25 Tahun Kembalinya Hong Kong ke China bagai Bangkit dari Api
Hong Kong kian menjadi seperti China. Presiden China Xi Jinping menargetkan Hong Kong berkontribusi pada kemakmuran China.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
Hari Jumat (1/7/2022) ini merupakan momentum peringatan sejarah yang penting bagi Hong Kong. Tepat 25 tahun lalu, yaitu pada tahun 1997, wilayah itu resmi lepas dari kekuasaan Inggris setelah 156 tahun dan kembali ke haribaan China. Setelah itu, perkembangan Hong Kong secara sosial dan politik menjadi topik perdebatan mengingat sisi demokrasi dan kebebasan berekspresi di wilayah itu terjun bebas.
Peringatan 25 tahun Hong Kong kembali ke China dihadiri oleh Presiden China Xi Jinping dan Ibu Negara Peng Liyuan. Ini adalah pertama kali mereka bepergian keluar dari Beijing sejak pandemi Covid-19 bermula pada bulan Maret 2020. Xi dan Peng naik kereta cepat. Mereka menginap di kota Shenzhen, Provinsi Guangdong, yang berjarak 15 menit dari Hong Kong.
Dalam jumpa pers ketika tiba di Shenzhen, Xi memuji konsep ”Satu Negara dengan Dua Sistem Pemerintahan” yang diterapkan di Hong Kong. Menurut dia, sistem ini berhasil dan membawa Hong Kong ke masa depan yang sejahtera.
”Hong Kong bagaikan bangkit dari api setelah melalui berbagai cobaan. Sekarang, Hong Kong berkontribusi besar pada kemakmuran dan kesejahteraan China,” kata Xi yang juga Sekretaris Jenderal Partai Komunis China di Shenzhen, Kamis (30/6/2022).
Perkataan Xi tersebut ditafsirkan berbeda-beda. Bagi pihak-pihak pro-Beijing, ini adalah kemajuan karena situasi di Hong Kong semakin mirip di China. Akan tetapi, bagi kalangan pro-demokrasi, perkembangan situasi di Hong Kong semakin mengkhawatirkan.
Hong Kong merupakan bagian dari Kekaisaran China yang diserahkan kepada Inggris setelah Perang Opium 1842. Wilayah ini kemudian menjadi obyek kesepakatan antara China dan Inggris yang memakai semacam sistem sewa. Tenggat sewa tersebut adalah tahun 1997.
Pada tahun 1984, Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher menandatangani Perjanjian Bersama China-Inggris 1984 dengan Pemimpin China Deng Xiaoping. Intinya ialah menyepakati kedua negara tetap pada komitmen bahwa Hong Kong dikembalikan kepada China per tahun 1997.
China di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping mengalami perubahan drastis. Dari negara yang tertutup dan terisolasi, Deng membuat kebijakan keterbukaan ekonomi. China kemudian beranjak menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar.
Deng meninggal dunia pada Februari 1997. Semangat keterbukaan ekonominya dilanjutkan oleh penggantinya, Presiden China 1993-2003 Jiang Zemin. Ia menerima Hong Kong secara simbolis dari Perdana Menteri Inggris Tony Blair dalam upacara penyerahan 1 Juli 1997.
”Kalau melihat peristiwa itu, mungkin bisa dibilang kita semua lugu. Baik warga Hong Kong maupun Pemerintah Inggris sangat berprasangka positif karena begitu mudahnya percaya kepada China,” tutur Dennis Kwok, pegiat politik Hong Kong yang kini hidup dalam pengasingan.
Perjanjian Bersama China-Inggris 1984 membuat sebuah konsep yang disebut Satu Negara dengan Dua Sistem Pemerintahan. Praktiknya ialah Hong Kong dianggap sebagai sebuah daerah otonom di dalam China. Hong Kong diperkenankan memiliki sistem pemerintahan sendiri, yakni demokrasi. Metode pemilihan pemimpin eksekutif, legislatif, dan yudikatif melalui pemilu langsung.
Hong Kong juga mempertahankan sistem ekonomi kapitalis mereka. Wilayah ini adalah pusat perekonomian terbesar ketiga di dunia setelah New York di Amerika Serikat dan London di Inggris. Di dalam perjanjian disebutkan, Hong Kong bisa memulai transisi kembali ke sistem politik China pada tahun 2047.
Sejatinya, setelah perjanjian diteken, ada sejumlah unjuk rasa masyarakat Hong Kong menolak rencana kembali ke China. Mereka meminta agar Inggris membatalkan perjanjian dan terus menjadikan Hong Kong sebagai wilayah Persemakmuran. Akan tetapi, Pemerintah Inggris bergeming dengan alasan perjanjian itu adalah komitmen yang harus ditepati.
Secara bertahap, demokrasi di Hong Kong digerus oleh Beijing. Rakyat yang prodemokrasi unjuk rasa, tetapi banyak di antara mereka kemudian ditahan oleh aparat penegak hukum. Puncaknya ialah Undang-Undang Keamanan 2019 yang praktis melibas semua keunikan Hong Kong.
Semua politikus eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus menyatakan sumpah setia kepada Partai Komunis China. Bahkan, para calon kandidat yang hendak berlaga di pemilu pun harus sepenuhnya lolos tes kelayakan dari Beijing.
Warga Hong Kong menjadi dilematis. Di satu sisi, mereka ingin mempraktikkan hak demokrasi mereka untuk memilih dalam pemilu. Di sisi lain, kandidat yang ada tidak mewakili nilai-nilai dasar yang mereka anut.
UU Keamanan ini juga memberangus segala jenis kebebasan berekspresi. Media-media arus utama dibabat karena dianggap menentang otoritas. Tabloid Apple Daily pada tahun 2021 dirazia oleh 500 petugas kepolisian dan dibredel. Pemilik, pemimpin redaksi, dan sejumlah redakturnya dipenjarakan atas tuduhan menghasut masyarakat untuk melawan Beijing.
Di bidang pendidikan, semua buku teks sekolah diganti. Sejarah Hong Kong sebagai bagian dari koloni Inggris dihapus. Dinas pendidikan setempat menulis sejarah baru yang mengatakan bahwa sejak awal Hong Kong murni milik China dan merupakan bagian terpenting dari Republik Rakyat China.
Akibat aturan tersebut, 30.000 pelajar memilih pindah bersekolah keluar negeri. Terdapat pula 4.050 guru mengundurkan diri karena pendidikan tidak lagi mengajar cara berpikir kritis.
Hal itu juga terefleksi dari peringatan 25 tahun ini. Warga yang prodemokrasi tidak bisa berunjuk rasa. Kepada surat kabar Daily Mail, Ketua Liga Sosial Demokrat Hong Kong Chan Po-ying mengungkapkan bahwa anggotanya ketakutan untuk melakukan unjuk rasa.
”Ada sejumlah anggota yang rumahnya didatangi polisi dan digeledah. Anggota-anggota yang lain dibuntuti dan diteror. Ini ancaman apabila kami berdemonstrasi, sesuatu yang buruk akan terjadi,” ucapnya.
Di dalam surat kabar nasional China, Global Times, Wakil Sekretaris Asosiasi Pengusaha Ekspor-Impor Hong Kong Michael Li Chi-fung mengatakan, Hong Kong mengubah strategi bisnisnya. Selain tetap menjalankan perdagangan internasional, wilayah ini harus mengantisipasi perkembangan ekonomi dengan memanfaatkan pertumbuhan industri di China.
”Pasar terbesar Hong Kong adalah China. Kita harus melihat cakrawala baru untuk kerja sama yang saling menguntungkan. Apalagi, di China ada banyak pabrik yang mengembangkan berbagai teknologi terbaru yang bisa menjadi komoditas bagi Hong Kong,” tuturnya.