Setelah Ungkap Kasus Covid-19 Pertama, Korut Sebut 350.000 Warganya Demam Misterius
Persebaran demam misterius di Korea Utara terpusat di ibu kota Pyongyang dan wilayah-wilayah sekitarnya. Pakar menyebutkan, pengumuman Korut soal kasus Covid-19 menunjukkan Pyongyang kali ini mau menerima bantuan luar.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
PYONGYANG, JUMAT — Dua negara yang tidak mengikuti program global vaksinasi Covid-19 akhirnya melaporkan adanya kasus positif dan juga kematian. Para ahli mengkhawatirkan bahwa tanpa adanya penanganan yang cepat, tepat, dan vaksinasi menyeluruh, akan muncul galur baru yang kian sulit dikendalikan.
Korea Utara (Korut) di Asia Timur dan Eritrea di Afrika adalah dua negara yang dikendalikan pemerintahan diktator. Kedua negara juga menghadapi berbagai sanksi ekonomi global. Keduanya juga menolak mengikuti program pengadaan vaksinasi Covid-19 global, Covax, yang dikelola oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kantor berita nasional Korut, KCNA, pada Kamis (12/5/2022) melaporkan bahwa awalnya Korut memantau persebaran demam misterius yang merebak sejak akhir bulan April lalu. Ada 350.000 orang yang terkena demam misterius itu, sebanyak 18.000 orang di antaranya diketahui demam pada Kamis kemarin. Disebutkan, 162.200 orang telah sembuh.
Selain itu, ada enam orang meninggal. ”Enam orang meninggal (salah satu dari mereka terkonfirmasi positif subvarian BA.2 Omicron),” demikian pernyataan KCNA.
Dari warga yang mengalami demam tersebut, 187.800 orang di antaranya dirawat di ruang isolasi. Tidak disebutkan, berapa jumlah orang yang telah terkonfirmasi positif Covid-19.
”Kita harus melakukan penanganan secara cepat dan tepat dengan program karantina negara,” kata Pemimpin Korut Kim Jong Un saat memimpin rapat darurat di Pyongyang. Di situ pula pertama kalinya Kim tampak mengenakan masker.
Meskipun demikian, Kim tetap memerintahkan semua proyek pembangunan berjalan, terutama di sektor pertanian dan infrastruktur. Ia mengatakan, semua kegiatan akan diatur agar mengurangi kontak fisik tanpa harus mengorbankan kinerja.
Korut memberlakukan penguncian wilayah (lockdown) secara nasional, Kamis (12/5/2022), setelah mengakui adanya kasus pertama Covid-19 setelah 2,5 tahun dunia dilanda pandemi. Laporan dari Pyongyang menyebutkan, sejumlah orang yang tak dirinci jumlahnya terkonfirmasi positif Covid-19 varian Omicron.
Parade militer 25 April
Kemungkinan besar, persebaran virus Covid-19 di negara itu dipercepat oleh kumpulan puluhan ribu orang saat parade militer besar-besaran di Pyongyang pada 25 April 2022. Saat itu, Kim Jong Un juga hadir. Cheong Seong-Chang, analis pada Sejong Institute, Korea Selatan, mengatakan bahwa kecepatan persebaran demam di kalangan warga Korut memperlihatkan krisis Covid-19 di negara itu bisa berlangsung berbulan-bulan, bahkan bisa juga hingga tahun 2023.
Beberapa pakar menyebutkan, pengumuman awal Korut mengenai kasus Covid-19 menunjukkan Pyongyang kali ini mau menerima bantuan dari luar. Sebelumnya, Korut menolak tawaran vaksin melalui program distribusi Covax yang didukung PBB, kemungkinan karena adanya pemantauan internasional atas berlangsungnya program tersebut.
Kementerian Unifikasi Korea Selatan, yang menangani urusan antarkedua Korea, mengatakan bahwa Korsel siap memberikan bantuan medis dan bantuan lain kepada Korut berdasarkan pertimbangan kemanusiaan.
KCNA melaporkan, Kim Jong Un telah mendapat penjelasan tentang kemunculan demam misterius di kalangan warganya saat ia berkunjung ke kantor pusat darurat pencegahan epidemi, Kamis (12/5/2022). Kim disebutkan mengritik para pejabat yang tidak mampu mencegah ”titik rentan dalam sistem pencegahan epidemi”.
Kim menyebutkan, persebaran demam misterius itu terpusat di ibu kota Pyongyang dan wilayah-wilayah sekitarnya. ”Adalah tantangan paling penting dan tugas terbesar yang dihadapi partai kami untuk memulihkan situasi krisis kesehatan masyarakat sedini mungkin, mengembalikan stabilitas pencegahan epidemi dan melindungi kesehatan serta keadaan rakyat kami,” ujar Kim, seperti dikutip KCNA.
Sementara itu, kantor berita All Africa mengutip surat edaran Kementerian Kesehatan Eritrea. Isinya ialah mengonfirmasi kasus positif Covid-19 pada 9.740 orang dan 103 kematian akibat virus SARS-CoV-2. Sebanyak 9.632 pasien dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang.
Menolak vaksinasi
Warga Korut dan Eritrea diperkirakan terjangkit Covid-19 galur Omicron, terutama jenis BA.2 yang kerap disebut ”stealth Omicron atau Omicron siluman” karena gejalanya lebih sukar dibaca. Kekhawatiran para pakar kesehatan global ialah Korut dan Eritrea sejak pandemi bermula pada tahun 2020 menolak segala jenis vaksinasi. Mereka menganggap bahwa ini adalah propaganda global, terutama Barat.
Presiden Eritrea Isaias Afwerki menolak ajakan negara-negara tetangga di Afrika untuk bergabung dengan Covax. Ia menyebar kabar di negaranya bahwa vaksinasi adalah program cuci otak Barat.
Korut lebih membingungkan. Ketika mereka menolak tawaran vaksin AstraZeneca dari Covax, para pakar kesehatan masih memaklumi. Akan tetapi, mereka juga menolak bantuan vaksin dari China, sahabat terdekat mereka. Saat itu, Kim Jong Un mengatakan bahwa lebih baik vaksin tersebut diberi kepada negara lain yang lebih membutuhkan karena mengalami ledakan kasus positif.
Walaupun begitu, dunia belum menyerah untuk membujuk kedua negara. Aliansi Vaksinasi dan Imunisasi Global (GAVI), yang bertanggung jawab menjalankan Covax, mengungkapkan bahwa jatah vaksin untuk Korut sudah habis karena diberikan ke negara-negara lain sebelum vaksin kedaluwarsa. Akan tetapi, jika Korut meminta, GAVI bisa segera mengupayakan stok baru.
Demikian pula dengan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika (Africa CDC). Direktur lembaga tersebut, Ahmed Ogwell, menuturkan kepada kantor berita China, Xinhua, bahwa target saat ini adalah mengembangkan lebih banyak pabrik vaksin Covid-19 di benua tersebut. Harapannya, jika vaksin bisa diproduksi di Afrika, penduduk benua tersebut bisa lebih mudah memperoleh akses vaksinasi dan memercayai prosesnya.
”Masalah di Korut dan Eritrea ini masalah dunia. Semakin lamban penanganannya, risiko munculnya galur Covid-19 baru semakin tinggi. Kita harus turun tangan semua,” kata Direktur Pusat Kebijakan Kesehatan Amerika Serikat (CHP) J Stephen Morrison kepada harian Washington Post. (AP/AFP/REUTERS/SAM)