Analisis terhadap 60 miliar cuitan di Twitter secara global menunjukkan penolak vaksin memiliki kelompok sendiri dan kerap merujuk tayangan Youtube atau situs berita palsu.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penelitian terbaru menunjukkan bahwa informasi yang salah di media sosial berkontribusi pada penolakan. Analisis terhadap 60 miliar cuitan di Twitter secara global menunjukkan, penolak vaksin memiliki kelompok sendiri dan kerap merujuk tayangan Youtube atau situs berita palsu.
Penelitian tentang dampak penyebaran misinformasi tentang vaksin di media sosial ini dilakukan Kajian Bjarke Mønsted dan Sune Lehmann dari Technical University of Denmark yang diterbitkan dalam jurnal PLOS One edisi Februari 2022.
”Pendukung vaksin sering merujuk ke media berita dan situs sains ketika berbagi pengetahuan tentang vaksin di Twitter. Sementara itu, kita dapat melihat bahwa profil milik antivaksin jauh lebih sering membagikan tautan ke video Youtube dan ke situs yang diketahui menyebarkan berita palsu dan teori konspirasi,” kata Mønsted, ahli matematika dan komputer, sebagaimana dirilis di laman Technical University of Denmark ini pada Sabtu (19/2/2022).
Menurut dia, profil penolak vaksin sering menautkan ke situs komersial yang menjual produk kesehatan alternatif. ”Ini mengejutkan mengingat keraguan vaksin sering kali berasal dari ketakutan akan konflik kepentingan finansial. Terutama karena penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa 12 orang secara global bertanggung jawab atas kesalahan informasi vaksin, termasuk orang-orang yang memperoleh kekayaan dari penjualan produk kesehatan alternatif,” katanya.
Bersama Sune Lehmann yang ahli sistem kognifik, Mønsted telah menganalisis sekitar 60 miliar tweet yang ditulis sebelum pandemi untuk memahami perdebatan tentang vaksin yang berlangsung di Twitter.
Menggunakan metode yang baru dikembangkan di bidang kecerdasan buatan yang disebut deep learning (pembelajaran mendalam) dan natural language processing (pemrosesan bahasa alami), para peneliti menggunakan komputer untuk mengidentifikasi pandangan tentang vaksin yang diungkapkan dalam tweet yang diberikan.
Dalam melakukannya, mereka mengidentifikasi pengguna yang secara konsisten menyatakan pandangan yang kuat mendukung (provax) atau menentang vaksin (antivax) dan dari sumber mana profil membagikan informasi vaksin mereka. Pekerjaan mereka menunjukkan bahwa 22,5 persen tweet terkait vaksin dari kelompok antivax tertaut ke video Youtube.
Para peneliti kemudian mengelompokkan sumber ke dalam lima kategori, yaitu situs yang dikenal untuk berbagi pseudosains dan teori konspirasi, situs berita, media sosial, dan Youtube (yang diberi kategori sendiri karena banyaknya tautan), dan terakhir, situs komersial yang berkaitan dengan obat-obatan dan kesehatan.
Profil milik antivaksin jauh lebih sering membagikan tautan ke video Youtube dan ke situs yang diketahui menyebarkan berita palsu dan teori konspirasi.
Penelitian ini mengonfirmasi efek ruang gema, yang mempersulit pendukung dan penentang vaksin untuk mendiskusikan pandangan satu sama lain di internet. Ini karena algoritma media sosial memastikan bahwa orang cenderung berinteraksi dengan orang lain yang pendapatnya selaras dengan pendapat mereka sendiri.
”Faktanya, kami menemukan bahwa sumber informasi, yang diekspos orang di jejaring sosial mereka sangat bergantung pada sikap mereka sendiri terhadap vaksin,” kata Bjarke Mønsted.
Youtube telah menyatakan mereka bakal menghapus video dan beberapa pengguna terkenal yang salah mengklaim bahwa vaksin Covid-19 berbahaya. Raksasa berbagi video Youtube juga telah melarang posting yang menyebarkan mitos palsu seputar perawatan virus korona, termasuk yang membagikan klaim tidak akurat tentang vaksin Covid-19.
”Kami terus melihat klaim palsu tentang vaksin virus korona menyebar ke informasi yang salah tentang vaksin secara umum,” kata Youtube dalam sebuah pernyataan pada 29 September 2021.
Youtube mengklaim telah menghapus lebih dari 130.000 video dalam setahun terakhir karena melanggar kebijakan vaksin Covid-19. Kebijakan vaksin Covid-19 ini mengacu pada vaksin yang disetujui dan dikonfirmasi aman dan efektif oleh otoritas kesehatan setempat dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Sebelumnya, investigasi AFP juga menemukan bahwa sejumlah selebritas media sosial menjalankan perusahaan luas berdasarkan aktivisme antivaksin, meremehkan masker dan pengujian, serta menyangkal bahwa Covid-19 itu nyata. Bahkan, ada seorang dokter osteopathic berbasis di Florida menjadi penyebar misinformasi daring virus korona yang paling berpengaruh.
Sekalipun data menunjukkan bahwa Youtube menjadi rujukan banyak penolak vaksin, Mønsted dan Lehmann menyatakan, tanggung jawab untuk melawan informasi keliru ini tidak hanya terletak pada raksasa teknologi ini, tetapi juga media massa arus utama.
”Penelitian dengan jelas menunjukkan bahwa memerangi misinformasi adalah tanggung jawab bersama. Adalah penting bahwa outlet media massa tidak menciptakan ’keseimbangan yang salah’ dengan memberi argumen yang sama, atau bahkan lebih, dan memberi waktu tayang untuk antivaksin yang tidak didukung oleh literatur ilmiah. Media tidak boleh menggambarkan informasi medis dan informasi yang salah sebagai pandangan yang setara,” kata Bjarke Mønsted.
Lehmann juga berharap metode baru yang ia dan Bjarke Mønsted kembangkan dan gunakan untuk menganalisis miliaran cuitan atau tweet ini dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang diskusi vaksin selama pandemi dan di masa depan.