Tak Bisa Bekerja Bebas, Amnesty International Hengkang dari Hong Kong
Amnesty International telah beroperasi di Hong Kong selama 40 tahun terakhir. Penerapan UU Keamanan Nasional memberi kuasa pemerintah untuk membatasi gerak kelompok aktivis seperti AI yang bertentangan dengan mereka.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
HONG KONG, SENIN — Organisasi hak asasi manusia Amnesty International memutuskan menutup dua kantornya di Hong Kong secara bertahap mulai akhir Oktober ini. Keamanan dan keselamatan para pekerja dan anggota staf organisasi pascapenerapan Undang-Undang Keamanan Nasional menjadi alasan utama penutupan kantor Amnesty International di Hong Kong.
Semua kegiatan operasional kantor regional Amnesty International (AI) Hong Kong, yang merupakan bagian dari sekretariat internasional, akan dipindahkan ke kantor AI di Asia Pasifik. ”Keputusan ini dibuat dengan berat hati, didorong oleh UU Keamanan Nasional yang secara efektif membuat organisasi hak asasi manusia tidak mungkin bekerja secara bebas dan tanpa rasa takut adanya pembalasan serius dari pemerintah,” kata Anjhula Mya Sing Bais, Ketua Dewan Internasional AI, Senin (25/10/2021).
AI memiliki dua kantor di Hong Kong. Satu kantor berupa kantor lokal yang fokus pada pendidikan dan kampanye hak asasi manusia di Hong Kong. Satu kantor lagi, yaitu kantor regional, memfokuskan kegiatannya pada penelitian, advokasi, dan kampanye di wilayah Asia Timur, Asia Tenggara, dan Pasifik.
AI telah beroperasi di Hong Kong selama 40 tahun terakhir. Menurut laman resmi lembaga yang berpusat di London, Inggris, kerja kampanye dan advokasi AI yang dinilai berhasil di bekas koloni Inggris itu adalah penghapusan hukuman mati dan pengungkapan penggunaan kekuatan berlebihan oleh polisi selama protes massal tahun 2019.
Kerja kantor AI Hong Kong juga mencakup wilayah Semenanjung Korea. Kampanye dan advokasi yang pernah dikerjakan termasuk isu kekejaman tentara Jepang pada masa perang dan pemaksaan para perempuan untuk dijadikan budak seks selama Perang Dunia II di sejumlah wilayah, termasuk Indonesia. AI juga memantau berbagai pelanggaran hak asasi manusia di China dari kantor mereka di Hong Kong.
Sekretaris Jenderal AI Agnes Callamard, yang juga Pelapor Khusus PBB untuk Masalah HAM, mengatakan, kerja-kerja advokasi dan kampanye yang dilakukan selama mereka berada di Hong Kong telah meningkatkan kesadaran HAM warga, mulai dari anak sekolah hingga warga umum. ”Tidak ada seorang pun dan tidak ada kekuatan apa pun yang dapat menghancurkan warisan itu,” ujarnya.
Penutupan dua kantor AI, menurut Bais, terpaksa dilakukan karena Pemerintah China dan Hong Kong menargetkan pembersihan kelompok aktivis HAM dan serikat pekerja lokal yang dianggap bertentangan sikap dengan mereka. Dalam catatan AI, serangan terhadap mereka berbarengan dengan serangan terhadap para aktivis prodemokrasi, oposisi, dan media independen. Setidaknya 35 kelompok yang dianggap kontra Pemerintah Hong Kong dan China telah dibubarkan dan 120 orang ditahan dengan berbagai tuduhan subversif.
Dalam laporan yang disusun Pusat Hukum Asia Universitas Georgetown pada Juni lalu disebutkan, UU Keamanan Nasional Hong Kong memiliki kesamaan dengan peraturan perundang-undangan di China daratan yang secara ketat membatasi kontak antara organisasi nonpemerintah dan internasional. UU Keamanan Nasional juga mengancam aktivis dengan hukuman penjara karena dinilai berkolusi dengan ”pasukan asing”.
Laporan itu menyebut, UU Keamanan Nasional membuat gerak lembaga advokasi HAM internasional dan kelompok prodemokrasi menjadi sangat terbatas. Pekerjaan mereka menjadi sangat politis.
UU Keamanan Nasional yang diberlakukan sejak Juni 2020 menggunakan definisi keamanan nasional yang luas dan samar-samar, mirip pasal karet dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, mengikuti definisi politisi Beijing. Definisi keamanan nasional ini dipandang banyak pihak digunakan secara sewenang-wenang untuk membatasi HAM, kebebasan berekspresi, dan perbedaan pendapat ataupun pandangan politik yang berlawanan dengan pemerintah. (AP/AFP)