Kedua Korea saling menuduh melanggar batas geografis kelautan. Suasana di Semenanjung Korea semakin panas.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
SEOUL, SENIN — Suasana memanas di Semenanjung Korea setelah Korea Utara dan Korea Selatan berbalas tembakan peringatan pada Senin (24/10/2022) pagi waktu setempat. Keduanya beralasan ada kapal-kapal pihak lawan yang melanggar batas wilayah kelautan.
Kantor berita nasional Korea Selatan, Yonhap, melaporkan, tembakan pertama terjadi pada pukul 03.42. Mereka mengutip keterangan resmi Kepala Staf Gabungan Korsel (JCS) yang menuturkan bahwa satu unit kapal dagang Korea Utara melanggar Garis Batas Utara (GBU) di Laut Kuning.
GBU adalah garis batas yang dibuat di bawah perintah Perserikatan Bangsa-Bangsa seusai Perang Korea tahun 1950-1953. Korut tidak mengakui GBU karena, menurut Pyongyang, garis itu membuat wilayah perairan mereka sempit. Mereka menginginkan GBU ditarik lebih ke selatan.
Keterangan JCS menyebutkan, kapal Korut melintasi perairan di dekat Pulau Baengnyong. Angkatan Laut Korsel segera menurunkan kapal yang melepas tembakan. Setelah itu, kapal Korut tersebut keluar dari GBU dan berlayar ke utara.
Tidak lama setelah peristiwa itu, giliran Korut yang melepas tembakan peringatan. Jumlahnya 10 roket artileri. Kantor berita nasional Korut, KCNA, merilis keterangan dari Tentara Rakyat KPA yang mengatakan, ada kapal militer Korsel memasuki Garis Batas Militer (GBM) di bawah kendali KPA karena mengawal satu kapal tanpa identitas.
”Pada pukul 03.50 kapal pengawal dari Armada Kedua angkatan laut negara boneka Korsel memasuki GBM yang jelas-jelas di bawah Republik Demokratik Rakyat Korea. Mereka masuk sekitar 20 kilometer dari Pulau Paekryong dengan melanggar GBM sekitar 2,5 kilometer hingga 5 kilometer,” demikian kutipan keterangan KPA.
KPA kemudian memberi 10 tembakan peringatan berupa roket artileri. Mereka menembak dari wilayah Ryongyon ke arah 270 derajat azimut tembakan. ”KPA memperingatkan musuh yang melanggar batas-batas kelautan dan memprovokasi penembakan artileri,” sebut KPA.
Korsel kemudian membalas dengan protes bahwa Korut melanggar Perjanjian Militer Komprehensif 19 September 2018. Di dalamnya disepakati kedua belah pihak berusaha semaksimal mungkin meredakan ketegangan di perbatasan. Di Laut Kuning saja kedua Korea terlibat konflik berdarah pada tahun 1999, 2002, dan 2009.
Hubungan kedua Korea tidak kunjung bersahabat. Korut terus melakukan uji coba rudal, termasuk rudal hipersonik Hwasong-17 dan rudal antarbenua yang jatuh di perairan Jepang. Tahun 2022, Korut sudah melakukan 41 kali uji rudal balistik. Kabar yang beredar di Korsel ialah Korut hendak melakukan uji coba nuklir setelah selesainya Kongres Partai Komunis China di Beijing.
Pemimpin Korut Kim Jong Un pada September lalu mengumumkan, Korut tidak akan berhenti melakukan pengayaan nuklir, termasuk untuk persenjataan. ”Nuklir menjadi pilihan untuk membalas apabila kita diserang secara sepihak,” ujarnya.
Sikap Korut ini membuat Korsel kian meningkatkan pertahanan. Bersama dengan sekutunya, yaitu Amerika Serikat dan Jepang, mereka berkali-kali melakukan latihan militer. Ketegangan tidak hanya di Semenanjung Korea, tetapi juga merambah hingga ke Selat Taiwan.
David Albright, pendiri Institut Keilmuan dan Keamanan Internasional, berbicara kepada Voice of America bahwa Korut memiliki berbagai jenis hulu ledak nuklir yang harus menjalani uji coba. ”Jika yang diuji berbobot 100 kiloton ke atas, tandanya mereka sedang mengembangkan senjata termonuklir yang bisa dimuat di dalam rudal. Butuh beberapa kali uji coba agar sampai kepada ukuran tepat hulu ledak bisa dipasang di rudal balistik,” tuturnya.
Albright melanjutkan, jika bobot nuklirnya 10-40 kiloton, kemungkinan bertujuan untuk senjata taktis dan strategis. Uji coba nuklir terakhir dilakukan pada tahun 2017 di lokasi tes Punggye-ri. Bobotnya 100-370 kiloton. Sebagai gambaran, bom 100 kiloton ini enam kali lebih dahsyat dibandingkan bom yang dijatuhkan oleh AS di Hiroshima, Jepang, pada 1945.