Perantara Dua Saudara, Peran yang Bisa Dimainkan Indonesia dalam Krisis Ukraina
Jakarta perlu mendorong Kiev-Moskwa segera menghentikan perang. Netralitas dan politik luar negeri yang bebas aktif harus diterjemahkan menjadi pendorong perdamaian, serta penentang perang dan agresi negara lain.
Perang Rusia-Ukraina telah berlangsung sepekan pada Rabu (2/3/2022) ini. Di tengah korban yang terus bertambah, Kiev-Moskwa sepakat mulai berunding. Indonesia memiliki sejumlah modal sekaligus kepentingan untuk mendorong perdamaian kedua negara yang sebenarnya masih saudara serumpun bangsa Slav itu.
Mantan Duta Besar RI di Kiev, Yuddy Chrisnandi, mengatakan bahwa Indonesia dirugikan jika perang Rusia-Ukraina terus berlangsung. “Hingga 90 persen ekspor Indonesia masuk lewat pelabuhan Odessa,” ujarnya dalam wawancara khusus dengan Kompas, Selasa (1/3/2022).
Pelabuhan Odessa berlokasi di Ukraina selatan dan bertepi ke Laut Hitam, berjarak sekitar 500 kilometer sebelah selatan ibu kota Kiev. Yuddy bertugas menjadi Duta Besar RI untuk Ukraina pada 2017-2021.
Dalam wawancara, Agustus 2021, saat masih menjabat sebagai Duta Besar RI di Kiev, Yuddy menjelaskan, Pelabuhan Odessa menjadi pintu perdagangan komoditas asal Indonesia ke pasar Eropa. Volume perdagangan Indonesia-Ukraina pada 2020 senilai 1,18 miliar dollar AS. Hampir 70 persen ekspor Indonesia ke Ukraina berupa produk sawit.
Baca juga : Membuka Gerbang Eropa dari Odessa
Selama serangan Rusia ke Ukraina, kota Odessa--bersama kota pelabuhan Mariupol di sisi timur--menjadi salah satu target serangan utama pasukan Moskwa. Ukraina berupaya menggunakan apa saja untuk menghentikan gerak laju pasukan Rusia. Di jalan raya antara Odessa dan Mykolaiv, misalnya, seperti dilaporkan kantor berita Associated Press, Selasa (1/3/2022), warga menumpuk ban-ban traktor yang diisi dengan pasir, ditambah kantung-kantung pasar, guna menghambat laju pasukan Rusia.
Mantan Duta Besar RI Moskwa, Wahid Supriyadi, juga menjadi narasumber dalam wawancara khusus. Wahid bertugas sebagai Duta Besar RI untuk Rusia tahun 2016-2020. Bersama Yuddy, ia memaparkan berbagai aspek terkait perang yang berlangsung sejak 24 Februari 2022 dini hari itu.
Baca juga Ukraina, Korban Adu Kuasa Adidaya
Yuddy mengatakan, rudal-rudal Rusia menyasar Odessa yang merupakan pelabuhan utama Ukraina di Laut Hitam. Sejumlah kapal sipil milik negara lain di pelabuhan itu juga terkena rudal Rusia. Arsenal Moskwa juga menyasar berbagai infrastruktur penunjang perdagangan internasional Ukraina. “Harga berbagai komoditas sudah naik,” ujarnya.
Wahid mengatakan, paling tidak ada tiga peluang perkembangan perang itu. Pertama, pemerintah Ukraina menyerah dan berjanji tidak bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Kedua, pemerintahan Ukraina digulingkan dan diganti dengan yang berpihak ke Ukraina. Ketiga, dampak sanksi ekonomi Barat terhadap Rusia menekan kelas bawah Rusia.
“Orang-orang yang dekat dengan Putin (Presiden Rusia Vladimir Putin) sudah menyatakan kritik (terhadap perintah serangan Rusia ke Ukraina,” ujarnya.
Peran Indonesia
Jika perang terus berlanjut, menurut Yuddy, Indonesia sebagai produsen sekaligus konsumen bisa terdampak. Karena itu, Jakarta perlu mendorong agar Kiev-Moskwa segera menghentikan perang. Netralitas dan politik luar negeri yang bebas aktif harus diterjemahkan menjadi pendorong perdamaian, serta penentang perang dan agresi terhadap negara lain.
Menurut Yuddy, penolakan penentangan perang dan agresi demi mewujudkan amanat konstitusi Indonesia. Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dengan jelas dicantumkan kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan penjajahan harus dihapuskan. Pembukaan itu juga mencantumkan tujuan pembentukan Indonesia antara lain untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi.
Serbuan Rusia ke Ukraina bukan hanya tidak sesuai dengan itu. Serangan Moskwa juga melanggar pasal 2 ayat 4 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Seluruh anggota PBB dilarang mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap keutuhan wilayah atau kemerdekaan negara lain.
Baca juga : Lima Jam Berunding, Ukraina-Rusia Belum Capai Resolusi
Wahid mengatakan, dalam norma diplomasi, sikap Indonesia yang dicantumkan dalam Pernyataan Kementerian Luar Negeri RI sudah sangat keras. Indonesia memakai istilah tidak bisa diterima untuk menyebut serangan Moskwa ke Kiev. “Bahkan, (pernyataan Indonesia) dikritik (pakar hukum internasional) Prof Hikmahanto Juwana karena dianggap tidak terlalu netral,” kata dia.
Modal perantara
Meski bersikap keras, menurut Wahid, Indonesia tetap bisa menjadi perantara atau pendorong perdamaian Rusia-Ukraina. Modal terpentingnya adalah Jakarta dekat dengan Kiev maupun Moskwa. Posisi itu membuat Indonesia berpeluang diterima kedua belah pihak.
Sementara menurut Yuddy, Indonesia punya paling sedikit tiga modal untuk menjadi pendorong penyelesaian perdamaian Rusia-Ukraina. Pertama, Indonesia salah satu pendiri dan masih menjadi motor Gerakan Non Blok (GNB). Kedua, Indonesia negara berpenduduk muslim terbanyak dan karenanya dibutuhkan banyak negara untuk menjalin hubungan dengan negara-negara lain yang berpenduduk mayoritas muslim.
Modal ketiga, lanjut Yuddy, Indonesia adalah pemimpin faktual ASEAN yang dihuni 650 juta dari 7,9 miliar penduduk Bumi. “Tidak harus langsung dengan pihak yang berkonflik. Bisa ke pihak-pihak yang berpengaruh,” ujarnya.
Dengan modal itu, Indonesia bisa berbicara dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa yang menyokong Ukraina. Pembicaraan dengan mereka penting karena salah satu penyebab serbuan Moskwa adalah persepsi Rusia soal keamanannya.
Dalam konferensi pers, Selasa (1/3/2022), Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi memaparkan perlunya melihat situasi di Ukraina ini secara jernih. "Ukraina dan Rusia adalah sahabat dekat Indonesia. Indonesia ingin membangun persahabatan yang lebih kuat dengan kedua negara tersebut," katanya.
Retno mengungkapkan, dirinya sudah melakukan pembicaraan per telepon dengan Menlu Ukraina Dmytro Kuleba dan Menlu Rusia Sergey Lavrov. "Konstitusi Indonesia memandatkan agar Indonesia ikut menjaga perdamaian dunia. Perdamaian tidak dapat terwujud jika terjadi perang. Politik luar negeri Indonesia selalu konsisten," ujar Retno.
"Pada saat sampai pada penerapan hukum internasional dan Piagam PBB, termasuk masalah penghormatan integritas wilayah dan penghormatan terhadap kedaulatan. Prinsip ini harus dihormati oleh semua negara. Prinsip ini dijunjung tinggi oleh Indonesia," lanjut Retno. "Hal utama yang harus menjadi perhatian kita semua adalah deeskalasi dan masalah kemanusiaan. Deeskalasi harus dilakukan."
NATO batu sandungan
Terkait situasi di Ukraina, menurut Wahid, faktor Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) memang tidak bisa disampingkan dalam perang Rusia-Ukraina. Dalam dua dekade terakhir, Presiden Rusia Vladimir Putin telah bolak-balik kecewa sekaligus mencoba bekerja sama dengan NATO. Aliansi militer yang secara faktual dipimpin oleh AS itu berkali-kali melanggar janji kepada Rusia. “Ada banyak notulen janji NATO tidak memperluas keanggotaan,” ujarnya.
Kerja sama dengan NATO antara lain diwujudkan dengan kesediaan Putin secara rutin menghadiri Dewan NATO-Rusia (NRC). Rusia di bawah Putin juga punya banyak kerja sama dengan AS dan anggota NATO lainnya. Bahkan, Rusia pernah mengizinkan pangkalan militernya dipakai NATO dalam persiapan penyerbuan ke Afghanistan setelah peristiwa 11 September 2001.
Wahid dan Yuddy sepakat, salah satu penentu penghentian perang Rusia-Ukraina adalah sikap NATO soal peluang keanggotaan Ukraina di aliansi itu. Putin secara terbuka menolaknya dan sudah menunjukkan ketidaksukaan lewat serangan ke Ukraina. “Kalau saya pengambil keputusan di NATO, membuktikannya, saya putuskan sekarang (penolakan lamaran Ukraina menjadi anggota NATO,” ujar Yuddy.
Aspirasi utama rakyat Ukraina adalah perbaikan ekonomi dan lebih dekat dengan Eropa Barat. Putin, menurut Yuddy, bisa menerima Ukraina menjadi anggota Uni Eropa (UE). Sebaliknya, Putin jelas menolak Ukraina menjadi anggota NATO.
Baca juga ”Quo Vadis” Perang Rusia-Ukraina
Bahkan, kalau pun UE setuju menerima Ukraina menjadi anggotanya, akan butuh proses panjang. Ukraina harus memperbaiki banyak hal untuk bisa memenuhi syarat menjadi anggota UE. Penerimaan UE atas lamaran Ukraina akan sangat tergantung pada upaya Kiev.
Status keanggotaan di UE
Ukraina secara resmi telah mendaftarkan diri menjadi anggota UE, Senin (28/2/2022). Butuh waktu bertahun-tahun dan jalan berliku bagi sebuah negara yang mendaftar untuk diterima menjadi anggota UE. Sebagai gambaran, dalam situasi damai dengan keberadaan lembaga-lembaga demokratis, Polandia baru diterima menjadi anggota UE pada tahun 2004 setelah mendaftar pada 1994.
Presiden dari enam negara Eropa tengah dan timur pada Senin itu juga mengeluarkan surat terbuka berisi seruan agar Ukraina segera diberi status calon anggota UE. Charles Michel, Presiden Dewan Eropa, dalam sidang parlemen UE menyatakan bahwa UE harus memperhatikan secara serius permintaan sah Ukraina untuk bergabung UE. UE saat ini beranggotakan 27 negara setelah berkurang satu anggota dengan keluarnya Inggris--yang dikenal dengan istilah "Brexit"--pada 31 Januari 2020.
Adapun penerimaan NATO atas keanggotaan Ukraina sepenuhnya tergantung keputusan aliansi itu. “NATO pasti sudah punya kajian atas Ukraina, bisa memutuskan kapan saja,” ujar Yuddy.
Kiev pasti kecewa jika ditolak menjadi anggota NATO. Meski demikian, Yuddy meyakini warga Ukraina tetap menerima karena dampaknya adalah negara mereka damai. “Barat (NATO dan UE) harus bijaksana juga,” kata dia.
Rusia, menurut Wahid, bisa menawarkan alternatif peningkatan kondisi ekonomi Ukraina lewat Persatuan Ekonomi Eurasia (EEU). Pasar bebas bentukan Rusia bersama 4 negara bekas Uni Soviet itu bisa menjadi alternatif bagi Ukraina untuk meningkatkan perekonomian. Rusia selalu masuk tiga besar mitra dagang Ukraina.
Kiev mendapatkan miliaran dollar AS per tahun dari biaya transmisi ekspor gas Moskwa karena sebagian pipa untuk mengantar gas Rusia ke Eropa melewati Ukraina. Kiev juga mendapat pasokan minyak, gas, dan batubara dari Rusia.
Di sisi lain, Rusia harus belajar menerima bahwa Ukraina adalah negara merdeka yang bebas menentukan nasibnya sendiri. Rusia perlu melupakan sejarah yang dilalui bersama Ukraina selama ratusan tahun. “Semua itu sudah selesai,” kata Yuddy.
---------
Catatan:
Artikel ini telah mengalami pembaruan dari versi sebelumnya pada hari Rabu (2/3/2022) pukul 10.15 WIB, dengan menambahkan informasi perkembangan-perkembangan terbaru terkait krisis Ukraina. Terima kasih - Redaksi