Standardisasi Protokol Kesehatan Global Diperlukan
Selain mendorong penguatan sistem kesehatan global, ”health working group” untuk forum G20 juga mendorong standardisasi protokol kesehatan antarnegara, antara lain dengan penggunaan sertifikat vaksin digital.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kelompok kerja kesehatan atau health working group G20 akan membahas standardisasi protokol kesehatan. Salah satu isu utamanya adalah penerapan sertifikat vaksin sebagai dokumen perjalanan.
Pembahasan topik ini akan dilakukan dalam forum diskusi pertama pada akhir Maret 2022 di Yogyakarta. Kementerian Kesehatan masuk dalam kelompok kerja kesehatan G20 tersebut.
Sekretaris Direktorat Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, harmonisasi standar kesehatan global diperlukan. Pintu-pintu negara mesti dijaga untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit. Hal ini berkaca dari penyebaran Covid-19 varian Omicron yang kini terjadi di lebih dari 150 negara.
Ini agar sertifikat diakui negara lain, utamanya negara-negara G20.
Penyebaran virus pada akhirnya menghambat penanangan pandemi. Selain itu, upaya membangkitkan kembali ekonomi global pun terkendala. Itu sebabnya, sertifikat digital vaksinasi Covid-19 mesti jadi dokumen perjalanan antarnegara.
”Namun, negara-negara lain menggunakan sertifikat digital ini dengan cara yang berbeda-beda, begitu pula mekanisme verifikasinya. Akibatnya, tidak sedikit sertifikat yang tidak dikenali karena masih perlu perjanjian resmi antarnegara,” kata Nadia secara daring, Rabu (23/3/2022).
Bahasan tentang panduan teknis perjalanan internasional akan dibawa pada forum health working group (HWG). Selain itu, harmonisasi sertifikat vaksin Covid-19 akan dilakukan dengan European Union Digital Covid Certificate. Panduan perjalanan udara akan dibahas dengan International Civil Aviation Organization.
Sistem kesehatan terpadu penting digunakan di pintu-pintu masuk negara. Adapun Indonesia menggunakan aplikasi Peduli Lindungi untuk itu. Menurut Nadia, aplikasi tersebut sudah diintegrasikan ke sistem kesehatan negara lain.
”Pada HWG pertama nanti, kita perlu mencapai kesepakatan antarnegara untuk pengenalan dan verifikasi sertifikat vaksin. Ini agar sertifikat diakui negara lain, utamanya negara-negara G20. Protokol ini bisa juga menjadi percontohan (penanganan) penyakit menular lain yang bisa dicegah dengan vaksinasi,” tuturnya.
Isu lain
Selain standardisasi protokol kesehatan global, HWG juga membahas penguatan sistem kesehatan global. Pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa sistem kesehatan saat ini tidak cukup untuk memfasilitasi koordinasi, ketahanan, kapasitas, hingga pembiayaan untuk menangani krisis kesehatan.
Ketimpangan kemampuan setiap negara dalam mengatasi pandemi pun tampak jelas. Tidak semua negara mampu melakukan surveilans penyakit. Persiapan untuk merespons kemungkinan wabah pun tidak optimal.
”Negara G20 perlu berkolaborasi untuk membangun sistem kesehatan yang lebih inklusif, responsif, kooperatif, dan tangkas menghadapi berbagai isu kesehatan. Pemimpin negara G20 juga mesti mendukung percepatan akses ke perawatan, sarana, dan prasarana pencegahan Covid-19, seperti alat tes, alat kesehatan, dan vaksin,” kata Nadia.
Ketimpangan akses kesehatan, antara lain, tampak dari ketersediaan vaksin. Pada Januari 2021, Uni Eropa tercatat telah membeli 1,6 miliar dosis vaksin Covid-19 atau setara 3,5 dosis vaksin untuk setiap orang. Inggris membeli 367 juta dosis vaksin yang setara 5,5 dosis per orang.
Adapun Kanada membeli 362 juta dosis vaksin atau setara 9,6 dosis per orang. Sementara itu, Afrika tercatat membeli 270 juta vaksin yang setara hanya 0,2 dosis vaksin per orang.
Sebelumnya, Koordinator Kelompok Kerja Akses Vaksin dan Kesehatan Global C20 Agung Prakoso mengatakan, inisiatif distribusi vaksin, seperti Covax, belum efektif. Ini karena Covax hanya menyediakan 20 persen dari kebutuhan vaksin di suatu negara. Padahal, kebutuhan vaksin satu negara setidaknya 70-80 persen.
Sementara itu, Ketua C20 Indonesia Sugeng Bahagijo mendorong agar investasi di sektor kesehatan diperkuat, misalnya dengan menambah anggaran belanja kesehatan. Menurut data Akun Kesehatan Nasional (National Health Account) Indonesia tahun 2018 yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan, proporsi belanja kesehatan Indonesia di sektor publik terhadap produk domestik bruto (PDB) 2017 sebesar 1,6 persen.
Angka ini tergolong rendah dibandingkan negara berpendapatan menengah lain, seperti Timor Leste (2,2 persen dari PDB), serta Malaysia, China, dan Thailand (sekitar 3,2 persen dari PDB) (Kompas, 3/12/2020).