebas dan aktif bertautan dengan definisi kepentingan nasional yang terbagi menjadi kepentingan vital dan kepentingan kontekstual. Kepentingan kontekstual, misalnya, hal yang berhubungan dengan pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Indonesia dalam konteks ini berkepentingan menanganinya secara efektif. Ini membutuhkan kolaborasi dengan negara lain secara aktif.
Dalam sebuah percakapan dengan Kompas beberapa waktu lalu, Yayan mengatakan, politik luar negeri bebas dan aktif hakikatnya bukan merupakan politik netral. Bebas, berarti memiliki kebebasan untuk menentukan sikap dan kebijaksanaan terhadap permasalahan internasional dan tidak mengikatkan diri secara apriori pada satu kekuatan dunia.
”Aktif berarti, memberikan sumbangan baik dalam bentuk pemikiran maupun partisipasi aktif dalam menyelesaikan konflik, sengketa, dan permasalahan dunia lainnya,” katanya.
The Economist per 21 Juli 2022 menurunkan artikel bertajuk, ”Why Indonesia Punches Below Its Weight in Global Affairs”. Intinya, peran Indonesia dalam politik-ekonomi internasional dinilai masih di bawah potensinya. (CAL)