Refleksi 25 Tahun Hong Kong Bergabung dengan China
Hong Kong dulu dikenal sebagai kawasan termaju di Asia, mulai dari ekonomi hingga demokrasi. Kini, setelah 25 tahun kembali ke China, semua hal itu hanya menjadi kenangan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Pada hari Jumat (1/7/2022) esok, Hong Kong merayakan 25 tahun kembali ke pangkuan China. Peristiwa bersejarah yang terjadi pada tahun 1997 itu mengakhiri 156 tahun wilayah tersebut di bawah kekuasaan Inggris. Menyambut perayaan itu, menarik untuk menengok perubahan yang telah terjadi selama 25 tahun terakhir.
Hong Kong dilepas oleh Putra Mahkota Kerajaan Inggris, Pangeran Charles yang mewakili ibunya, Ratu Elizabeth II. Dalam pidatonya, Charles mengatakan optimistis Hong Kong akan tetap menjadi wilayah yang maju dan pusat ekonomi global. Ketika itu, Hong Kong diterima oleh Pemimpin China Deng Xiaoping. Ia menjanjikan sistem “Satu Negara dengan Dua Sistem Politik”. Artinya, Hong Kong tetap sebagai wilayah otonom yang tetap menjalankan nilai-nilai demokrasi.
Namun, kenyataannya demokrasi di Hong Kong semakin tergerus. Janji Deng adalah dalam 50 tahun, Hong Kong berangsur menyesuaikan diri dengan situasi di China. Ia tidak menjelaskan lebih lanjut sehingga para pengamat politik global maupun warga Hong Kong saat itu sempat optimistis bahwa bisa saja China yang nantinya menyesuaikan diri dengan kemajuan Hong Kong sehingga lebih demokratis dan terbuka.
Presiden China Xi Jinping yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis China ketika menaiki tampuk kepemimpinan di tahun 2012 mengumumkan program pembaruan China. Ia menginginkan China tidak hanya tumbuh sebagai kekuatan ekonomi dunia, tetapi juga pemain penting dalam politik kawasan. Salah satunya ialah dengan memastikan Hong Kong kembali ke nilai-nilai China. Ini berarti segala jenis peninggalan Inggris, termasuk demokrasi akan dihapus.
“Pastinya ini adalah pengkhianatan atas janji China yang disebutkan oleh Deng Xiaoping di tahun 1997. Konsep Satu Negara dengan Dua Sistem ini murni ditiadakan,” kata Chris Patten, mantan gubernur terakhir Hong Kong.
Sejumlah unjuk rasa oleh warga Hong Kong yang pro-demokrasi terjadi. Beberapa unjuk rasa besar ialah di tahun 2004, 2012, dan 2014 yang melahirkan Gerakan Payung Kuning. Di tahun 2019, Otoritas Hong Kong meresmikan Undang-Undang Keamanan Nasional yang mengatakan bahwa tindakan kriminal di Hong Kong bisa diproses secara pidana di China. Ini berisiko mematikan proses peradilan yang terbuka. Bahkan, dari segi gugatan pun juga berisiko tidak transparan karena murni ditangani oleh negara.
Sebagai bagian dari UU Keamanan Nasional, segala jenis ekspresi yang dianggap melawan Pemerintah China dilarang. Ini adalah akhir kebebasan pers di Hong Kong. Banyak wartawan dan pemilik media arus utama yang ditangkap aparat keamanan. Kasus paling terkenal ialah pemberedelan tabloid Apple Daily dan penjerumusan pemilik, pemimpin redaksi, dan sejumlah redaktur ke penjara. Akibatnya, media-media yang lebih kecil memutuskan membubarkan diri.
Otoritas Hong Kong juga melarang peringatan Tragedi Tiananmen 1989. Ini adalah peristiwa unjuk rasa mahasiswa secara besar-besaran di Beijing menolak pemerintahan yang korup. Unjuk rasa ini kian membesar karena rakyat biasa ikut turun ke jalan-jalan. Pemerintah China menurunkan militer, termasuk tank, untuk membubarkan massa yang berakhir dengan ratusan orang tewas.
Tragedi ini selalu diperingati di Hong Kong dengan mengheningkan cipta massal dan pemutaran berbagai dokumenter mengenai Peristiwa Tiananmen. Sejak tahun 2021, aparat keamanan menangkapi orang-orang yang melakukan acara mengheningkan cipta, sekecil apapun. Praktis, Indeks kebebasan Pers Hong Kong terjun bebas. Pada tahun 2002, Hong Kong menempati peringkat ke-18 dari 180 negara. Di tahun 2021, merosot ke nomor 148.
Tidak hanya dunia pers yang terdampak, dunia pendidikan juga mengalami krisis. Kurikulum nasional China menjadi wajib diajarkan di semua jenjang sekolah. Data Dinas Pendidikan Hong Kong periode 2020-2021 mengungkapkan, ada 30.000 pelajar memutuskan keluar sekolah. Mereka memilih pindah untuk menempuh pendidikan di luar negeri. Dari segi guru sekolah negeri maupun swasta, ada 4.050 orang yang mengundurkan diri karena menolak mengikuti sistem pendidikan antidemokrasi tersebut.
Dari sisi bisnis juga mulai terlihat dampaknya. Hong Kong masih dianggap sebagai salah satu pusat ekonomi global. Akan tetapi, kian tidak nyamannya peraturan dari Pemerintah China membuat banyak perusahaan global angkat kaki. Mereka memilih pindah antara lain ke Singapura ataupun Seoul di Korea Selatan yang jauh lebih fleksibel. Selain itu, cara Pemerintah China menangani pandemi Covid-19 dengan penguncian wilayah secara ketat juga memukul perekonomian.
Imigrasi Hong Kong mencatat, di tahun 2020-2022 ada 23.078 ekspatriat meninggalkan Hong Kong. Pada saat yang sama, ada 10.073 warga dari berbagai negara yang memperoleh visa kerja di Hong Kong. Jumlah ini hanya sepertiga dari jumlah reguler ekspatriat yang datang ke wilayah itu.
Pemimpin Hong Kong John Lee mencanangkan program pemajuan ekonomi baru. Ia mengatakan agar Hong Kong jangan terlalu bergantung kepada perdagangan global. Sebagai gantinya, hong Kong akan dijadikan sebagai pusat inovasi teknologi dunia. Lee menargetkan bisa bekerja sama dengan berbagai pabrik di China untuk mewujudkan rencana tersebut. Pastinya, di tengah segala tekanan yang dilakukan untuk menghapus nilai-nilai demokrasi, Hong Kong masih bergolak di bawah tanah. (AP/AFP/Reuters)
Editor:
MUHAMMAD SAMSUL HADI, BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO