China Tanggapi Kritik atas Xinjiang, Tibet, dan Hong Kong
China menjatuhkan sanksi atas empat pejabat AS untuk membalas sanksi Washington yang menarget para terduga pelaku ”genosida” di Xinjiang. Beijing mengecam Washington karena mencampuri urusan dalam negeri di Tibet.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
BEIJING, SELASA — Pemerintah China di Beijing, Selasa (21/12/2021), memasukkan empat anggota Komisi Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama Internasional (USCIRF) dalam daftar hitam. Langkah itu untuk membalas sanksi Washington yang telah menarget para terduga pelaku ”genosida” di Xinjiang.
Beijing juga mengecam Washington karena mencampuri urusan dalam negeri di Tibet dengan menunjuk Koordinator Khusus AS untuk Masalah Tibet Uzra Zeya. Selama ini Zeya menjabat Direktur Jenderal (Under Secretary) Keamanan Sipil, Demokrasi, dan HAM di Departemen Luar Negeri AS.
Perlakuan China terhadap warga Tibet, minoritas Muslim Uighur di Xinjiang, dan pemberangusan perbedaan pendapat di Hong Kong telah merusak hubungan diplomatik Beijing dan Washington bersama sekutunya.
Isu pelanggaran HAM oleh Beijing telah mendorong Washington untuk menjatuhkan sanksi kepada pejabat, pebisnis, dan institusi negara China. Terkait Xinjiang, Washington menjatuhkan sanksi pada politisi dan perusahaan China tertentu.
AS juga memboikot Olimpiade Musim Dingin yang akan digelar tahun depan. Semua itu memicu kemarahan Beijing dan tindakan pembalasan terhadap Washington. Menurut Beijing, tindakan AS terhadap China telah melampaui batas yang harus dilawan dengan tindakan setimpal.
Pada Selasa ini, China mengumumkan target terbaru terhadap warga AS, yakni memasukkan empat anggota USCIR ke dalam daftar hitam. Mereka yang masuk daftar itu adalah Ketua USCIRF Nadine Maenza, Nury Turkel (wakil), serta dua anggota USCIRF, yakni Anurima Bhargava dan James W Carr.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, kepada wartawan mengatakan, keempat orang itu dilarang masuk ke wilayah China. Aset-aset mereka di China daratan, Hong Kong, dan Makau dibekukan. "Warga dan institusi China juga dilarang berurusan dengan orang-orang ini," katanya.
USCIRF dibentuk pada tahun 1998. Komisi federal AS ini melakukan survei kebebasan beragama di seluruh dunia dan telah menjadi pengkritik keras atas China, yang diduga memperlakukan Muslim Uighur dengan cara yang buruk. Namun, masalah bipartisan jarang terjadi di Washington.
Pengumuman sanksi oleh China itu muncul beberapa hari setelah AS melancarkan serangkaian tindakan baru atas Xinjiang. Tindakan AS mencakup larangan bagi hampir semua produk impor dari Xinjiang, wilayah penghasil kapas global terpenting, atas tuduhan kerja paksa.
AS juga baru-baru ini memasukkan beberapa perusahaan China ke dalam daftar hitam atau sanksi, termasuk perusahaan pembuat pesawat nirawak DJI dan perusahaan rintisan kecerdasan buatan SenseTime. Diduga kuat, produk mereka terkait dengan pihak berwenang di Xinjiang.
Pekan lalu Washington menjatuhkan sanksi terkait pelanggaran HAM terhadap puluhan orang dan entitas bisnis di China, Myanmar, dan Korea Utara. Kanada dan Inggris mendukung tindakan itu dengan menjatuhkan sanksi yang sama kepada Myanmar.
Penjatuhan sanksi terbaru kepada tiga negara itu itu diumumkan bertepatan dengan peringatan HAM sedunia dan pelaksanaan KTT untuk Demokrasi. Presiden AS Joe Biden dalam pidato penutupan KTT virtual itu mengatakan, sanksi adalah bagian dari inisiatif untuk menumbuhkembangkan kembali demokrasi, menghadang autokrasi dan otoritarianisme di seluruh dunia, memerangi korupsi, serta mempromosikan HAM.
Adapun sanksi dari China sebelumnya telah dialamatkan kepada anggota Parlemen Eropa, Inggris, AS, akademisi yang mempelajari Xinjiang, dan satu badan hukum di London, Inggris. Para pegiat kemanusiaan dan PBB pernah menyebutkan, satu juta warga Uighur dan etnis berbahasa Turki lainnya telah ditahan di kamp-kamp di Xinjiang.
Kelompok HAM dan pemerintah asing telah menemukan bukti dari yang mereka katakan sebagai penahanan massal, kerja paksa, indoktrinasi politik, penyiksaan, dan sterilisasi paksa. Washington menggambarkannya sebagai “genosida”.
Setelah awalnya menyangkal keberadaan kamp Xinjiang, China belakangan menjelaskan apa yang dicap sebagai kamp penahanan itu tidak lain adalah ”pusat latihan kejuruan”. Tujuan dari pusat-pusat latihan kejuruan itu untuk membendung kelompok ekstremis.
Pada Senin lalu, AS juga menunjuk seorang koordinator khusus untuk masalah Tibet, yakni Uzra Zeya. Dia bertugas membangun kembali dialog antara Dalai Lama dan China serta mempromosikan penghormatan terhadap hak asasi warga Tibet.
Zhao mengatakan, China sangat menentang langkah tersebut. ”Urusan Tibet adalah murni urusan dalam negeri China dan tidak ada campur tangan dari kekuatan asing mana pun,” katanya.
Dia mengecualikan kritik dari negara-negara G-7 dan Barat selama pemilu legislatif di Hong Kong, akhir pekan lalu. G-7 dan Uni Eropa khawatir dengan terkikisnya elemen-elemen demokrasi pada sistem pemilu di Wilayah Administrasi Khusus Hong Kong karena tidak ada keterwakilan oposisi.
Kekuatan dunia mengecam pemilu legislatif Hong Kong yang berjalan sangat ketat itu. Keputusan Beijing untuk membatasi bahkan mengurangi anggota legislatif yang dipilih secara langsung dan mengontrol siapa yang maju sebagai kandidat telah mengikis demokrasi di wilayah China. ”Negara-negara Barat ini harus menghadapi kenyataan bahwa Hong Kong telah kembali ke China selama 24 tahun,” kata Zhao.(AFP/REUTERS)