Beberapa negara dianggap secara internasional memiliki peraturan terbaik untuk hak pekerja migran. Akan tetapi, praktik berbicara lain.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·6 menit baca
Pandemi Covid-19 turut menguak sisi lain kisah para pekerja migran Indonesia. Di Hong Kong, misalnya, lonjakan kasus Covid di sana, yang terakhir sebanyak 26.908 kasus baru pada Senin (14/3/2022), sempat membuat warga panik dan bingung. ”Ada pekerja migran yang terinfeksi Covid-19, oleh majikan ia diminta melakukan isolasi mandiri di luar rumah, tetapi baru sehari di lokasi isolasi, ia diminta kembali ke rumah karena tidak ada yang mengurus orang lansia di rumah,” kata Dedi Kristanto, pendamping perburuhan di Hong Kong, menceritakan kisah mitranya.
Menurut dia, pekerja migran sempat menjadi ”korban” dari ledakan gelombang kelima Covid-19 di Hong Kong. Sejatinya, Dari segi aturan ketenagakerjaan, Hong Kong juga Taiwan tampak sebagai dua wilayah yang memiliki aturan paling setara dan komprehensif untuk pekerja migran. Akan tetapi, jika ditelisik lebih mendalam, aturan-aturan ini ternyata masih di atas kertas karena sering kali praktiknya belum ideal dan tidak berpihak kepada para pekerja.
Di Taiwan, tidak mudah bagi warganya untuk mempekerjakan tenaga kerja dari luar negeri, terutama di sektor informal seperti menjadi perawat lansia ataupun pengasuh anak. Ada berbagai persyaratan yang harus dipenuhi.
Bagi keluarga yang membutuhkan perawat lansia misalnya, harus bisa membuktikan secara medis bahwa lansia itu berusia di atas 86 tahun atau memang dinyatakan tidak bisa lagi mengurus diri sendiri secara fisik dan psikis. Anak dan cucu lansia tersebut harus menyertakan bukti keuangan bahwa mereka tidak mampu memasukkan kakek atau nenek ke panti jompo maupun menggaji perawat dari Taiwan.
Demikian pula untuk pengasuh anak. Harus ada bukti bahwa anak yang diasuh berumur di bawah tujuh tahun dengan kedua orangtua mencari nafkah serta sama sekali tidak ada anggota keluarga lain yang bisa membantu mengasuh. Hal ini membuat di Taiwan orang-orang yang bisa mempekerjakan pekerja migran di sektor domestik umumnya adalah masyarakat kelas menengah ke bawah. Perawat lansia misalnya, dibayar patungan oleh anak-anak dari lansia tersebut. Ketika formulir diserahkan ke Dinas Ketenagakerjaan Taiwan, akan disusul dengan inspeksi dari petugas dinas ke rumah calon majikan untuk memastikan kelayakannya.
Berdasarkan data Imigrasi Taiwan, per Februari 2022 ada 240.000 pekerja migran Indonesia (PMI), diantaranya 23.000 anak buah kapal (ABK), dan 26.000 PMI yang berstatus kabur dari majikan atau pabrik. Umumnya karena penganiayaan atau bisa juga visa mereka sudah habis, tetapi mereka tidak mau meninggalkan Taiwan.
"Secara garis besar, PMI yang kabur ini tidak membuat masalah sosial di Taiwan. Mereka biasanya bekerja secara ilegal di sektor pertanian di desa atau menjadi penjaga toko. Memang jika tertangkap petugas saat razia imigrasi mereka akan dideportasi ke Indonesia," kata Direktur Bagian Politik Kantor Ekonomi dan Perdagangan Taiwan di Jakarta, William Hsu pada hari Jumat (11/3/2022).
Taiwan juga bermaksud menawarkan 80.000 pekerja migran berpengalaman untuk bisa menjadi penduduk tetap per tahun 2030. Dilansir dari surat kabar The Strait Times, Perdana Menteri Taiwan Su Tseng-chang mengumumkannya pada pertengahan Februari. Aturan selama ini adalah pekerja migran bisa mencari nafkah di Taiwan maksimal selama 12 tahun.
"Syaratnya adalah sudah berpengalaman kerja di Taiwan secara legal selama paling kurang enam tahun," kata Su.
Belum ideal
Fajar Susmiati, Ketua Gabungan Pekerja Bersolidaritas yang merupakan organisasi PMI di Taiwan mengungkapkan bahwa di lapangan masih banyak pelanggaran terhadap pekerja migran, baik di sektor formal maupun domestik. Salah satu masalah utama ialah perawat lansia ataupun pengasuh anak dipaksa bekerja di pabrik dan sektor-sektor lain.
Contohnya ialah, PMI direkrut dan dilatih di Indonesia dengan alasan akan merawat lansia. Sesampai di Taiwan, ia memang ditugasi merawat lansia. Akan tetapi, lansia itu kebetulan memiliki usaha pertanian, peternakan, atau pabrik. Perawatnya juga diwajibkan melakukan pekerjaan industrial, sehingga ini sejatinya melanggar kontak kerja, jam kerja, dan jumlah gaji.
"Belum ada solusi, baik dari Indonesia maupun Taiwan. Kalau Taiwan memang perlu lebih banyak tenaga kerja di pertanian, semestinya dari awal bisa membuka rekrutmen khusus," kata Fajar. Selain itu, tidak ada pengecekan berkala dari disnaker setempat mengenai situasi kerja para pekerja migran. Hal ini yang membuat berbagai masalah di sektor domestik tidak terdeteksi.
Terdapat pula masalah yang berakar dari aturan formal itu sendiri. Asuransi kesehatan untuk pekerja domestik sebanyak 50 persen dibayar oleh majikan, 30 persen oleh Pemerintah Taiwan, dan 20 persen oleh pekerja. Permasalahannya, kuota 20 persen ini nominalnya naik setiap tahun sementara gari pekerja migran sektor domestik selama enam tahun terakhir stagnan.
"Pekerja domestik digaji 17.000 dollar Taiwan per bulan. Tidak ada kenaikan selama enam tahun ini. Bandingkan dengan buruh pabrik yang gaji awalnya 25.250 dollar per bulan dengan kenaikan setiap tahun," ujar Fajar. Pada akhirnya, gaji bersih pekerja domestik sangat kecil setelah dikurangi berbagai potongan.
Gaji ini dipotong untuk melunasi biaya rekrutmen dan pelatihan oleh Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) dan agen mitra di Taiwan. akan tetapi, setelah lunas, PMI masih harus membayar semacam biaya iuran kepada agen sebesar 1.800 dollar per bulan di tahun pertama, 1.700 dollar per bulan di tahun kedua, dan 1.500 dollar per bulan di tahun ketiga maupun seterusnya.
Menurut Fajar, pemotongan-pemotongan oleh agen ini tidak peka terhadap aturan pengupahan pekerja. Di samping itu, banyaknya pemotongan gaji tidak disertai dengan layanan dari agen. Jika pekerja sakit, agen akan mengantar mereka ke fasilitas kesehatan dan menyediakan penerjemah. Ini semua harus dibayar lagi oleh pekerja. Demikian pula dengan biaya pembaruan paspor maupun perpanjangan visa. Apabila diurus oleh agen akan dikenakan biaya tambahan.
"Pekerja domestik masih mempunyai pilihan untuk mandiri dan lepas dari agen selama dia memahami tata cara mengurus dokumen. Sebaliknya, pekerja formal seperti di pabrik justru tidak bisa lepas dari agen. Segala informasi lowongan kerja dipegang oleh agen dan tidak bisa diakses pekerja tanpa biaya tambahan apabila ia ingin pindah tempat kerja," tuturnya. Biaya-biaya tambahan ini tertera di aturan formal Taiwan. Berbagai organisasi pekerja migran masih berupaya melobi pemerintah untuk menghapus atau setidaknya menguranginya.
Masalah di Hong Kong
Sementara itu, Ketua Aliansi Migran Internasional (IMA) yang berbasis di Hong Kong, Eni Lestari, mengungkapkan bahwa di wilayah ini ada 150.000 PMI. Ini jumlah terbanyak kedua setelah pekerja migran Filipina yang berjumlah 180.000 orang.
"Jika di Taiwan masih ada persyaratan awal untuk penyaringan kelayakan calon majikan mempekerjakan pekerja migran, di Hong Kong tidak ada aturan semacam ini," ucapnya.
Selain itu, Pemerintah Hong Kong tidak memiliki subsidi untuk anak maupun lansia. Ini mengakibatkan, warga Hong Kong tergantung kepada pekerja migran untuk merawat lansia. Mereka menabung biaya pensiun khusus untuk menyewa pekerja migran.
Mirip dengan di Taiwan, pekerja yang semestinya merawat lansia kemudian diberi berbagai tugas tambahan seperti membersihkan seluruh rumah, mencuci kendaraan, dan menjaga hewan piaraan. Eni menekankan, sejatinya pekerja tidak keberatan melakukannya asalkan sejak awal agen dan majikan transparan dengan jenis pekerjaan, jam kerja, dan besar gajinya. Ketidakjujuran ini yang membuat pekerja merasa terperangkap.
"Aturan mengenai pekerja rumah tangga belum ada sehingga tidak ada gaji minimum. Semua tergantung negosiasi dengan majikan," tuturnya.
Kondisi pandemi Covid-19 membuktikan bahwa Hong Kong tidak siap menyediakan tempat isolasi mandiri. Majikan dengan rumah kecil dan kamar terbatas yang pekerjanya positif Covid-19 tidak memiliki tempat isolasi. Akibatnya, pekerjanya diusir dari rumah dan terpaksa menggelandang di emperan. Sebagian dari mereka diminta kembali oleh majikan setelah dua pekan, tetapi banyak juga yang dipecat begitu saja.
"Kasus ini belum ada yang menimpa PMI. Korban terbesar adalah dari Filipina. Situasi ini memperlihatkan lemahnya posisi pekerja migran di Hong Kong," kata Eni yang memimpin IMA, jaringan pekerja migran global di 30 negara.