”Quo Vadis” Perang Rusia-Ukraina
Untuk jangka waktu dekat dan ke depannya —yang tidak dapat diperkirakan untuk berapa lama—pastilah Ukraina akan jatuh di bawah rangkulan Rusia. Sebuah rangkulan yang bisa jadi menyesakkan, ”a suffocating embrace”.

-
Agresi militer Rusia terhadap Ukraina kini sudah memasuki hari keenam. Rusia dengan mudah mencaplok Donetsk dan Luhansk, sebelah timur Ukrania, pada di hari pertama invasi.
Kekuatan militer Rusia dan Ukraina dari berbagai ukuran memang sangat tidak seimbang. Ukraina praktis sudah terkepung dari segala penjuru. Kemenangan Rusia dan tumbangnya Presiden Volodymyr Zelenskyy hanya soal waktu.
Pertanyaannya, mengapa Rusia memerangi Ukraina, yang sampai tahun 1991, sama-sama merupakan bagian dari Uni Soviet? Menurut saya, ada tiga. Pertama, instabilitas Ukrainia. Kedua, sensitivitas Rusia terhadap masalah perbatasan. Dan ketiga, insensitivitas Barat, baik Uni Eropa (UE) maupun Amerika Serikat (AS), terhadap Rusia.
Di bawah kepemimpinan Presiden Vladimir Putin, seorang nasionalis yang sepertinya bersumpah tidak akan pernah lagi ingin melihat Rusia dipermalukan berat (humiliated) oleh Barat pada pengujung Perang Dingin yang berujung pada bubarnya Rusia.
Di dalam Ukraina sendiri, sumber konflik internal adalah komposisi etnis dan agama.
Sumber konflik internal dan insekuritas Rusia
Di dalam Ukraina sendiri, sumber konflik internal adalah komposisi etnis dan agama. Ukraina barat, yang Katolik dan berbahasa Ukrain, serta timur yang Ortodoks Rusia dan berbahasa Rusia. Ini menjelaskan mengapa kaum separatis (di mata pemerintah Zelenskyy) Donetsk dan Luhansk dengan mudah membelot ke Rusia pada hari pertama perang.
Perbedaan timur-barat itu dieksploitasi oleh para politisi (Victor Yanukovich versus Yulia Tymoshenko) pada Pemilu 2019 yang dimenangi oleh pihak ketiga, pelawak keturunan Yahudi, Volodymyr Zelenskyy, Presiden Ukraina sekarang. Kebijakan utamanya untuk bergabung dengan NATO membuat Rusia geram.
Faktor lain, konsep ”insekuritas” (insecurity) Rusia. Terlepas dari Uni Soviet bubar pada 1991 dan ekonominya lumpuh, dari perspektif militer Rusia tetap merupakan salah satu super power dunia. Senjata nuklirnya sekitar 6.000, sebanding dengan Amerika Serikat. Pengembangan teknologi peluru kendali jarak jauh Rusia yang mutakhir, yaitu hypersonic missile [kecepatan 5 mach atau 3.836 mil per jam] dan peluru kendali yang mampu menghancurkan satelit di luar angkasa, mencengangkan Pentagon.
Baca juga : Masa Depan Krisis Ukraina
Namun, lawan Rusia kurang memahami ”the basic concept of insecurity”, yang merupakan konsekuensi dari perbatasan Rusia yang panjangnya sekitar 16.000 kilometer (16 kali panjang Pulau Jawa, 11 zona waktu), yang membentang dari Pasifik Utara ke laut Baltik. ”Insecurity” inilah yang menjangkiti Rusia sejak masa kekaisaran Tsar (862-1917).
Bagi Rusia, perbatasan bukan sekadar perbatasan, melainkan juga harus menjadi wilayah penyangga (buffer) Rusia. Kebijakan utama Zelenskyy agar Ukrainia menjadi anggota Uni Eropa (UE) mungkin masih bisa diterima Rusia, tetapi Ukrainia menjadi anggota NATO berdasarkan analisis sejarah dan real politik masa kini merupakan provokasi yang sulit diterima. Prospek bergabungnya Ukraina ke NATO oleh Rusia dianggap ancaman terhadap keamanan Rusia.

Geopolitik kawasan
Dari sisi geopolitik kawasan, memenangi Perang Dingin, sejak 1990, Uni Eropa meluaskan keanggotaannya ke segala penjuru untuk meliputi seluruh daratan Eropa, tentunya kecuali Rusia.
Pertama, meliputi negara-negara eks blok Eropa Timur, berikut negara eks pecahan Uni Soviet, termasuk Ukrainia, dan negara Balkan. NATO adalah pakta militer yang merupakan andalan pertahanan Eropa dengan dukungan penuh AS dan tidak ada padanannya setelah Pakta Warsawa bubar (1991). Ada euforia Barat setelah memenangi Perang Dingin, abai bahwa bagi Putin, yang kala itu perwira menengah pada KGB, bubarnya Uni Soviet merupakan penghinaan berat karena itu mimpinya pada kejayaan imperial Rusia masa Tsar.
Perang Rusia-Ukraina sekarang adalah perang ketiga di kawasan ini dalam tempo 13 tahun terakhir. Pertama, perang Georgia-Rusia pada Agustus 2008 menyusul ketegangan di antara kedua negara. Akibatnya, dua wilayah Georgia yang strategis di tepian Laut Hitam, yaitu Ossetia Selatan dan Abhkazia, lepas diambil Rusia.
Pada Januari-Februari 2014, meletus perang Rusia-Ukrainia, dengan akibat Semenanjung Crimea dianeksasi Rusia atau tepatnya diambil lagi oleh Rusia. Pada tahun 1954, Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khrushchev (yang asli Ukraina) menghadiahkan Crimea kepada Ukraina. Yang ketiga, perang Rusia-Ukrainia edisi kedua sekarang ini.
Perang Rusia-Ukraina sekarang adalah perang ketiga di kawasan ini dalam tempo 13 tahun terakhir.
Ketiga perang tersebut memiliki beberapa kesamaan. Pertama, Rusia mengeksploitasi ”pemberontakan” di wilayah Osetia dan Abhkasia, Crimea, Donetsk dan Luhansk, serta mendukungnya secara militer. Kedua, mayoritas penduduk wilayah-wilayah itu etnis Rusia. Pada masa Uni Soviet, etnis Rusia disebar di seluruh negara bagiannya. Di Crimea, penduduk asal Rusia sekitar 60 persen.
Ketiga, seperti sebelumnya di Abhkazia dan Osetia, Donetsk dan Luhansk adalah dua kelompok separatis, yang beberapa hari sebelum perang mengumumkan menjadi ”republik demokrasi”, yang segera diakui Rusia. Keempat, kekhawatiran Rusia bahwa negara-negara seperti Georgia dan Ukraina yang langsung berbatasan dengan Rusia keluar dari wilayah pengaruh (sphere of influence), bahkan menjadi anggota NATO.
Kelima, seperti perang Rusia dengan Georgia dan Ukraina sebelumnya, untuk perang kali ini Ukraina juga dijanjikan bantuan militer. Memori panjang Putin yang memimpin Rusia pada dua perang sebelumnya tahu persis bahwa janji-janji itu tak diwujudkan. Harapan Zelenskyy berlebihan, apalagi Ukraina belum menjadi anggota UE dan NATO.

Delegasi Rusia (kiri) dan Ukraina (kanan) memulai perundingan di Gomel, Belarus, Senin (28/2/2022). Perundingan ini akan menentukan jalannya invasi Ukraina oleh Rusia yang telah berlangsung lima hari. (Sergei Kholodilin/BelTA Pool Photo via AP)
Keenam, kebijakan yang diambil AS dan UE, termasuk memberikan sanksi ekonomi yang berat terhadap Rusia, sejauh ini biasa-biasa saja. Sebelumnya Rusia sudah terkena sanksi oleh Amerika sejak aneksasi Crimea, yang salah satu dampaknya bagi pihak ketiga, seperti Indonesia yang harus membatalkan pembelian skuadron tempur SU-35.
Rusia pasti juga sudah membaca bahwa pemilu sela (by election) November di AS tahun ini besar peluang Partai Republik akan memenangi pemilu tersebut. Jika benar demikian, Presiden AS Joe Biden tak akan lagi leluasa menjalankan kebijakan luar negerinya terhadap Rusia. Kita masih ingat Presiden Donald Trump yang masih sangat berpengaruh di Partai Republik, memuji langkah Putin mengakui kemerdekaan Donetsk dan Luhansk sebagai langkah genius yang bagi dia tidak terpikirkan sebelumnya.
Ketujuh, apabila AS mau mengenakan sanksi yang menyakitkan bagi Rusia, adalah dengan memblokade minyak dan gas Rusia. Rusia salah satu produsen migas terbesar di dunia dan migas sumber pendapatan yang besar bagi Rusia.
Dilemanya, UE sangat bergantung pada Rusia yang menyuplai 50 persen kebutuhan gas UE, sementara AS yang kaya gas serpih (shale gas) juga tak berada pada posisi memenuhi kebutuhan Eropa. Karena itu, ketika Presiden Biden mengumumkan sanksi berat yang akan dijatuhkan kepada Rusia, sanksi migas tak termasuk (off the table).
Baca juga : Adu Kuat Rusia-Ukraina
Realitas politik dan tatanan terhadap dunia yang tidak efektif
Agresi militer terhadap suatu negara berdaulat apa pun alasannya adalah tindakan ilegal yang dilarang oleh Piagam PBB. Teorinya Dewan Keamanan sesuai mandatnya harus memulihkan kembali dunia dari ”ancaman terhadap perdamaian dan keamanan international”. Pada kenyataannya, mustahil DK PBB mampu mengesahkan resolusi terhadap agresi militer Rusia terhadap Ukrainia yang pasti akan diveto Rusia sekalipun rancangan resolusi sudah dilemahkan; tidak lagi mengecam, tetapi hanya menyesalkan tindakan Rusia.
Hal serupa terjadi ketika Amerika Serikat menginvasi Afghanistan (2002) dan Irak (2003). Bahwa mayoritas negara anggota PBB, mengecam atau mengecam keras agresi Rusia itu soal prinsip dan perlu disuarakan. Sebab, apalagi yang dapat diperbuat ketika tatanan dunia di bidang perdamaian dan keamanan tidak lagi efektif. Realitasnya seperti pada banyak perang sebelumnya yang melibatkan negara-negara pemegang veto di DK PBB, ”the show will go on”.
Ukraina sudah terkepung dari utara, timur dan selatan, kecuali barat. Pertempuran, walaupun masih sporadis, sudah memasuki ibu kota Kiev. Dari berbagai ukuran, Ukrainia memang bukan lawan tanding Rusia. Kekalahan Ukrainia hanya soal waktu.
Ukraina sudah terkepung dari utara, timur dan selatan, kecuali barat. Pertempuran, walaupun masih sporadis, sudah memasuki ibu kota Kiev.
Lalu apa selanjutnya?
Ada beberapa kemungkinan. Pertama, pemerintahan Zelenskyy diganti dengan pemerintahan boneka yang tunduk pada Rusia. Kedua, menganeksasi ”republik demokrasi” Donetsk dan Luhansk, yang wilayah keduanya meliputi lebih sepertiga dari keseluruhan wilayah Ukraina. Penggabungan kedua opsi masih mungkin terjadi. Ketiga, memecah Ukraina menjadi dua: Ukraina Timur dan Barat, sesuai garis perbedaan etnis dan agama.
Keempat, menganeksasi seluruh Ukraina yang rasanya tidak mungkin. Ukraina terlalu besar dan biayanya mahal untuk ditelan oleh Rusia. Idealnya, menurut Dr Henry Kissinger—mantan Menlu dan Penasihat Keamanan AS— adalah jika di kemudian hari rakyat Ukraina dibiarkan memilih pemerintahnya sendiri dan menjadikan Ukraina menjadi negara yang netral, di mana UE dan NATO di satu pihak dan Rusia di pihak lain tidak menjadikan Ukraina menjadi obyek tarikan-tarikan mereka.
Untuk jangka waktu dekat dan ke depannya —yang tidak dapat diperkirakan untuk berapa lama—pastilah Ukraina akan jatuh di bawah rangkulan Rusia. Sebuah rangkulan yang bisa jadi menyesakkan, “a suffocating embrace”.
Hassan WirajudaMenteri Luar Negeri 2001-2009 dan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden 2010-2014

Hassan Wirajuda