Dalam Krisis Rusia-Ukraina, ASEAN Jangan Berpangku Tangan
Asia Tenggara ikut memikul dampak serangan Rusia ke Ukraina. ASEAN perlu berpartisipasi aktif, mulai dari menyatakan sikap tegas hingga mengupayakan perdamaian Rusia-Ukraina. ASEAN diyakini membawa perspektif berbeda.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Invasi yang dilakukan oleh Rusia ke Ukraina berdampak pada wilayah Asia Tenggara meskipun mungkin tidak secara langsung, seperti dampak yang dirasakan di Eropa. Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN juga tidak boleh berdiam diri. Selain diperlukan ketegasan mengecam Rusia atas pelanggaran kedaulatan yang dilakukan negara itu, ASEAN juga harus bermain aktif mengupayakan perdamaian.
Pandangan tersebut mengemuka dalam diskusi daring mengenai krisis Rusia-Ukraina dari perspektif Asia Tenggara yang diadakan oleh Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) di Jakarta, Rabu (2/3/2022). Turut hadir sebagai narasumber Dekan FIS UIII Philips J Vermonte dan Wakil Ketua Dewan Pengawas Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jusuf Wanandi.
”Krisis ini sebenarnya sudah diperkirakan sejak 30 tahun lalu. Para pakar politik internasional telah menduga bahwa ekspansi NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) yang semakin ke timur dan mendekati perbatasan dengan Rusia akan membawa kekacauan,” kata Kishore Mahbubani, Direktur Program Perdamaian Asia Universitas Nasional Singapura.
”Sangat disayangkan bahwa sedari awal tidak ada solusi yang memberi jalan kompromi bagi semua pihak, misalnya memastikan bahwa Ukraina menjadi negara yang netral dan tidak bergabung dengan blok keamanan mana pun,” lanjut Mahbubani.
Saat ini, lanjut Mahbubani, keberadaan lembaga-lembaga internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, seolah tidak banyak membantu. Alasannya, secara sistematik, negara-negara maju sendiri tidak memperkuat PBB beserta lembaga-lembaga di bawahnya. Selain itu, mayoritas pendekatan yang dilakukan oleh lembaga internasional di Barat juga sangat kental dengan perspektif Barat.
”Kita tidak boleh menafikan kedekatan ASEAN dengan berbagai pihak. Memang, ASEAN menghadapi kritik karena menggunakan budaya musyawarah dan mufakat yang memakan waktu lama. Akan tetapi, ini pula kekuatan ASEAN yang membuat lembaga ini didengarkan,” kata Mahbubani.
Invasi Rusia ke Ukraina sudah berlangsung sejak Kamis, 24 Februari 2022. Pertempuaran masih berlangsung di kota-kota besar Ukraina, seperti ibu kota Kiev dan Kharkiv. Komisi Tinggi untuk Pengungsi PBB (UNHCR) menghitung ada 660.000 warga Ukraina yang mengungsi ke negara-negara tetangga. Perundingan antara Rusia dan Ukraina di kota Gomel, Belarus, belum mencapai titik terang.
Dalam pernyataan, Sabtu (26/2/2022), tanpa menyebut nama ”Rusia”, para menteri luar negeri ASEAN menyampaikan keprihatinan mendalam atas situasi yang berkembang dan permusuhan bersenjata di Ukraina. ”Kami menyerukan kepada pihak-pihak terkait untuk menahan diri secara maksimal dan berupaya keras menempuh dialog melalui semua saluran, termasuk saluran diplomatik untuk menjaga situasi, mendeeskalasi ketegangan, dan mencari solusi damai sesuai dengan hukum internasional, prinsip-prinsip Piagam PBB dan Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara,” demikian pernyataan menlu ASEAN.
”Menjadi tanggung jawab semua pihak untuk mempertahankan prinsip-prinsip saling menghormati kedaulatan, integritas teritorial, dan kesamaan hak-hak bagi semua negara,” lanjut pernyataan tersebut.
ASEAN mengutamakan konsensus di kalangan 10 negara anggotanya dan cenderung bersikap konservatif dalam isu-isu global. Blok tersebut terlibat dengan Rusia, sebagai salah satu mitra wicara, dalam pertemuan tahunan membahas isu-isu politik, keamanan, dan ekonomi.
Di antara negara ASEAN, Singapura telah mengumumkan akan menjadi negara pertama di ASEAN yang ikut menjatuhkan sanksi kepada Rusia. Adapun Indonesia, yang kerap disebut-sebut sebagai pemimpin tradisional ASEAN, dalam lima poin pernyataan, Jumat (25/2/2022), menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia tanpa menyebut kata ”Rusia” menyatakan bahwa ”serangan militer di Ukraina tidak dapat diterima”.
Menurut Mahbubani, ASEAN bisa memosisikan diri menjadi partisipan yang aktif dan membawa perspektif berbeda dalam krisis internasional ini. ASEAN selama 30 tahun terbukti bisa menjaga kestabilan kawasan Asia Tenggara. Sifat ASEAN ialah bekerja dalam diam sehingga tidak menyinggung pihak-pihak lain dengan langkah yang sensasional.
”Contoh prestasi ASEAN ialah penandatanganan Kerja Sama Ekonomi Regional Komprehensif (RCEP) yang melibatkan negara-negara yang bahkan susah dikumpulkan oleh Amerika Serikat sekalipun. Akan tetapi, ASEAN bisa membawa semuanya di dalam pakta perdagangan bebas tanpa banyak kendala yang berarti,” ujarnya.
Perkataan Mahbubani ini sejalan dengan pendapat pakar politik luar negeri Universitas De La Salle, Filipina, Charmaine Willoughby. Dalam pemaparannya, ia mempertanyakan relevansi lembaga-lembaga internasional yang dibangun pasca-Perang Dunia II. Berbagai kerja sama keamanan yang ada di belahan Bumi Barat justru lebih banyak memicu konflik dibandingkan dengan meredamnya.
Krisis ini membuat publik mempertanyakan penggunaan dan penyalahgunaan kekuasaan, terutama melalui pendekatan unilateral yang kerap dipakai oleh negara ataupun organisasi adidaya. Strategi Rusia untuk mengejutkan dunia ini tentu akan memiliki pengaruh besar dalam sistem keamanan di Eropa dan Barat pada umumnya.
Ini akan sangat berpengaruh kepada pemilihan presiden tahun 2024 di Amerika Serikat. Terlepas yang memenangi adalah orang dengan pandangan diskriminatif atau tidak, susunan keamanan di Barat berubah total dengan invasi Rusia ini,” kata Willoughby.
Dampak di Asia Tenggara
Di Asia Tenggara, dampak yang paling awal dirasakan ialah kenaikan harga barang. Rusia dan Ukraina merupakan negara pengekspor gandum terbesar di dunia. Kelangkaan gandum akibat konflik akan membuat pasokan untuk pakan ternak maupun pangan di Asia Tenggara berkurang. Oleh sebab itu, harga-harga barang akan mengalami kenaikan. Bahkan, harga minyak mentah sudah menembus 100 dollar AS per barel akibat konflik ini.
Sementara itu, peneliti senior Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew, Evan Laksmana, menekankan agar ASEAN, walaupun penting, tetap jangan dianggap sebagai obat untuk segala penyakit. Sudah waktunya bagi Asia Tenggara untuk melihat apakah ASEAN memang kendaraan yang cocok untuk dibawa menjadi penjaga perdamaian global atau justru harus dicari rumus ataupun entitas yang lain.
”Langkah pertama yang patut diambil ialah ketegasan ASEAN terhadap krisis Rusia-Ukraina,” ujar Evan.
”Baru beberapa negara anggota ASEAN yang mengeluarkan kecaman. Apabila ternyata ASEAN bukan medium yang cocok, tidak usah dipaksakan. Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara semestinya bisa mencari medium lain yang cocok atau khusus dibuat untuk menangani krisis ini,” kata Evan.