Dorong Akses Vaksin Covid-19 ke Negara-negara Miskin
Pemerataan vaksin secara adil ke semua negara bisa dicapai dengan sejumlah skema. Misalnya, donasi, alih teknologi, dan penangguhan paten.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
BADUNG, KOMPAS – Civil 20 atau C-20, kelompok masyarakat dalam forum G-20, membahas berbagai skema agar semua negara memiliki akses terhadap vaksin Covid-19. Pemerataan vaksin bisa melalui donasi, alih teknologi, hingga penangguhan paten vaksin.
Pandemi Covid-19 memperjelas ketimpangan akses kesehatan global. Menurut Koordinator Kelompok Kerja Akses Vaksin dan Kesehatan Global C-20 Agung Prakoso, Afrika menjadi wilayah dengan capaian vaksinasi Covid-19 terkecil, yakni kurang dari 10 persen dari total populasi.
“Di sisi lain, negara maju telah memberi vaksinasi penguat (booster) ke penduduknya,” kata Agung pada salah satu diskusi C-20 di Badung, Bali (8/3/2022). “C-20 akan menyampaikan beberapa isu prioritas (ke G-20), yaitu perluasan akses vaksin,” tambahnya.
Salah satu penyebab ketimpangan tersebut adalah perbedaan daya beli vaksin antara negara maju dan berkembang. Pada Januari 2021, Uni Eropa tercatat telah membeli 1,6 miliar dosis vaksin Covid-19 atau setara 3,5 dosis vaksin untuk setiap orang. Inggris membeli 367 juta dosis vaksin yang setara 5,5 dosis per orang.
Adapun Kanada membeli 362 juta dosis vaksin atau setara 9,6 dosis per orang. Sementara itu, Afrika tercatat membeli 270 juta vaksin yang setara hanya 0,2 dosis vaksin per orang.
C-20 pun mendorong agar akses vaksin diperluas, khususnya ke negara-negara miskin. Komite Penasihat Internasional C-20 Guillermina Alaniz mengatakan, donasi vaksin adalah opsi terbaik. Pemerataan vaksin juga bisa dicapai dengan menyediakan akses pembiayaan dan berbagi teknologi.
Cara lain adalah dengan mendorong produksi vaksin secara mandiri. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun membuat pusat alih teknologi vaksin mRNA (vaccine hub) agar negara berpendapatan rendah dan menengah bisa memproduksi vaksin sendiri. Beberapa negara telah ditunjuk WHO sebagai penerima alih teknologi mRNA, antara lain Mesir, Kenya, Nigeria, Afrika selatan, begitu pula Indonesia.
Menurut Staf Ahli Menteri Kesehatan Ronaldus Mujur, dibentuknya pusat vaksin mendorong pemerataan vaksin, khususnya di belahan bumi selatan. Pemerataan ini mesti disertai penguatan sistem kesehatan.
Pandemi dan ketimpangan akses vaksin mengindikasikan ketamakan sejumlah negara. Padahal, lebih dari tiga juta orang di dunia meninggal setelah Covid-19 varian Omicron merebak. Kematian sesungguhnya bisa dicegah dengan vaksin.
Ia menyebut bahwa layanan kesehatan primer di sejumlah negara berpenghasilan rendah dan menengah belum memadai. Akibatnya, penyerapan vaksin tidak maksimal. Vaksin pun kedaluwarsa sebelum sempat disuntikkan ke penduduk.
“Walau ada vaksin, suatu negara tetap akan kesulitan jika sistem kesehatannya tidak siap. Kementerian Kesehatan akan fokus ke penguatan layanan kesehatan primer di Indonesia ke depan,” kata Ronaldus.
Skema pemerataan vaksin lain yang diajukan adalah Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) Waiver. Proposal ini diajukan India dan Afrika Selatan dalam forum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 2020. Proposal ini berisi permintaan penangguhan sejumlah ketentuan, seperti hak kekayaan intelektual atau paten dan desain industri. Tujuannya adalah agar akses vaksin merata dan mempercepat penanganan pandemi.
Perwakilan People’s Vaccine Alliance dan Oxfam India, Anjela Taneja, mengatakan, pandemi dan ketimpangan akses vaksin mengindikasikan ketamakan sejumlah negara. Padahal, lebih dari tiga juta orang di dunia meninggal setelah Covid-19 varian Omicron merebak. Kematian sesungguhnya bisa dicegah dengan vaksin.
Perwakilan Third World Network, Leena Menghaney, merekomendasikan dukungan terhadap TRIPS Waiver diangkat saat G-20. Saat ini, ada beberapa negara anggota G-20 yang menolak proposal ini, yakni Jerman, Perancis, Korea Selatan, Jepang, dan Inggris.
“Isu tersebut perlu direfleksikan dalam negosiasi internasional. G-20 bisa memfasilitasi hal ini,” tutur Menghaney.
Sebenarnya ada sejumlah mekanisme untuk memastikan pemerataan vaksin secara global, yakni Access to Covid-19 Tools (ACT) Accelerator dan Covax. Namun, menurut perwakilan Kelompok Kerja Akses Vaksin dan Kesehatan Global C-20 Lutfiyah Hanim, mekanisme ini belum sepenuhnya efektif.
“Dukungan vaksin melalui pembiayaan masih jauh dari harapan sehingga sejumlah negara mesti berutang ke Bank Dunia dan IMF untuk mendapatkan vaksin,” ujarnya.
Menurutnya, ada sejumlah hal yang bisa dilakukan G-20 untuk mendukung pemerataan vaksin, salah satunya mendukung TRIPS Waiver. Ia juga mendorong agar G-20 menunjukkan komitmen politik untuk pemerataan vaksin. “Saya pikir G-20 belum memiliki political will karena komitmennya selama ini di atas kertas,” katanya.