Peningkatan penggunaan pesawat dan helikopter menunjukkan militer mulai kewalahan menghadapi perlawanan milisi. Komunitas internasional bisa memanfaatkan kondisi itu dan berbuat lebih banyak untuk menekan junta.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Militer Myanmar, Tatmadaw, tidak kunjung menunjukkan tanda akan memulihkan demokrasi di Myanmar setelah kudeta 1 Februari 2021. Dunia perlu terus mendesak mereka dan semua pihak di Myanmar agar menghentikan segala bentuk kekerasan.
Dalam pernyataan pada Selasa (1/2/2022), Indonesia kembali menegaskan kecaman pada kudeta 2021. ”Indonesia mendesak agar militer Myanmar dapat segera menindaklanjuti 5PC dan segera memberikan akses kepada Utusan Khusus ASEAN untuk dapat memulai kerjanya sesuai mandat para pemimpin ASEAN melalui 5PC,” demikian pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI.
Kemlu merujuk kepada ”Lima Butir Kesepakatan” yang disetujui para pemimpin ASEAN kala bertemu di Jakarta pada April 2021. Dalam pertemuan itu disepakati penghentian segala bentuk kekerasan, penunjukan utusan khusus ASEAN untuk Myanmar, lawatan utusan khusus untuk bertemu semua pihak di Myanmar, pembukaan akses bantuan kemanusiaan, dan dialog oleh semua pihak di Myanmar. Hingga sekarang, baru penunjukan utusan khusus yang terwujud.
Presiden RI Joko Widodo, Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri, dan PM Singapura Lee Hsien Loong telah menegaskan ulang sikap mereka soal Lima Butir Kesepakatan itu. Bahkan, Ismail dan Lee secara terbuka mengatakan, pemimpin junta tetap tidak boleh hadir di pertemuan ASEAN selama belum bisa memenuhi kesepakatan itu.
Direktur Institute of Security and International Studies pada Chulalongkorn University, Thitinan Pongsudhirak, menyebut bahwa posisi ASEAN sekarang sedang dilemahkan oleh ketua bergilirnya. Ia merujuk pada lawatan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen ke Myanmar pada pertengahan Januari 2022.
”Sebagai Ketua ASEAN tahun ini, Hun Sen melemahkan dan mengkhianati organisasi ini dengan mengunjungi pemimpin junta, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, tanpa syarat. Hun Sen melemahkan daya tawar dan menggadaikan relevansi ASEAN demi kepentingan pribadi,” katanya, sebagaimana dikutip Bangkok Post.
Sementara pengurus Asosiasi Perbantuan Tawanan Politik (AAPP) Myanmar, Bo Kyi, mengapresiasi keputusan ASEAN untuk tetap menolak kehadiran perwakilan junta di pertemuan ASEAN. ”Kekejian terus berlanjut di Myanmar,” katanya sebagaimana dikutip Irrawaddy.
AAPP mencatat, 1.503 orang dibunuh, 11.833 orang ditangkap, dan 1.972 orang lain diburu Tatmadaw sejak kudeta 2021. Dari 1.503 orang itu, 61 oran meninggal setelah disiksa selama dalam tahanan Tatmadaw. Militer juga menangkap anggota keluarga 304 orang yang diidentifikasi sebagai penentang kudeta.
Menlu Myanmar versi Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG) Zin Mar Aung mengatakan, kekerasan Tatmadaw dan pendukungnya saat ini sama sekali berbeda dibandingkan dengan periode 1980-an atau 1990-an. ”Banyak orang tewas dan disiksa di tahanan. Kekejian tidak kunjung berkurang, malah semakin bertambah. Dahulu dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sekarang kekejian dilakukan secara terbuka. Tanpa intervensi internasional, kekejian ini akan terus berlangsung,” tuturnya, sebagaimana dikutip Frontier Myanmar dan Myanmar Now.
Terus berlanjut
Tatmadaw mengabaikan berbagai permintaan untuk memulihkan demokrasi di Myanmar. Menandai setahun kudeta, Min Aung Hlaing mengumumkan perpanjangan keadaan darurat sampai Agustus 2022. Perpanjangan itu disebut untuk memastikan kedamaian tetap terpelihara.
Pengumuman itu terus disambut perlawanan. Seperti sebelumnya, warga memilih mogok untuk memprotes kudeta. Di Yangon dan sejumlah daerah lain yang biasanya ramai, nyaris tidak ada orang di jalan dan sejumlah pusat niaga ataupun perkantoran. Warga mengikuti ajakan mogok yang disiarkan sejak Januari 2022.
Sebenarnya junta telah mengumumkan sanksi keras kepada siapa pun yang terlibat pemogokan itu. Penjara, denda, dan penyitaan aset diberlakukan kepada yang terlibat. Sejak pertengahan Januari 2022, tentara dan pendukung junta dilaporkan mendatangi pelaku usaha dan meminta mereka menandatangani pernyataan akan tetap beroperasi pada 1 Februari 2022.
Meski demikian, warga tetap mogok dengan cara tinggal di rumah masing-masing. ”Toko boleh buka, walakin orang-orang tidak akan datang. Tidak ada hukum yang melarang orang diam di rumahnya,” kata salah satu penganjur pemogokan itu, Ko Moe Thway.
Pengamat isu Myanmar, Matthew Arnold, mengatakan bahwa perlawanan terus meluas karena tidak terpusat. ”Ini bukan perseteruan Tatmadaw dengan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Ini perlawanan nasional,” katanya.
Perlawanan kali ini berbeda, terutama lantaran keterlibatan orang muda. Setelah menikmati kebebasan sejak pembukaan Myanmar pada 2011, orang muda tidak menerima ketertutupan dan penindasan oleh Tatmadaw. Karena itu, mereka tidak hanya berunjuk rasa. Semakin banyak orang muda yang bergabung dengan berbagai kelompok milisi yang menghadapi Tatmadaw. Bahkan, sebagian orang muda itu membeli atau membuat sendiri senjatanya.
Lembaga konsultasi keamanan Myanmar, Atalian-BM&A, menyebut ada 83 kelompok perlawanan di Yangon saja. Di luar Yangon, ada 651 kelompok. Mereka antara lain terlibat dalam 121 peledakan bom di Yangon selama setahun terakhir. Sasaran pengeboman terutama kantor pemerintahan dan pos polisi.
Pongsudhirak mengatakan, milisi mengandalkan gerilya untuk menghadapi Tatmadaw yang bersenjata lebih lengkap. Kenaikan jumlah penggunaan pesawat dan helikopter oleh Tatmadaw menunjukkan militer mulai kewalahan menghadapi perlawanan milisi. Tatmadaw semakin menghindari penggunaan transportasi darat yang bolak-balik diserbu milisi.
Komunitas internasional bisa memanfaatkan kondisi itu dengan dua cara. Pertama, memberlakukan embargo senjata sehingga Tatmadaw tidak bisa meningkatkan atau menambah persenjataan. Dengan demikian, mereka akan kesulitan menghadapi milisi. Cara kedua, memasok persenjataan antipesawat atau antitank kepada milisi. Dengan demikian, milisi bisa mengimbangi Tatmadaw.
”Hanya jika Tatmadaw semakin kewalahan, bahkan tidak bisa menghadapi perlawanan milisi, para jenderalnya akan setuju berunding. Mereka (para jenderal Tatmadaw), terbukti tidak bisa dibujuk untuk berunding,” kata Pongsudhirak. (AFP/REUTERS)