Para Pemimpin Agama Keberatan Agama Dijadikan Alasan Menolak Vaksinasi
Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar Sheikh Ahmed al-Tayeb resah banyak umat berkedok alasan agama untuk menolak vaksinasi Covid-19. Paus Fransiskus, Sheikh Tayeb, dan Sheikh Ahmad Suddais menganjurkan vaksinasi.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
Setelah dua tahun pandemi Covid-19 dan setahun upaya vaksinasi di berbagai pelosok dunia, masih banyak orang menolak vaksinasi dengan alasan keagamaan. Padahal, para imam dan pemimpin agama di berbagai negara telah mendorong umat untuk menerima vaksinasi.
Setahun setelah menerima vaksin dosis pertama, Paus Fransiskus mengatakan bahwa menerima vaksinasi adalah kewajiban moral. Ia menyebut, menolak vaksinasi dapat disebut sebagai tindakan bunuh diri. ”Setiap orang berkewajiban menjaga dirinya. Juga menjaga kesehatan orang di sekitar kita. Itu kewajiban moral,” katanya pada 10 Januari 2022.
Pada pertengahan Februari 2022, Vatikan kembali menggemakan sikap Paus Fransiskus. Paus menyesalkan masih banyak orang yang meyakini vaksin bertentangan dengan agama. ”Memang vaksin bukan solusi ajaib. Walakin, seperti sudah terbukti, ini adalah solusi paling masuk akal untuk mencegah penyakit,” katanya.
Sebelumnya, Imam Besar Al Azhar Sheikh Ahmed al-Tayeb juga bolak-balik mengatakan bahwa vaksinasi amat penting. Ia resah dengan penolakan yang menyebar di berbagai negara. Apalagi, penolakan itu menggunakan alasan agama. Sheikh Tayeb dan banyak ulama sudah divaksinasi Covid-19.
Pengelola Masjidil Haram di Mekkah, Arab Saudi, berkali-kali juga menyiarkan video para imam, termasuk Imam Besar Masjidil Haram Sheikh Ahmad Suddais, divaksinasi. Sheikh Suddais juga berulang kali menganjurkan agar umat Muslim divaksinasi. Bahkan, Pemerintah Arab Saudi melarang calon jemaah haji dan umrah datang jika belum mendapat vaksinasi lengkap.
Sheikh Tayeb dan Paus Fransiskus berulang menunjukkan keberatan apabila agama dijadikan alasan menolak vaksinasi. Di Asia, Amerika, dan Eropa, ribuan orang menolak divaksinasi dengan alasan bertentangan dengan keyakinannya. Selain karena keterbatasan vaksin, penolakan karena alasan agama menjadi salah satu hambatan vaksinasi. Wajar apabila Sheikh Tayib dan Paus Fransiskus resah.
Seorang pastor di New York, AS, Alexander Santora, mengaku berkali-kali dimintai dukungan untuk menolak vaksinasi karena alasan tidak diizinkan agama. ”Saya menolak semua permintaan,” ucapnya.
Keuskupan Agung Kristen Ortodoks Amerika Serikat telah menegaskan tidak mendukung penolakan itu. Salah satu gereja baptis besar di Dallas, AS, juga memberikan penolakan serupa.
”Karena tidak ada alasan jelas di Injil yang menolak vaksin, kami menolak memberikan pengecualian. Mungkin ada yang keberatan karena alasan politis atau medis atas kewajiban vaksin, walakin hal itu bukan alasan untuk mendapat dukungan penolakan vaksinasi karena alasan agama,” kata Robert Jeffress, salah satu tokoh Gereja Baptis Dallas.
Sementara Dewan Gereja Episkopal AS secara tegas mendukung kewajiban vaksinasi. Mereka mengajukan alasan seperti Jeffress. ”Tidak ada penolakan gereja Katolik terhadap semua jenis vaksin Covid-19,” kata Michael Deem, pengajar bioetika dan genetika pada University of Pittsburgh.
Seorang teolog AS, Curtis Chang, mengaku resah dengan rendahnya vaksinasi di antara umat Kristiani berkulit putih di AS. ”Mencari alasan agama untuk menolak vaksinasi adalah upaya pembajakan demi membenarkan sikap politik dan ini berbahaya. Tidak ada satu pun alasan di Injil membenarkan penolakan vaksinasi,” ujarnya.
Sejumlah pastor diketahui tidak mau mendukung penolakan vaksinasi. Akan tetapi, mereka ditekan oleh umat paroki agar mendukung penolakan. ”Saya mengajak mereka tidak mendukung (anti-vaksinasi),” tutur Chang.
”Manuver itu bisa menjadi ancaman jangka panjang pada kebebasan beragama. Sebab, banyak pihak akan menolak mempekerjakan orang-orang yang taat beribadah gara-gara sebagian dari mereka menolak divaksinasi atau menolak mematuhi aturan dengan alasan tidak sesuai dengan agama,” lanjut Chang.
Akses tidak merata
Sheikh Tayeb dan Paus Fransiskus juga menyoroti ketidakmerataan akses terhadap vaksin. Sorotan serupa disampaikan Amnesty International. Lembaga itu mengungkap, 10 miliar dosis vaksin diproduksi sepanjang 2021 atau cukup untuk mencapai 40 persen target vaksinasi yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Sayangnya, temuan di lapangan menunjukkan hal sebaliknya.
”Hanya 4 persen penduduk negara berpendapatan rendah yang sudah mendapat vaksinasi lengkap,” demikian pernyataan Amnesty International, Senin (14/2/2022).
Seharusnya, jumlah yang bisa divaksinasi bisa lebih banyak. ”Kala negara maju menimbun vaksin, menghambat pasokan ke negara miskin, perusahaan farmasi seharusnya bisa berperan mengurangi ini. Mereka bisa menjadi pahlawan. Sayangnya, mereka memunggungi orang-orang yang sangat membutuhkan vaksin dan memilih mengutamakan keuntungan,” kata Direktur Penelitian dan Pendampingan Amnesty International Rajat Khosla.
Ia mengajak komunitas internasional bekerja sama mencapai target vaksinasi lengkap bagi 70 persen populasi global pada pertengahan 2022. Jika tidak, target pengendalian pandemi tidak akan kunjung tercapai. (AFP/AP)