Milisi Sipil dan Junta Myanmar Bentrok, Ribuan Warga Mengungsi ke Thailand
Ribuan warga Myanmar mengungsi ke Thailand setelah pecah pertempuran antara milisi etnis Karen dan militer Myanmar pada beberapa hari terakhir. Krisis keamanan sejak kudeta militer menyebabkan 2.500 warga mengungsi.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
NAYPIDAW, JUMAT — Ribuan warga yang tinggal di desa-desa di Provinsi Karen, bagian selatan Myanmar, mengungsi hingga ke perbatasan Thailand setelah pecah pertempuran antara militer Myanmar dan pasukan Tentara Pembebasan Nasional Karen atau KNLA selama beberapa hari terakhir. Pertempuran telah mengakibatkan jatuh korban di kedua pihak.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengundang Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk bertemu tahun depan. Salah satu agendanya adalah membicarakan secara khusus persoalan Myanmar.
Otoritas berwenang di Provinsi Tak, provinsi di wilayah barat Thailand yang berbatasan langsung dengan Myanmar, menyebutkan, mereka menerima tambahan sekitar 700 pengungsi, termasuk anak-anak, setelah pertempuran meletus kembali pada Kamis (16/12). Tambahan pengungsi itu, menurut data Komite Bantuan Aliansi (Aid Alliance Committee/AAC), membuat akumulasi warga Myanmar yang mengungsi mencapai 2.503 jiwa. Sebanyak 545 jiwa di antaranya adalah anak-anak.
Ye Min, pengurus AAC yang berbasis di Thailand, mengatakan, lembaganya bekerja sama dengan otoritas di Thailand memberi bantuan kepada para pengungsi itu. Dia menambahkan, sebagian besar pengungsi berasal dari Kota Lay Kaw Kaw dan desa lain di Provinsi Tak.
Sehari sebelumnya, Sekretaris Jenderal Organisasi Perempuan Karen, Naw K’nyaw Paw, mengatakan, lebih dari 1.000 warga telah diizinkan menyeberang ke Thailand untuk menyelamatkan diri dan keluarganya. Izin itu diperoleh stelah para tokoh warga bernegosiasi dengan otoritas berwenang di Thailand. Foto dari sejumlah media lokal menunjukkan puluhan orang berbaris mengantre untuk menyeberangi sungai yang membatasi kedua negara.
Pertempuran KNLA, bagian dari Karen National Union, kelompok perlawanan suku Karen, Myanmar, dengan Tatmadaw, sebutan bagi militer Myanmar, pecah pada Rabu (15/12) sehari setelah media pemerintah melaporkan militer junta memasuki wilayah KNU dan menangkap beberapa tokoh oposisi. Salah satu yang ditangkap adalah mantan anggota parlemen pemerintahan terguling Aung San Suu Kyi.
Unggahan KNU di media sosial, empat anggota Tatmadaw tewas dan empat lainnya terluka. Sementara laporan Public Voice Television yang didukung Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) megunggah foto-foto senjata yang diklaim disita dari delapan anggota Tatmadaw yang ditangkap. PVT juga mengklaim bentrokan menewaskan 18 tentara Myanmar. Reuters tidak bisa secara independen memverifikasi klaim tersebut. Juru bicara junta Myanmar juga tidak bisa dikonfirmasi mengenai hal ini.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken saat berada di Malaysia mengatakan, mereka tengah mempertimbangkan menjatuhkan sanksi tambahan kepada junta militer Myanmar. Hal itu akan dibicarakan dengan para pemimpin ASEAN pada KTT AS-ASEAN tahun depan yang direncanakan akan dihadiri oleh Presiden AS Joe Biden.
Usaha ASEAN dan sejumlah pihak, termasuk PBB, untuk meredakan situasi di Myanmar, sejauh ini tidak membuahkan hasil. Lima konsensus ASEAN yang disampaikan pada saat pertemuan pemimpin ASEAN dengan Jenderal Min Aung Hlaing di Jakarta, April 2021, tak kunjung terealisasi. Junta bergeming dan memilih bergerak dengan caranya sendiri.
Mereka tidak mengindahkan masukan dari negara-negara anggota ASEAN untuk mengedepankan dialog dan mengusahakan perdamaian. Hal ini membuat para pemimpin ASEAN frustrasi dan menyebabkan pemimpin junta tidak diikutsertakan dalam KTT ASEAN beberapa waktu lalu.
Blinken mengatakan, beberapa pekan ke depan akan menjadi penting bagi AS, baik secara unilateral maupun bersama-sama, untuk mengambil tindakan yang bisa menekan junta mengakhiri sikap represifnya. Satu hal yang juga menurut dia penting adalah mengembalikan pemerintahan yang demokratis di negara itu.
Sumber AP di Komite Urusan Luar Negeri Dewan Perwakilan Rakyat AS mengakui bahwa dana yang dihasilkan dari industri minyak dan gas menjadi salah satu penopang kemampuan junta Myanmar untuk memegang kendali. Walau ada tindakan yang diinisiasi DPR AS, Oktbober lalu, terhadap Perusahaan Minyak dan Gas Myanmar (MOGE), diakui bahwa hal itu belum menunjukkan hasil maksimal.
Sumber tersebut mengatakan, lobi dari perusahaan minyak dan gas membuat pemerintahan Biden ragu-ragu untuk menjatuhkan sanksi yang keras terhadap junta militer Myanmar. Lobi serupa juga dilakukan oleh entitas bisnis lain dan perbankan Singapura dan Thailand.
Chris Sidoti, anggota misi pencari fakta PBB di Myanmar (2017-2019), mengakui kemungkinan adanya lobi-lobi tersebut. ”Sepertinya di AS ada lobi besar-besaran yang dilakukan Chevron untuk mencoba dan melindungi kepentingannya,” kata Sidoti.
Juru bicara Chevron pada Mei lalu mengatakan, perusahaan mereka akan mematuhi sanksi apa pun yang akan dijatuhkan oleh AS. ”Setiap tindakan harus dipertimbangkan dengan hati-hati untuk memastikan rakyat Myanmar tidak dirugikan lebih lanjut oleh konsekuensi yang tidak diinginkan dan tidak terduga dari keputusan yang bermaksud baik,” tulis Chevron dalam pernyataannya pada Mei. (AP/AFP/REUTERS)