Indonesia Menakhodai Bahtera Arungi Samudra Geopolitik
Tantangan politik internasional Indonesia semakin rumit dan besar. Indonesia memiliki banyak modal politik, tetapi mampukah mengambil kesempatan?
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Indonesia kini menghadapi tantangan politik luar negeri yang tidak lagi berupa dua karang tajam yang bisa menenggelamkan bahtera bangsa. Sekarang, tantangan berupa samudra penuh badai dengan Indonesia beserta negara-negara dunia harus mengarunginya bersama-sama. Sebab, jika satu karam, yang lain ikut terseret.
Prinsip itu dikemukakan ddalam acara Konferensi Politik Luar Negeri Indonesia (CIFP) yang diadakan Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) di Jakarta, Sabtu (26/11/2022). ”Dulu, dua karang itu adalah blok politik Barat dan Timur di masa Perang Dingin. Indonesia, seperti yang ditegaskan bapak bangsa Mohammad Hatta, mendayung agar tidak menabrak karang-karang itu,” kata pendiri FPCI, Dino Patti Djalal.
Ia menjelaskan, perumpamaan samudra yang dilanda badai itu tampak dari situasi geopolitik terkini. Dunia menghadapi persaingan geopolitik yang lebih rumit. Adanya perang di berbagai belahan bumi, termasuk di Ukraina yang terakhir, mengakibatkan berbagai permasalahan. Krisis pengungsi, kelaparan, krisis pangan, krisis energi, dan masalah keamanan merembes keluar dari wilayah bersangkutan. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak bisa mengendalikan situasi tersebut.
Perkataan ini serupa dengan yang diutarakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Ia menerangkan, pada 2023 keadaan tidak akan membaik secara drastis karena dunia mengalami resesi. Berbagai permasalahan akibat kekurangan pupuk baru dirasakan tahun depan dengan perkiraan gagal panen di berbagai wilayah bumi (Kompas, 9 November 2022).
Dalam hal ini, Indonesia memiliki kesempatan bersinar dengan politik luar negeri yang baik. Menurut Dino, pertanyaannya ialah mampukah Indonesia mengambil kesempatan itu? Dari segi modal politik, Indonesia memiliki sejumlah potensi. Pertama, Indonesia bukan negara target persaingan politik sehingga tidak dianggap sebagai ancaman di kancah geopolitik. Kedua, Indonesia memiliki hubungan baik dengan hampir semua negara Barat dan Timur.
”Bisakah Indonesia mempertahankan prinsip bebas aktif ini menjadi tempat dan suara bagi berbagai bangsa yang tidak ingin terseret persaingan geopolitik? Ini tantangan Indonesia untuk mengembangkan pendekatan multipolarisme dan multilateralisme agar setiap pihak memiliki kesempatan yang sama,” ujar Dino.
Berkaca dari kesuksesan Indonesia memimpin kelompok 19 negara berperekonomian terbesar dunia ditambah Uni Eropa atau G20, tampak kemampuan Indonesia menjaga forum itu agar tidak pecah. Selain itu, negara-negara yang panas bersaing secara geopolitik ternyata bisa duduk bersama membahas berbagai program kerja sama konkret yang disahkan dalam 361 proyek.
FPCI juga pernah mengadakan acara daring Global Town Hall 2022. ”Alun-alun kota” virtual ini dihadiri 8.300 peserta dari 145 negara. Mereka umumnya peneliti, akademisi, dan pegiat di lembaga swadaya masyarakat yang berasal dari negara-negara berkembang ataupun miskin.
Semua mengutarakan kesimpulan yang sama, yaitu mereka tidak merasa dilibatkan dalam menentukan arah dunia. Mereka diperlakukan sebagai liyan, sementara negara-negara adidaya mengambil berbagai keputusan strategis terkait bangsa-bangsa berkembang itu. Menurut Dino, ini juga modal politik Indonesia yang didukung oleh sahabat-sahabat sesama negara berkembang.
Dalam acara itu, FPCI memberi Anugerah Kepemimpinan Global kepada Presiden Joko Widodo atas kesuksesan memimpin G20. Hadir secara daring Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mewakili Jokowi. Ia menerangkan, pola kebijakan politik luar negeri Indonesia tecermin dalam paragraf ketiga Deklarasi Bali yang menyebut bahwa sebagian besar anggota G20 mengecam perang Rusia-Ukraina.
”Paragraf itu menunjukkan ada perbedaan pendapat di antara para anggota G20 yang diakui oleh semua pihak. Pada saat yang sama, dengan mengakui perbedaan itu, semua anggota sepakat bekerja sama untuk pemulihan ekonomi global dengan berbagai hasil konkret,” kata Retno.
Ia menuturkan, prinsip diplomasi Indonesia tidak sebatas kepentingan politik, pertahanan, keamanan, dan ekonomi. Aspek persahabatan, menjaga jaringan, dan pendekatan personal sangat berpengaruh dalam menguatkan diplomasi bilateral ataupun multilateral. Reputasi Indonesia sebagai negara yang tidak memihak, tetapi berprinsip menjaga perdamaian global, sangat menolong untuk menerapkan konsep ini.
Untuk itu, modal-modal tersebut akan diasah dan dikuatkan guna menghadapi tantangan Indonesia berikutnya, yaitu keketuaan Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) tahun 2023. Justru, di dalam keluarga Asia Tenggara ada masalah serius yang belum terselesaikan, yaitu pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar.
Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengingatkan, ini pekerjaan rumah bagi Indonesia untuk memimpin penguatan kelembagaan ASEAN. Jangan sampai Indonesia bisa menjaga forum bertaraf global, tetapi gagal menjaga keguyuban di kawasan.